Jimat Kakek Buyut
Oleh : Rachmawati Ash
Aku terlahir dari keturunan Man Ro, dukun ternama di desaku. Dukun yang terkenal dengan kemampuan menaklukkan penghuni tanah dan udara. Kakek moyangku dikenal sebagai tetua sakti. Setiap kata yang keluar dari mulutnya adalah sabda, yang sanggup mengguncang pepohonan dan memorak-porandakan rerumputan. Bisikan dari mulutnya mampu mengusir amukan angin mau pun petir. Kedip matanya mampu menghentikan kepakan sayap burung-burung dan auman singa penguasa hutan Larangan. Sosok kakek buyutku menjelma menjadi penampakan yang melindungi namun juga mengerikan. Setiap mata yang memandangnya akan luruh lantak dan bergetar seluruh tubuhnya karena takut.
Konon, setiap kelahiran dalam silsilahnya sangat dinanti-nantikan sebagai pewaris kekuatan kakek buyutku. Aku adalah keturunan pertama yang lahir sebagai perempuan. Sebagian besar keluarga kecewa, sebagiannya lagi merasa senang atas kelahiranku. Aku lahir sebagai perempuan, maka aku dibebaskan dari tanggung jawab untuk menuruni kekuatan kakek buyutku. Namun, menjadi satu-satunya keturunan perempuan bukan berarti segalanya menjadi mudah bagiku.
Jika keturunan laki-laki harus bertanggung jawab menerima dan mengabadikan ilmu sihir milik Kakek Buyut, maka berbeda dengan diriku. Aku mendapat sebuah kutukan yang mengerikan. Aku adalah keturunan perempuan pertama dari seorang penakluk tanah dan udara. Maka, syarat untuk meminangku sudah ditentukan oleh keluarga. Calon suamiku haruslah keturunan dari seorang yang mewarisi kekuatan penakluk alam dan penghuninya. Memiliki kehormatan di atas kehormatan Kakek Buyut. Hal ini jelas akan menjadikanku perawan tua sampai ajal tiba.
Semua berjalan seperti biasa, hingga usiaku genap dua puluh tiga tahun. Aku hampir menyelesaikan studi Sastra Indonesia di universitas nomor wahid di Jakarta. Aku mulai mengenal laki-laki dan menyukainya. Namun, lagi-lagi jimat yang tergantung di leherku mengingatkan bahwa aku telah dijodohkan dengan laki-laki pilihan ayahku jauh sebelum aku dilahirkan. Laki-laki yang aku belum pernah mengenalnya. Dari cerita yang kudengar, dia adalah keturunan paranormal hebat di wilayahku. Ayahnya seorang peramal, mahir membaca cuaca dan dan mampu mengendalikan hujan maupun angin. Semua yang diucapkan Ayahnya seolah benar, masyarakat percaya dan semua terjadi.
Sebagai anak perempuan, aku tak dapat menyembunyikan rahasia kepada ibuku. Sampai suatu saat di hari libur, aku pulang kampung dan menceritakan kepada Ibu bahwa aku menyukai seorang laki-laki di kampusku. Laki-laki itu adalah kakak kelasku. Saat ini sudah lulus Kedokteran dan telah bekerja di sebuah rumah sakit ternama di Jakarta.
Bukannya mendukungku, Ibu justru melolot mendengar ceritaku. Wajahnya tegang, melirik ke kiri dan kanan, seperti seorang anak kecil yang takut karena ketahuan mencuri mangga milik tetangga. Aku terkejut, kupikir Ibu akan menjadi satu-satunya orang yang mendukung keinginanku.
“Jangan sampai ayahmu mendengar percakapan kita, dia bisa membunuhmu, Ranti!” Nada bicara Ibu mengancam, tetapi masih bisa kurasakan ada kasih sayang dalam kalimatnya itu.
“Tapi, aku boleh punya permintaan ‘kan, Bu?” Aku merajuk, memasang wajah polos di depan Ibu.
Ibu tidak menjawab sepatah kata pun. Ibu beranjak dari tepi ranjangku, mengelus lembut bahuku berkali-kali. Pandangan mata Ibu mengatakan bahwa aku tidak berhak menentukan apa pun dalam hidup ini. Semua sudah menjadi peraturan yang harus dijalani dengan ikhlas. Aku menghela napas panjang, mengamati wajahku pada cermin di depanku. Aku memang dikaruniai wajah secantik bidadari, kulitku putih bersih, hidung mancung, dan mata bulat yang dibalut dengan bulu mata yang begitu lentik menjuntai hingga ke pipi.
Entah, sudah berapa kali aku tidak acuh kepada teman laki-laki yang mendekatiku. Aku takut akan menjadi malapetaka bagiku. Namun kali ini, aku punya perasaan yang berbeda. Perasaan yang membuatku berani menentang aturan leluhurku. Ini adalah pertama kalinya aku tidak merasa takut kepada kakek maupun ayahku. Aku memutuskan untuk mengakui bahwa selama ini aku telah menjalin kasih dengan kakak kelasku di kampus tempatku kuliah di Jakarta.
Ayah meradang, matanya merah karena menahan amarah. Kakek tidak kalah, tubuhnya bergetar ditopang tongkat kayu berkepala ular di tangannya. Mulutnya komat-kamit, menahan sumpah serapah saat mendengar pengakuanku yang terang-terangan mengkhianati perjodohan keluarga. Aku menunggu hukuman apa yang akan mereka lemparkan kepadaku saat itu. Namun, sampai beberapa menit Kakek dan Ayah hanya diam menahan amarah, aku pergi ke kamarku, menumpahkan air mata yang telah kutahan sejak pertama bicara dengan mereka. Aku menangis, ada rasa lega juga takut yang mencekat di dalam dadaku.
Dua bulan setelah aku mengakui hubunganku dengan kakak kelasku di kampus, aku mendadak sakit. Tubuhku menjadi ringkih, mudah demam, dan batuk yang tidak berkesudahan. Kakek telah melakukan banyak cara untuk menyembuhkanku. Kakek bilang bahwa penyakitku disebabkan oleh kemarahan jin yang menghuni jimat di leherku. Jin yang telah menjagaku kecewa karena aku telah berkhianat kepada keluarga. Aku tidak taat kepada adat dan peraturan leluhur yang sudah turun-temurun. Sebagian orang ikut mengutukku, menyalahkan kesalahanku karena menjalin kasih dengan laki-laki yang tidak memiliki kemampuan menaklukkan alam dan penghuninya.
Ayah diperintahkan oleh Kakek mencari tumbuh-tumbuhan langka di hutan dekat desa, juga menyiapkan ayam cemani dan beberapa jajan pasar untuk melakukan ritual. Kakek meminta kepada Ibu untuk mengundang beberapa orang sebagai saksi ritual permohonan maaf kepada penghuni jimat yang disimpan di bandul kalungku. Aku tidak bisa berbuat apa-apa, napasku terasa pendek dan tersengal-sengal. Kakek segera melakukan ritual, takut kalau-kalau aku tidak bisa diselamatkan jika terlambat meminta maaf kepada penghuni jimat.
Aku berusaha mengatur napas, menghirupnya dalam-dalam dan mengeluarkan dari mulut dengan perlahan. Aku membuang pikiran-pikiran buruk dalam kepalaku. Aku merasakan lebih baik, aku dapat tidur nyenyak semalam penuh.
Subuh menjelang, saat itu napasku kembali tersengal-sengal. Aku merasa seperti akan mati, sulit menghirup udara di sekitar. Ayah dan Ibu segera menghampiriku dan berusaha menolongku. Mereka melakukan banyak hal konyol yang justru membuatku semakin dekat dengan kematian. Ayah menyalakan dupa dan mengucapkan beberapa mantra di depan pintu kamarku. Asap dupa semakin membuatku keracunan. Ibu meniup ubun-ubunku seperti mengusir hewan yang menempel di kepalaku. Aku megap-megap, kehabisan napas.
Pintu ruang tamu diketuk dengan lembut, ada seseorang mengucapkan salam. Ibu segera bergegas membuka pintu dan melihat siapakah tamu yang datang di pagi buta. Aku terkejut, suara salam itu tidak asing bagiku. Rafli, iya, itu suara milik kakak kelas yang telah membuatku jatuh hati dua tahun yang lalu. Rafli, seorang dokter muda yang berhasil membuatku berani membantah peraturan leluhurku.
Ibu berjalan tergopoh-gopoh, kembali ke kamarku dan berbisik kepada Ayah. Aku masih sibuk mengatur napas yang semakin pendek dan tak beraturan. Tiba-tiba, Kakek sudah berdiri di belakang Ibu, memerintahkan Ayah menebang pohon jambu di depan rumah. Kakek bilang, jin penghuni jimatku telah berpindah ke pohon itu. Jin marah dan mencoba membunuhku. Kakekku juga memerintahkan Ayah membopong tubuhku keluar kamar. Aku melihat Rafli sedang duduk di teras rumah. Wajahnya bingung dan penuh pertanyaan. Orang-orang di sekitar rumah berdatangan untuk melihat ritual yang dilakukan Kakek dan Ayah untuk menolongku.
Aku pasrah saat Ayah menurunkanku di bawah pohon jambu. Ayah membaca mantra, kemudian memohon izin kepada penghuni pohon sebelum menebangnya. Aku melihat ke arah Rafli, mata kami bertemu pandang. Kami sama-sama bingung dengan peristiwa pagi ini. Aku lebih bingung lagi, kenapa Rafli berada di rumahku sepagi ini?
Pohon telah selesai ditebang, tapi napasku semakin kacau. Aku tidak tahan lagi, aku merasa hampir mati. Aku tidak bisa bernapas dengan benar. Tubuhku lemas, aku pingsan. Beberapa menit kemudian aku mendengar perdebatan di sekitarku.
“Bapak boleh menebang pohon, itu masuk akal karena mungkin ada kuman atau virus yang bisa menyebabkan Ranti sakit. Tetapi merendam tubuh Ranti dengan bunga tujuh rupa bisa membuat penyakitnya semakin parah, Pak.” Suara Rafli sedikit tinggi. Laki-laki ini memang pemberani. Meskipun belum mengenal kakek dan ayahku, namun jiwa dokternya berani mengambil keputusan saat menemukan orang sakit di depan mata kepalanya sendiri. Aku tersenyum dalam hati, berdoa agar usahanya memberi pengertian kepada orang-orang di sekitarku berhasil.
“Kamu tahu cucu siapa gadis ini?” Suara Kakek terdengar mengerikan, membuat orang-orang yang mendengarnya bergidik dan mundur beberapa langkah. Aku berusaha membuka mata, ingin sekali memberi pengertian kepada Kakek. Namun tubuhku tak bisa diajak kompromi, aku lemas dan kehilangan tenaga.
“Ranti adalah cucu Kakek, Man Ro, yang terkenal memiliki kesaktian luar biasa. Seorang tetua yang arif dan bijaksana. Seorang kakek yang ingin menyelamatkan cucunya agar tidak mati.” Rafli berbicara dengan hati-hati. Dia tahu siapa yang sedang dihadapinya saat ini. Rafli pernah mendengar bahwa Man Ro adalah orang yang sangat ditakuti karena ucapannya berpetuah dan kemarahannya adalah angin topan yang membahayakan.
“Saya tahu Kakek sedang berusaha menyelamatkan Ranti, tapi mohon maaf, Kek. Ranti sakit bukan karena jin, tetapi dia sakit paru-paru. Izinkan saya mengobatinya, saya janji saya tidak akan mengecewakan Kakek.” Rafli masih berusaha meyakinkan Kakek. Ayah dan Ibu masih berdiri mematung di samping Kakek. Mata Kakek merah, merasa dihina dengan kata-kata yang keluar dari mulut seorang dokter muda. Seorang laki-laki maju ke hadapan Kakek, membujuk Kakek untuk memberi izin kepada Rafli.
“Man Ro, berilah kesempatan kepada Pak Dokter untuk memberikan obat, dokter tidak main-main dalam menangani orang sakit.” Laki-laki ini adalah kepala desa. Satu-satunya orang yang masih didengar pendapatnya oleh Kakek.
Kakek mundur beberapa langkah, memberi jalan untuk Rafli menuju ke arahku. Rafli membantuku berdiri. Memeriksa kedua mata, denyut nadi, dan tekanan darahku. Aku duduk di kursi teras, meminum beberapa obat yang diambil Rafli dari mobilnya. Rafli berpesan kepada keluargaku bahwa aku akan baik-baik saja dan akan kembali normal jika menyelesaikan pengobatan minimal enam bulan. Rafli menjelaskan penyebab aku sesak napas bukan karena jin dalam jimat, melainkan paru-paru yang kotor. Keluargaku masih belum bisa menerima penjelasan Rafli, namun Kepala Desa mengangguk, memberi isyarat agar tidak menentang pesan Rafli.
Tujuh bulan berlalu, aku telah sembuh dari penyakit sesak napas. Tubuhku segar dan lebih gemuk dari sebelumnya. Kakek dan keluargaku mulai percaya kepada Rafli, menyambutnya dengan senyum dan tangan terbuka. Raflli bukan lagi musuh bagi dukun Man Ro yang mahsyur kehebatannya. Rafli adalah penyelamat bagi cucu tetua desa larangan yang menakutkan. (*)
Rachmawati Ash. Siswa kelas Loker Kata yang berusaha agar rajin, terampil, dan gembira.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata