Instrumen Pujian
Oleh: Marissa Saud
Kata orang, jatuh-bangun adalah hal yang lumrah dalam kehidupan. Beberapa orang kerap mengaitkannya dengan sebuah roda yang berputar, terkadang kita berada di bawah dan pada saatnya kita akan berada di atas. Tidak jarang mereka juga mengatakan bahwa kehidupan ini berproses layaknya hujan, jatuh dan terus mengalami evaporasi, namun setelahnya akan selalu ada pelangi yang siap menyapa dari balik awan kelabu yang saling menyilang.
Seperti itulah gambaran kehidupan di mata orang-orang yang sukses saat ini. Mereka menganggap semua itu merupakan bagian dari kehidupan. Tetapi faktanya, sebagian besar orang tidak lagi menggunakan “kalimat kuno”, dan justru menganggap kalimat tersebut hanya digunakan oleh orang-orang awam yang putus asa akan lingkungan asal mereka. Karena nyatanya, bagian terpenting yang dalam menjalani hidup adalah langkah apa yang akan diambil seseorang ketika siklus jatuh-bangun itu datang, bukan justru menerimanya begitu saja.
Seseorang tidak akan pernah tahu bagaimana dan seperti apa orang lain berproses, dan tidak semua orang bisa menggunakan “kalimat kuno” seperti itu. Terkadang seseorang hanya membutuhkan sepatah-dua patah kata yang mampu menghantarkan mereka pada kesuksesan. Kata itu menjadi tonggak yang selalu menopang mereka setiap saat mereka merasa terjatuh dan dijatuhkan. Kata itu menjadi alasan mengapa mereka tidak akan pernah berhenti untuk terus melangkah.
Ada satu kalimat yang membuatku berpijak di tempat indah ini sekarang, dan aku tidak akan pernah berhenti berterima kasih melalui doa, untuk “orang tua” hebat yang kupinjam sayapnya menggapai mimpi. Aku ini tidak semampu jutaan orang di luar sana, akan tetapi aku adalah orang yang paling beruntung di dunia. Akan kuceritakan kisah perjuanganku menembus sekat kelemahanku hanya dengan dua kata magis “kamu hebat”.
***
Aku tidak terbangun dengan cahaya lampu, namun terbangun dengan cahaya terik di atas kepalaku. Jalanan mulai padat dengan kendaraan yang berlalu-lalang dan orang-orang yang sibuk dengan aktivitas mereka. Aku buru-buru beranjak dari tempatku setelah melihat petugas keamanan menyusuri halaman pertokoan. Aku merapikan rambut dan bajuku yang lusuh agar petugas itu tidak menyangka aku pengemis jalanan.
Petugas itu semakin dekat denganku, aku membalikkan badan dan berlari ke trotoar pura-pura “mengikuti” aktivitas orang-orang. Namun sayang, langkahku yang kecil berhasil diimbangi petugas itu.
“Sudah kubilang, aku bukan pengemis jalanan seperti mereka!“ Mulutku bergerak lincah, tak terima dengan anggapan khalayak setiap harinya.
“Siapa yang bilang kamu pengemis? Aku menghentikanmu karena gitarmu kamu biarkan begitu saja tergeletak di sana. Tenang saja, aku tidak mengamankan orang-orang yang masih ingin bekerja,” tukasnya sambil menyodorkan gitar ke arahku.
“Kamu lihat kendaraan-kendaaraan di sana, kan? Pergilah sebelum lampu berubah hijau.”
Aku hanya menatap petugas itu dengan mulut setengah terbuka, masih mencerna kalimat yang ia katakan. Dahinya mengenyit, mungkin kali ini ia menganggapku orang gila yang hanya mencuri gitar orang. Petugas itu menatapku lamat-lamat, ia tidak berkomentar apa pun, hanya mengelus kepalaku lalu pergi melanjutkan aktivitasnya. Kali ini aku yang mengejarnya, aku berlari di tengah kerumunan, sesekali aku melompat karena orang-orang sekitar menghalau pandanganku. Saat menangkap sosoknya, aku langsung menarik ujung seragamnya. Petugas itu tersentak, tongkat hitamnya terhenti sejengkal di wajahku setelah ia menyadari itu aku.
“Astaga, ada perlu apa, Nak?” tanyanya sambil merapikan seragam.
Aku buru-buru merogoh kantong celanaku, mengeluarkan pick gitar dan memainkan sembarang lagu yang sempat kuingat. Jemariku menari di atas senar dengan lincah. Orang-orang sekitar mulai mendekat karena penasaran dengan instrumen klasik yang kumainkan—hanya sebatas menyaksikan, tidak lebih—sedangkan, kulihat, petugas itu tidak mengedipkan matanya. Setelah selesai memainkan instrumen, mereka memberiku sejumlah uang dalam kaleng aluminium, lalu kembali melanjutkan aktivitasnya … tunggu, sejak kapan kaleng itu berada di sana?
Petugas itu bertepuk tangan dan bersorak kegirangan seperti baru saja menonton pertunjukkan sirkus. Itu adalah kali pertama kebahagiaan juga bergemuruh di hatiku, sebab aku tidak pernah mendapatkan yang seperti ini di keluargaku sebelumnya.
“Astaga, kamu punya bakat terpendam, Nak, kamu hebat!” Ia masih melanjutkan tepuk tangannya.
“Maaf, ya, aku tidak bisa memberimu apa pun. Ambillah uang di kaleng dari penontonmu tadi,” sambungnya.
“Aku tidak butuh itu, Paman,” kataku
“Lalu apa, Nak?”
Aku sudah tak tahan mengeluarkan kebahagiaan ini, air mataku mengalir deras hanya dengan kata-kata itu. Tidak ada yang lebih kuinginkan dibanding kata-kata itu, lantas kenapa aku tidak pernah sekali pun mendengarnya dari keluargaku sendiri?
Petugas itu memelukku erat, sepertinya tanpa kujelaskan pun ia sudah mengerti dengan kondisiku saat ini. Aku membalas pelukan itu, rasanya hangat.
“Hari ini aku yang mendengarnya, tapi esok lusa, ini akan terdengar di seluruh penjuru negeri! Mainkan sekali lagi! Hari esok, orang-orang telah menunggumu! “
***
“Mungkin jika aku tidak lari dari rumah, aku tidak akan pernah bertemu petugas itu dan bisa berdiri di depan sekarang. Sedikit egois, namun beberapa orang sepertiku hanya ingin pujian saja. Terima kasih, Paman Petugas,” ujarku.
Ratusan penonton berdiri, riuh tepuk tangan bergema di dalam gedung pertunjukan. (*)
Marissa Saud, penikmat lautan yang hobi mengangkasa di dunia fiktif.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata