Sepasang Kekasih yang Bercanda dengan Angin
Oleh : Erlyna
Bulan bersolek. Dari tempatku duduk, aku bisa melihat wajahnya yang bercahaya. Entah berapa lama ia merias diri hingga secantik itu malam ini. Diam-diam aku jadi iri.
Aku menggoyang-goyangkan kaki ke depan dan belakang, berusaha menendang angin. Entah sejak kapan dinginnya menyelimuti betisku yang terbuka. Ah! Seharusnya aku tadi memakai celana panjang.
Kualihkan pandangan dari bulan ke deretan bangunan yang menyala, mereka terlihat sangat cantik dilihat dari tempatku duduk. Tiba-tiba, sebuah cahaya mengalihkan perhatianku. Cahaya itu berwarna ungu dan memanjang ke atas, seolah-olah ada galah tak kasat mata yang dijadikan tumpuan. Dari jauh, cahaya itu akan menarik siapa saja yang menyukai keindahan dan hal-hal baru.
Aku tersenyum samar. Tentu saja aku tidak akan tertipu. Aku tahu betul tempat yang menjadi asal-usul cahaya ungu itu. Sebuah bangunan berlantai dua yang selalu ramai tiap menjelang tengah malam. Bukan! Itu bukan tempat prostitusi, itu hanya tempat jual beli keperawanan. Jika datang ke sana, kalian akan menemui anak-anak usia sekolah menengah, yang berdandan layaknya tante-tante. Mereka tidak pernah tahu, bahwa otaknya sudah dicuci dan dibohongi dengan hal-hal manis.
Dari mana aku tahu? Ah, itu rahasia. Aku bahkan masih ingat betul, bagaimana malam-malam mengerikan itu mengoyak mahkota gadis-gadis lugu itu. Awalnya mereka diajak ke suatu aula besar, disuguhi minuman warna-warni dan panggung disko dengan lagu mengentak-entak. Sebagian besar dari mereka, adalah anak-anak yang stres dengan kekangan dan aturan orang tua. Mereka merindukan kebebasan. Mereka akan mengejar kebebasan itu, tidak peduli bagaimana caranya.
Yah! Jiwa muda memang selabil itu.
Ah!
Entah dunia macam apa ini.
“Sudah lama datang?”
Tiba-tiba seorang lelaki duduk di sampingku. Ia tersenyum manis, manis sekali. Dia yang selalu menemani malam-malamku yang sepi di atas gedung ini.
“ Kenapa lama sekali?” tanyaku sedikit kesal.
Laki-laki itu mendesah, lalu menatap wajahku. Aku balas menatap wajahnya. Entah berapa kali aku dibuat jatuh cinta oleh tatapannya. Di bangku taman, di dalam ruang kelas, di kebun belakang, bahkan di kolong meja sempit, saat lelaki itu membopong tubuhku keluar dari gedung bercahaya ungu itu.
Puas menatap matanya, aku segera bangkit. Kurentangkan tangan sambil menengadah, menatap bulan cantik yang kali ini sedikit tertutup awan.
Kubiarkan angin malam memainkan rambut dan pakaian yang aku kenakan.
“Sayang ….”
Sebuah panggilan menyadarkanku. Aku lalu berteriak kencang, berbarengan dengan sebuah tangan yang mendorongku ke depan.
Di antara angin yang begitu sibuk menyampaikan salam rindu, aku bisa menatap kekasihku tersenyum.
“Aku ingin sekali pergi dari dunia mengerikan ini. Terima kasih telah membantuku bunuh diri ….” (*)
Purworejo, 17 Mei 2020
Sumber gambar: Pinterest.com
Erlyna, perempuan sederhana yang menyukai dunia anak-anak.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata.