Pasangan yang Hidup Bahagia, Sebuah Pilihan Hidup, dan Datangnya Lelaki Bermata Beku

Pasangan yang Hidup Bahagia, Sebuah Pilihan Hidup, dan Datangnya Lelaki Bermata Beku

Pasangan yang Hidup Bahagia, Sebuah Pilihan Hidup, dan Datangnya Lelaki Bermata Beku

Oleh : Ning Kurniati

 

Sepuluh tahun lamanya terus-menerus saya katakan pada suami untuk membeli waktu. Waktu berharga bagi makhluk hidup apa pun di dunia ini. Namun, tak pernah ia tanggapi dengan serius. Setelah mula-mula, satu dua kali ia katakan keluarga kami tak butuh sebab kami bahagia. Waktu bukan hanya untuk orang yang tidak bahagia, saya berkeras, tapi lagi-lagi ia tanggapi, sudahlah kita tidak membutuhkannya.

Begitulah yang terjadi sampai ketika di suatu sore suami pulang dengan membawa kabar bahwa ia baru saja membeli waktu. Oh, inilah yang lama saya nantikan, akhirnya terwujud. Lantaran senang, saya menciuminya bertubi-tubi dan saya ucapkan banyak terima kasih untuk kebaikan yang ia berikan itu.

Kami pun bukan hanya kaya harta dan bahagia karena itu, tetapi juga kaya waktu. Maka nikmat mana lagi yang saya dustakan dari pemberiannya? Sehabis ia bekerja, kerap kami menghabiskan waktu sebanyak waktu yang ia habiskan, bahkan lebih. Kami memasak bersama, bercocok tanam di belakang rumah, dan berjalan-jalan ke mana saja.

Tidak ada lagi hal yang belum kami lakukan. Mungkin, karena itu hidup mulai terasa datar, membosankan bagi saya, setelah beratus-ratus tahun berlalu. Entah ia, saya tidak pernah bertanya dan tidak bermaksud bertanya, setidaknya saat ini. Bahkan, untuk ngobrol saja saya sudah kehilangan minat, tidak sesering dulu lagi. Saya katakan sekali lagi, semuanya sudah kami lakukan, sudah pula kami obrolkan. Adapun, yang sedang trendi sekarang, saya tidak tertarik. Hal-hal itu tidak menarik lagi, seperti dulu ketika saya meminta ia membeli waktu agar kami bisa hidup lama, tak lain untuk menikmati hidup.

Saya sudah berumur 565 tahun dan suami 570 tahun. Seandainya dulu saya setuju untuk memiliki anak, mungkin kami sudah memiliki cucu yang bertingkat-tingkat ke bawah, setelah cicit apa lagi namanya, cecet, cocot, cacat? Eh, itupun kalau anak kami hendak memiliki anak dan begitu juga dengan anaknya, anaknya, dan anaknya lagi.

*

Ia sedang duduk di taman belakang menatap ladang jagung kami yang hijau menghampar di kejauhan sana, ketika saya juga ikut duduk di sampingnya. Ia tidak berkata apa pun, hanya melihat saya sebentar, lalu ia kembali memalingkan pandangan dengan tersenyum. Saya tersenyum juga.

Kehidupan yang tenang kami nikmati bersama-sama. Hari ini juga begitu. Tak pernah ada ribut-ribut. Kemudian ditengah menikmati ketenangan itu, saya teringat tetangga depan rumah yang cucu ke delapan puluhnya baru saja bercerai.

Saya masih ingat jelas pesta pernikahan anak itu dan bagaimana ekspresinya ketika mengumumkan akan hidup normal, tidak akan menukar ataupun membeli kebahagian, kesedihan, waktu, kesehatan dan lain-lainnya. Semua orang bertepuk tangan dengan roman takjub, soalnya jarang sekali ada pasangan yang memutuskan begitu. Saya iri. Kami harusnya juga bisa merasakan kesedihan, sekali-kali. Andai saja saya tidak menukar kesedihan dengan kekekalan kebahagian sebelum hari pernikahan. Yah, memang sekarang kami bahagia, tetapi rasa bahagia itu sudah berbeda. Tidak seperti dulu lagi sebelum kami memutuskan untuk bersama. Aneh rasanya.

Hal yang membuncah di dada ketika bahagia kadarnya sama dari peristiwa satu ke peristiwa lainnya. Seolah-olah takaran bahagia itu konstan. Kalau A, bahagia. Kalau B, bahagia. Kalau Z, bahagia. Akan tetapi, di buku harian saya yang usang, bahagia tidak saya maknai dengan begitu. Mungkinkah saya—kami—salah mengambil keputusan?

“Bagaimana kalau kita menjual kebahagian atau menukarnya sebagian? Setengah kebahagian dengan setengah kesedihan?” ucap saya.

“Kamu pikirlah baik-baik. Lihat hidup kita sudah bahagia, selalu bahagia. Orang yang berpikir normal akan mengambil keputusan begitu.”

“Saya sudah memikirkannya baik-baik, tapi saya kadang-kadang merasa bosan. Apa-apa kita selalu bahagia. Kamu tidak bosan? Kita begini-begini terus.”

“Memiliki waktu yang berlimpah dan kebahagian, apalagi yang dicari? Bosan, biar sajalah. Itu normal saya kira. Sekali-kali juga ‘kan?”

“Kematian,” ucap saya setelah jeda agak panjang di antara kami. “Pada akhirnya, bagaimanapun, pasti kita akan mati, kan? Akan ada yang mendatangi, lalu membawa kita pergi.”

“Kamu ingin mati?”

“Tidak, saya takut.”

“Kalau begitu jangan pikirkan. Semakin kamu pikir semakin kamu akan dipenuhi hal-hal itu saja. Pikirkan saja kita bahagia meski sakit, kita bahagia meski sedang tidak dilimpahi uang, apa lagi … bersyukurlah, Feah Sayang.”

*

Saya memutuskan berjalan-jalan di taman kota pagi ini, sendirian. Sengaja saya memilih waktu  pagi, karena kebiasaan orang-orang yang bangun kesiangan tak akan ada waktunya untuk menghirup udara taman. Mereka sibuk berbenah di rumah. Di sini, selain tanaman hias dan bebungaan, ada banyak pohon yang menaungi jalan setapak yang sengaja di buat berkelok-kelok, saling terhubung satu sama lain, membikin perasaan benar-benar teduh seteduh berlindung di bawah kanopi pohon angsana.

Sedangkan suami saya? Ketika saya tinggalkan ia sedang menyiangi lahan di halaman depan untuk ditanami bunga mawar putih. Bunga itu nantinya akan diberikan pada mereka yang tidak memiliki kebahagian seperti saya dan suami sebagai tanda kasih. Dalam artian lain, orang yang hidup miskin—orang yang tidak memiliki pilihan hidup seperti kami yang bahagia.

Hari menjelang siang, saya sudah hendak pulang, ketika seseorang menjegal tangan saya. Seorang lelaki, mungkin umurnya 85 tahun, masih muda. Dalam balutan pakaian jas ia tersenyum. Ia meminta saya duduk dalam bahasa isyarat, sepertinya ia hendak mengajak saya ngobrol.

Saya pun duduk mengikuti keinginannya. Namun, setelah beberapa waktu lamanya tak kunjung-kunjung ia bersuara. Saya menoleh. Ia takzim memandang lurus ke depan.

“Kamu bukannya mau bicara dengan saya?”

Ia begeming.

“Saya mau pulang kalau begitu.”

Tiba-tiba ia menoleh. Oh, dan baru saya perhatikan, matanya beku. Iya, matanya beku. Bola mata hitam itu stagnam di tengah-tengah dan berkabut.

*

Saya terus kepikiran laki-laki itu. Laki-laki yang membuat saya lari terbirit-birit karena matanya yang beku. Kendati demikian keanehan itu tidak saya ceritakan pada suami. Ketika pulang tadi, sempat ia bertanya, apa saya baik-baik saja, dan saya menjawab, yah, semuanya baik-baik saja. Saya bohong.

Mungkin karena bohong, saya jadi gelisah. Saya tidak dapat tidur. Ia sedari tadi sudah mendengkur dua-tiga kali membuat istrinya ini makin susah saja. Namun bagaimanapun, saya harus tidur agar sehat. Saya menelan pil tidur.

*

Saya tersadar, dalam keadaan berdiri, tidak berbaring padahal tadinya saya berbaring di samping suami. Anehnya, tangan saya tertaut dengan tangan seseorang. Tangan itu terasa dingin. Namun, bukan sejenis dingin yang akan membuat kulit beku dan mati rasa nantinya. Ialah dingin yang membawa ketenangan, menjalar ke seluruh tubuh, membuat di jantung ada perasaan buncah. Saya menoleh … dan mendapati Lelaki Taman.

“Ayo kita pergi!”  ucapnya menggandeng saya. Saya hendak protes, tetapi mulut seperti terkunci. Apakah ia malaikat? Malaikat maut? Kalau begitu kematian tidak semenakutkan seperti dalam bayangan saya. Tapi, bagaimana kalau ia adalah setan? Apa setan benar-benar ada?

(*)

13 Mei 2020

Ning Kurniati, penulis pemula.

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply