Hello, Sir! (Episode 8)
Oleh : Freky Mudjiono
Rasa ingin tahu dan iba berusaha ditekan Andika kuat-kuat. Tidak tergesa-gesa, itu adalah salah satu hal yang dipelajarinya dalam menghadapi serangan kecemasan Arini. Sesaat setelah dijemput tadi, gadis abegeh itu terus memeluk erat tas ranselnya, tanpa berkata sepatah kata pun. Mata Andika tidak lepas dari gerak tubuh Arini yang jelas terlihat belum merasa nyaman. Keluarga broken home, kekerasan verbal, bullying, membuat jiwa gadis itu ditekan dalam waktu yang lama. Tentu saja itu merusak mentalnya. Andika hanya bisa menunggu Arini siap bercerita.
Entah apa yang tengah dipikirkan Arini, saat Andika menemukannya tengah berjongkok di bawah salah satu pohon yang tumbuh di daerah kampus hijau, seolah sedang menyembunyikan diri. Suatu kebetulan Andika berada di kota yang sama. Bagaimana bila tidak? Siapa yang bisa dihubungi gadis itu untuk menuntun tangannya yang gemetaran? Lagi pula, mengapa Arini sendirian? Sejak kapan gadis itu ada di Surabaya?
Hampir setengah jam, mereka duduk berhadapan di ruang tamu kediaman orangtua Andika yang sempit, ditemani sayup suara musik dangdut dari rumah tetangga.
“Ayo, dimakan.”
Andika dan Arini sama-sama terkejut dengan sepiring goreng pisang yang tiba-tiba diletakkan di atas meja. Ibu Andika tersenyum lembut pada gadis abege yang menatapnya takut-takut.
“Hati-hati, panas,” ujar wanita itu sebelum berlalu kembali ke dapur. Sepertinya, ia tahu ada pembicaraan serius yang harus dilakukan anaknya dengan siswanya itu.
Andika menggumamkan terima kasih yang entah sempat didengar ibunya atau tidak. Namun, ia bersyukur memiliki alasan untuk memulai percakapan.
“Ayo, makan dulu. Pisang goreng itu enaknya dimakan panas-panas.” Andika menyorong piring lebih dekat pada Arini.
Arini menggeleng, bibirnya masih mengatup rapat, tapi ada sedikit perubahan pada sorot matanya. Andika tersenyum tipis, sepertinya perhatian gadis itu sedikit teralih dari masalah yang menganggunya.
“Ah, laparnya.” Andika mencomot sepotong pisang di atas piring. “Aduh … huft, huft! Panas!” Ia lalu mengembus pisang yang dibolak-balik dari tangan kanan ke kiri, dan sebaliknya, seperti tengah bermain ‘juggling‘. Sekilas, Andika bisa melihat bibir Arini membentuk lengkung tipis. Berhasil!
“Bu, ini enak sekali! Pisangnya manis!” Andika berseru.
“Iya, sengaja Ibu cari kepok kuning matang, kesukaanmu. Jarang-jarang kamu bisa makan pisang goreng buatan Ibu.” Ibu Andika muncul dari belakang, dengan sebaskom cucian yang masih basah.
“Andika bantuin ya, Bu.”
“Ndak usah. Istirahat saja, kamu pasti capek dari kereta tadi.” Ibu mencegah sebelum Andika bangkit dari kursi. Wanita itu berlalu menuju teras, di mana tali telah dibentangkan di sisi kiri, tempat biasa mereka menjemur pakaian hingga kering.
“Sir … baru tiba hari ini?” tanya Arini pelan.
Andika mengalihkan pandangannya dari sang Ibu. Arini menatapnya, terlihat serba salah.
“Iya … kenapa?” Andika balik bertanya, berupaya selembut mungkin. Jelas, ia tidak ingin menekan Arini yang mulai mau membuka mulut.
“Sa-saya … ehm, maaf.”
Andika mengubah posisi duduknya, menjadi lebih condong ke arah Arini. Wangi parfum yang biasa digunakan gadis itu bisa tercium oleh Andika. Lembut dan segar.
“Arini, kamu minta maaf untuk apa?” tanya Andika masih menatap lekat Arini, tepat ke matanya yang seolah selalu mohon perlindungan. Ada perasaan tidak tega melihat wajah Arini yang seperti ini. Andika jauh lebih menyukai sikap ceria dan lepas gadis itu saat mereka nonton bioskop terakhir kali.
“Saya sudah menyusahkan.” Suara Arini tersendat.
Andika terenyuh, melihat air mata yang mulai menggenang di mata gadis yang tengah meremas jari-jarinya sendiri ini. “Tidak menyusahkan.” Andika mengembangkan senyum tulus. Sama sekali tidak ingin membuat Arini merasa bersalah.
“Saya tidak tahu … harus menelepon siapa.” Arini menundukkan wajah dalam-dalam.
“Kamu sudah lama di Surabaya?” tanya Andika mengalihkan pembicaraan.
“Sekitar seminggu,” jawab Arini, masih dengan menunduk.
“Ini kampung halaman saya. Taraaa, ini tempat saya dibesarkan.” Andika merentangkan tangan, berharap Arini bersedia mengangkat wajah untuk melihatnya.
Berhasil! Gadis itu mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Andika mengikuti arah pandangannya. Bermula dari sebuah pajangan kaligrafi yang terlihat mencolok tergantung di dinding, kemudian bergeser ke sebuah foto keluarga yang dipajang tepat menghadap pintu depan. Tatapan Arini terlihat berhenti cukup lama di sana. Ia seolah mengamati benar potret lama yang diambil saat Andika masih SMP dan adik-adiknya masih kecil-kecil. Si bungsu bahkan masih harus digendong oleh Ibu. Selanjutnya, gorden model jadul, yang dijahit sendiri oleh Ibu menjadi sasaran perhatian gadis itu.
Andika jadi malu sendiri. Bagaimana mungkin ia membanggakan rumah sederhana ini di hadapan Arini?
“Arini tinggal dengan siapa?” tanya Andika, berusaha menghentikan gadis itu menjelajahi jejak lembap dan jamur pada dinding ruangan.
Arini terlihat sedikit terkejut, mungkin sebab pertanyaan tiba-tiba dari Andika. “Sama Papi,” ujarnya datar.
Andika mengernyit. Ia ingat, Arini pernah menyinggung bahwa ia takut dengan papinya yang lebih banyak bicara menggunakan tangan daripada mulut.
“Mami bilang, dia mau menikah dengan Om Joe. Aku enggak boleh ikut Mami lagi,” ujar Arini. Suaranya menyiratkan perih yang nyata.
Andika merasa hatinya sedikit sesak. Arini pasti merasa terbuang. Dasar orangtua egois! rutuk Andika dalam hati.
“Jadi, kamu ke kampus hijau untuk apa? Daftar kuliah?” tanya Andika lagi.
Arini mengangguk. “Tapi … ehm, Papi enggak mau nemenin. Harus kerja. Jadi tadi cuma diantar Pak Sopir,” jelas Arini, menggigit bibir bawahnya.
Andika mulai bisa mengerti situasinya. Bagi remaja biasa, mungkin berjalan-jalan ke tempat baru adalah sesuatu hal yang menyenangkan. Namun, tidak bagi Arini yang introvert akut. Itu pasti sangat menakutkan baginya. Sebab itulah gadis itu bersembunyi di balik pohon saat di kampus tadi.
Yah, Andika tahu jelas kebiasaan Arini. Duduk berjongkok di bawah sebuah pohon besar, seolah mencari perlindungan yang kukuh.
Tanpa sadar.
Tanpa berpikir panjang.
Andika pindah, tepat ke samping Arini. Tangannya terulur begitu saja, merengkuh bahu gadis itu. Ia bisa merasakan ketegangan di tubuh gadis itu mengendur, seiring kepala yang disandarkan ke dada Andika.
“Sir ….” Arini mendesah, membenamkan wajahnya, kemudian menangis.
Andika tidak mengatakan apa pun, hanya semakin mengetatkan rengkuhannya. (*)
Episode sebelumnya (Episode 7)
Medan, 13 Mei 2020
Freky Mudjiono, penulis bernama sedikit ‘maskulin’ ini adalah seorang wanita kelahiran 1980. Sejak mulai serius menekuni hobinya di pertengahan tahun 2019. Ia memiliki keinginan untuk tampil keren dengan meninggalkan jejak kehidupan melalui dunia literasi.
FB: Freky Mudjiono
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata