Death (Part 6)

Death (Part 6)

Death (Part 6)
Oleh : Sinta Dewi S.

Ahtar menyelidiki penyebab kematian ayahnya. Dia memeriksa segala sesuatu yang tampak mencurigakan. Dia mengecek ponsel ayahnya, namun tidak menemukan apa pun. Hanya ada panggilan terakhir yang tertuju kepada istrinya, Anita. Kursor pun berpindah ke bagian pesan WhatsApp, namun juga sama. Tidak ada tanda-tanda bahwa akan ada seseorang yang berniat membunuhnya.

Sejenak, Ahtar terdiam. Lalu dia teringat akan ponsel yang diberikan oleh Eyang Kakung kepadanya. Ahtar pun segera mengambil ponsel yang dia simpan di dalam laci lemari milik ayahnya lalu mulai memeriksanya.

***

Di rumah sakit, Anita terus saja terdiam di ranjang. Terkadang dia tertawa, menangis, juga berteriak. Melempar segala benda yang berada di dekatnya. Depresi yang dia alami tampaknya begitu dalam, sehingga membuat jiwanya seakan hilang dan berubah menjadi orang yang tidak waras.

Suster dan dokter juga sudah berusaha semaksimal mungkin agar kondisi kejiwaan Anita bisa pulih dan membaik seperti sediakala. Terapi dan obat-obatan serta vitamin juga sudah diberikan kepada Anita. Namun, sampai sejauh ini, tampaknya segala upaya itu masih belum menghasilkan kondisi yang lebih baik bagi Anita.

***

Siang tadi polisi kembali menghubungi Ahtar, mengabarkan tentang perkembangan terbaru kasus pembunuhan yang menewaskan ayahnya. Para polisi kini datang berkunjung ke rumah keluarga Ahtar. Sudah ada Juragan Tarso beserta istrinya yang ikut menyambut mereka.

“Selamat siang, Pak,” ucap seorang polisi sembari memberi hormat

“Siang, Pak,” sahut Ahtar yang menyambut kedatangan para polisi itu. “Mari, silakan masuk, Pak,” tambahnya.

Para polisi itu masuk mengekor di belakang Ahtar. Di ruang tamu, Juragan Tarso beserta istrinya telah duduk, bersiap mendengar segala penjelasan dari para polisi yang berkunjung.

Tanpa membuang banyak waktu, mereka segera membahas tentang hasil otopsi dan olah TKP kasus tewasnya Fahmi.

“Jadi bagaimana, Pak?” tanya Ahtar memulai pembicaraan.

“Jadi begini, Saudara Ahtar. Kami menemukan beberapa bukti terbaru mengenai kasus ini. Bahwasannya di sana ditemukan sidik jari baru yang menjurus kepada sidik jari sang pelaku. Ada kancing baju, serta sebuah bekas darah kering di meja yang berantakan.” Polisi yang duduk di samping Ahtar menjelaskan.

“Lalu?” tanya Juragan Tarso semakin penasaran. Ada raut ketegangan di wajahnya. Begitu pun dengan istrinya, sesekali dia menyeka air yang menggenang di pelupuk matanya.

“Apakah Saudara Ahtar menemukan sesuatu yang mengganjal di rumah?”

Sejenak mata Juragan Tarso dan istrinya beralih fokus kepada Ahtar yang diberikan pertanyaan.  Lalu Ahtar pun mengeluarkan sebuah ponsel dari dalam saku. Dia menunjukkan sebuah pesan WhatsApp yang dikirim kepada seseorang yang bernama Danu. 

“Mungkin, petunjuk ini bisa membantu,” ucap Ahtar ragu.

Polisi pun segera mendalami isi WhatsApp yang diberikan oleh Ahtar. Mereka saling memandang satu sama lain. Lalu setelah mendapat bukti tambahan, para polisi pun segera kembali dan mendalami kasus Fahmi.

***

Beberapa hari berlalu, Ahtar mulai tidak sabar. Dia mencari tahu sendiri di mana keberadaan Danu. Berbagai informasi terus dicari oleh Ahtar. Sampai pada akhirnya dia mengetahui jika Danu adalah teman kerja ayahnya di Surabaya.

Setelah mendapatkan semuanya, Ahtar langsung pergi ke Surabaya untuk menemui Danu. Dia bertekad untuk membalas dendam kepada Danu atas kematian ayahnya. Pikiran Ahtar sudah dipenuhi oleh nafsu balas dendam. Dia berharap bisa segera menemukan keberadaan Danu di Surabaya.

Dia melajukan motor sportnya begitu kencang. Deruman motor yang melesat cepat seolah melibas aspal jalanan dengan dahsyat. Beberapa jam perjalanan jauh tidak membuat Ahtar merasa kelelahan. Dia semakin mempercepat laju motornya, menerobos keramaian kota dan lalu-lalang para pengguna jalan.

***

Di rumah Juragan Tarso, istrinya kembali menerima telepon dari pihak kepolisian dengan nada parau.

“Halo. Assalamualaikum,” sapa istri Juragan Tarso.

“Iya, Pak, tapi Ahtar sedang tidak ada di rumah. Dia pagi-pagi sekali sudah pergi.”

“I … iya, Pak. Nanti saya akan sampaikan.”

Lalu, percakapan itu pun berakhir.

Juragan Tarso yang mendengar bahwa istrinya menerima telepon segera menghampiri dan bertanya.

“Dari siapa, Buk?” tanyanya.

“Kepolisian, Pak,” sahut istrinya ragu. Tangannya gemetar mengembalikan gagang telepon ke tempatnya.

“Lalu, apa kata polisi?”

“Mereka bilang ingin bertemu Ahtar.”

“Ahtar? Di mana anak itu?” sela Juragan Tarso sembari berpikir.

“Entah, pagi-pagi sekali dia sudah pergi. Dia juga tidak pamitan sama Ibuk.”

Juragan Tarso pun berinisiatif untuk menelepon Ahtar, bermaksud untuk mengabari jika polisi telah meneleponnya tadi. Namun, berulang kali Juragan Tarso menelepon, berulang kali pula panggilannya tidak diangkat oleh Ahtar.

Entah pergi ke mana anak itu. Telepon juga nggak diangkat, batin Juragan Tarso yang mulai gelisah. Dia mengkhawatirkan cucu semata wayangnya. Dia tidak ingin jika sesuatu yang buruk terjadi kepada Ahtar.

***

Hingga malam menjelang, mereka masih belum mendapatkan kabar tentang keberadaan Ahtar yang sejak pagi telah pergi dari rumah. Polisi juga berusaha mencari keberadaan Ahtar melalui sambungan telepon. Tapi Ahtar tidak pernah menjawab telepon dari mereka.

Sampai jam telah menunjukkan pukul 10 malam, tiba-tiba telepon rumah berdering. Istri Juragan Tarso segera mengangkatnya, dan ternyata benar dugannya, bahwa itu telepon dari Ahtar.

“Halo. Waalaikumsalam,” sahut istri Juragan Tarso.

“Ahtar, kamu di mana, Le?”

“Surabaya? Kenapa kamu ke sana?”

“Polisi tadi menghubungimu. Lebih baik kamu segera hubungi mereka, karena katanya ada yang penting.”

Yowes, Le, kamu hati-hati. Eyang khawatir sama kamu. Eyang Kakung telepon kamu, tapi nggak diangkat-angkat.”

“Ya sudah, Le, cepat pulang, ya. Waalaikumsalam.”

Beliau mengakhiri percakapan dengan tarikan napas yang berat. Dia melihat foto cucunya yang terpasang di dinding. Ahtar begitu tampan, mewarisi wajah ibunya yang juga cantik.

***

Di Surabaya, Ahtar menginap di rumah dinas milik ayahnya. Dia kenal dengan penjaga yang dulu mengurusi rumah itu, jadi tidak sulit bagi Ahtar untuk bisa menempati rumah itu.

Pikirannya juga masih kalut, segudang kemarahan siap meledak esok hari ketika dia telah bertemu dengan orang yang bernama Danu.

Tidur Ahtar pun juga tidak nyenyak, dia berharap pagi segera datang agar dia bisa segera bertemu dan meminta pertanggungjawaban Danu atas kematian ayahnya.

***

Ahtar bersiap menuju kantor tempat ayahnya bekerja ketika di Surabaya. Dia menstarter motornya dengan kasar, beberapa kali tarikan gas yang membuat suara deruman keras menggema di halaman rumah dinas. Setelah motornya dirasa cukup mendapat pemanasan, dia segera menginjak pedal kopling dan menarik pegas lalu melesat, menghilang di keramaian Kota Surabaya

 

Bersambung ….

Episode sebelumnya (Part 5)

Episode selanjutnya (Part 7 – Ending)

 

Sinta Dewi, seorang ibu rumah tangga yang sejak kecil memimpikan menjadi seorang penulis. Lahir di sebuah kota kecil di Jawa Timur, tepatnya di Probolinggo. Penyuka warna pink dan dance ini sejak kelas 5 SD sudah menyukai dunia menulis, meski bukan hobi. Namun separuh waktunya dimanfaatkan untuk mengasah kejeliannya memainkan kata-kata.

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply