Rumah Tanpa Nyawa
Oleh : Siti Nuraliah
Suatu pagi, kicauan burung-burung terdengar merdu di halaman rumah yang asri nan sederhana. Di teras itu tertata berbagai macam dan jenis bunga. Pemiliknya begitu piawai dan telaten merawatnya. Siapa pun yang berkunjung ke sana akan betah berlama-lama. Sejuk, serta aroma khas dari bunga-bunga yang sedang bermekaran memenuhi rongga dada. Semuanya terlihat begitu segar memanjakan mata.
Sepasang suami-istri yang juga pecinta bunga mengunjungi rumah itu. Mereka berniat menawar satu jenis bunga anggrek yang sudah lama menjadi incarannya. Setelah dilakukan tawar-menawar di antara kedua belah pihak, suami-istri ini berhasil membawa satu pot bunga anggrek jenis phalaenopsis berwarna ungu bercorak-corak.
Kini Bunga Anggrek itu telah berpindah tangan kepada pemilik yang baru, mereka kemudian menyuruh seorang perempuan tua meletakkannya di rak bersusun paling atas di sebelah Bunga Lily. Juga terdapat bunga-bunga lain di undakan bawah. Rak itu terletak di dalam ruangan, di sudut sebelah kanan dekat dengan pintu.
“Rumah ini besar dan megah, pemiliknya pasti orang kaya. Tapi kenapa kamu terlihat layu? Apakah pemilik rumah ini tidak pernah memberimu makan?” tanya Bunga Anggrek pada Bunga Lily.
“Hai, kenapa kamu tampak murung sekali?” tanya Bunga Anggrek sekali lagi.
Bunga Lily menggerak-gerakkan mahkotanya, diam sejenak lalu menjawab, “Oh tidak, pemilik rumah ini selalu memberi kami makan setiap satu bulan sekali, memberi minum dua kali setiap hari, tapi seperti ada yang kurang saja, entahlah … aku juga tidak tahu!”
Bunga Anggrek ikut menggoyangkan tangkainya. “Mmm … oh iya, aku juga merasakan rumah ini sangat sepi, apakah pemilik rumah ini tidak mempunyai anak?” tanyanya.
“Pemilik rumah ini mempunyai dua orang anak, sama seperti orangtuanya, mereka bekerja dan pulang larut malam.” Bunga Lily terlihat tidak semangat menjawab pertanyaan Bunga Anggrek.
“Kau banyak bicara!” ucap Bunga Lily lagi. Ia heran melihat Bunga Anggrek yang terlihat segar dan penuh semangat, padahal tubuh mereka sama-sama subur. Kemudian dia berniat memberanikan diri bertanya kepada Bunga Anggrek tentang tempat tinggalnya yang lama.
“Kau, apakah di tempat tinggalmu yang lama sangat menyenangkan?” tanyanya, saat hari mulai sore.
“Ouw, tentu saja, Kawan. Di sana setiap pagi pemilikku akan memberi kami minum yang banyak sambil berselawat. Kami semua ikut berselawat juga.” Bunga Anggrek kini menggerak-gerakkan daunnya tanda senang, dia sangat antusias menceritakan pengalaman di rumahnya yang lama.
“Hah? Apa itu berselawat?” tanya Bunga Lily, dia baru pertama kali mendengar hal itu.
“Berselawat itu semacam pujian, doa kepada Tuhan untuk Kekasih Tuhan yang sempurna akhlaknya, agar kita ikut mendapatkan kebaikan dari pujian-pujian yang diucapkan itu.” Bunga Anggrek menjelaskan sesuai dengan apa yang dia ketahui.
“Oooh. Apa berselawat yang membuat kau terlihat tampak segar?”
Bunga Anggrek kembali menggerak-gerakkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri sebagai jawabannya. Bunga Lily mengerti.
“Apakah berselawat seperti bernyanyi? Kami juga sering ikut bernyanyi di sini, pemilik rumah ini setiap hari libur akan menyetel musik sangat keras, ia akan bernyanyi sambil memberi minum kami. Tapi lihat, teman-temanku yang berada di beranda rumah juga terlihat tampak pucat, padahal seharusnya mereka lebih segar karena mendapat asupan banyak cahaya untuk memasak makanan.” Bunga Lily menatap ke luar.
“Ya, semacam itu. Tapi berselawat beda dengan bernyanyi. Ah sudah, hari ini aku lelah sekali, besok aku akan bercerita lagi.” Bunga Anggrek menutup perbincangannya. Selanjutnya dia memejamkan mata.
***
Satu bulan Bunga Anggrek berada di lingkungan yang menurutnya asing. Di sini tidak ada aura kebahagiaan sama sekali, hampa seperti tidak “bernyawa”. Penghuni rumah ini juga sangat jarang berkumpul di ruang keluarga. Satu lagi, tidak pernah ada suara orang mengaji, seperti di tempat tinggalnya dulu.
“Hei, Bunga Lily. Apakah kau tidak merasa kalau di sini seperti kuburan?”
“Maksudmu karena di sini sangat sepi?”
“Ya, aku juga mulai merasa tubuhku cepat sekali lelah dan beberapa hari ini aku mulai kurang bersemangat!” Bunga Anggrek menggerakkan daunnya yang mulai lemas.
“Aku rasa barangkali karena penghuni rumah ini tidak pernah sekali pun terlihat melakukan salat selama satu tahun aku tinggal di sini.” Jawaban Bunga Lily membuat Bunga Anggrek terkesiap.
“O, ya? Pantas saja rumah ini terasa beku, seperti tidak ada kehidupan,” ucap Bunga Anggrek, “Bukankah bangsa kita dengan manusia penciptanya sama? Kita juga perlu memuji Tuhan, bukan?”
“Tentu saja. Itu sebuah kewajiban!” Bunga Lily menjawab dengan tegas.
“Ya, semua makhluk yang diciptakan Tuhan mempunyai kewajiban untuk memuji Tuhan. Pemilikku yang dulu menyebutnya bertasbih.”
Bunga Lily mahkotanya bergerak-gerak, ia bergeming. Mereka berdua diam.
“Bangsa manusia memang seringnya tidak bersyukur, diberi banyak nikmat tapi lupa bagaimana cara berakhlak kepada Tuhan. Lihat saja penghuni rumah ini, mereka bekerja seharian penuh, namun tidak sadar dari mana asalnya datang kenikmatan yang mereka dapatkan. Rumah ini juga menjadi seperti kuburan, tak ada suara pujian, tak ada suara-suara doa yang dipanjatkan. Rumah itu akan terasa seperti surga bila penghuninya rajin memuji Tuhan, sebaliknya akan terasa seperti hampa dan tidak bernyawa apabila pemiliknya jauh dari Tuhan.”
Bunga Anggrek berbicara panjang lebar, mereka saling bertukar pendapat. Bunga Lily tidak bisa menyangkal, dia mengamini semua perkataan kawan barunya.
“Aku rindu rumahku yang dulu,” lirih suara Bunga Anggrek terdengar menyayat hati.
Banjarsari, 07 Mei 2020
Siti Nuraliah, seorang perempuan sederhana penyuka sastra. Kadang suka menulis kadang suka membaca. Penulis amatir yang sedang berusaha selalu memperbaiki tulisannya.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata