Aku Membayangkan Kamu Menuntut Setumpuk Kenangan
Oleh: Imas Hanifah Nurhasanah
Aku membayangkan kamu datang kepadaku dan mencak-mencak. Kamu seakan tidak rela dengan apa yang sudah kita putuskan jauh-jauh hari. Bukannya kita sudah sepakat? Iya, ‘kan?
Kita ini sudah putus. Tak ada yang bisa dipungut dari sisa-sisa cinta yang sudah kandas. Cinta kita sudah mati mengenaskan. Sudah seharusnya dikuburkan, diberi taburan wijen dan dikukus. Eh, maksudku, diberi taburan bunga dan doa-doa.
Semoga kamu dan aku jadi lebih bahagia. Semoga kamu menemukan orang yang lebih baik dariku, meskipun aku ragu akan ada orang yang lebih baik dariku. Ya, setidaknya, yang mau berdekatan denganmu.
Doa-doa itu pernah begitu kita panjatkan dengan khidmat, bukan? Ah, jangan-jangan, kamu tidak pernah benar-benar tulus berdoa.
Maka dari itu, aku membayangkan kamu memang datang. Kamu mengambil sebuah surat tuntutan dan menyodorkannya dengan kasar, sampai seperti hendak menempelkannya ke wajahku.
“Aku akan menuntut!”
Kamu berseru dan aku tidak peduli. Tuntutan macam apa? Memangnya kita ini sudah menikah? Kalau sudah menikah, wajar jika kamu datang menggugat dengan surat keterangan. Akan tetapi, kita ini belum apa-apa. Kita ini belum bagaimana-bagaimana. Hanya berpacaran, itu pun rasanya tidaklah terlalu lama. Hanya satu tahun setengah!
Dalam kurun waktu satu setengah tahun itu, kita juga tidak melakukan hal-hal yang sulit dilupakan. Layaknya orang pacaran, sekadar jalan, menonton, chatting, teleponan, saling berkabar, saling menjaga, saling cemburu, dan lain-lain. Ya, tidak ada yang patut dibanggakan sebenarnya.
“Terserah! Aku mau menuntut!”
Sekali lagi, aku membayangkan kamu datang dan berteriak. Seperti orang gila saja.
“Kamu menuntut apa? Uang? Kenapa? Memangnya uang itu segalanya, hah?”
Aku bertanya tak kalah gilanya.
“Kenapa kamu bicara soal uang? Kamu memang selalu saja berpikir negatif!”
“Aku tidak berpikir negatif, kenyataannya kamu memang mulai berubah karena uang. Iya, ‘kan? Akui saja!”
Kamu diam. Sepertinya, dugaanku itu memang benar. Ah, kenapa sulit bagimu untuk mengakui?
“Pokoknya, aku ingin menuntut!”
Aku kesal. “Kamu mau menuntut apa dariku? Aku ini miskin. Aku ini bodoh. Aku tidak punya apa-apa. Di dalam kepalaku ini tidak ada apa-apa selain hal-hal yang tidak penting.”
Aku yakin, kamu amat paham. Seharusnya sangat paham. Satu tahun lebih mengenalku, pasti kamu akan sangat tahu seluk beluk tentang diriku.
“Aku ingin menuntut kenangan yang ada di dalam kepalamu!”
Aku tidak tahu kamu habis membaca novel macam apa atau menonton film apa, tapi satu yang pasti, kalimatmu menyebalkan.
“Tidak ada! Tidak ada kenangan lagi. Sudah kuhapus.”
Entah kenapa, tapi begitu lancar aku mengatakan semua kebohongan itu.
“Bohong!”
Aku menggeleng. “Sumpah!”
“Kamu selalu bersumpah, tapi kamu bohong. Aku tahu. Itulah alasannya kenapa kita putus.”
Di dalam bayanganku, kehadiranmu rasanya jadi lain. Aku tidak menginginkan bayangan semacam ini sebenarnya.
Kamu menangis. Aku juga ikut menangis.
“Karena itulah, karena alasan itulah kita putus. Asal kamu tahu, aku ingin percaya padamu. Tapi kamu sering berbohong.”
“Maaf.”
“Terlambat. Aku ingin kamu menandatangani surat tuntutan ini dan aku bisa lepas.”
“Lepas? Jadi, kamu mau aku melepaskan dirimu?”
Kamu mengangguk. “Setelah tuntutanku terpenuhi.”
“Aku tidak bisa dengan mudah mengendalikan apa yang ada di dalam kepalaku.”
“Cobalah.”
Suaramu tak lagi bernada tinggi. Aku mulai tenang.
“Baik.”
Aku berpikir. “Heh, memangnya apa yang harus kulakukan dengan isi kepalaku ini? Tuntutanmu tidak jelas!”
Aku malah kembali memulai teriakan.
“Aku ingin kamu melupakan aku! Kenangan-kenangan kita harus dihapus!”
“Tidak mudah.”
Aku menyerah. Kamu pasti tahu, aku sulit melupakan semuanya.
“Tapi cobalah, cobalah melupakan aku dan berhenti membayangkan hal-hal menyedihkan.”
“Hal-hal menyedihkan?”
“Iya. Hal semacam ini. Saat kamu membayangkan aku datang dengan surat tuntutan, padahal bukan.”
“Maksudmu?”
Aku mulai heran dengan apa yang sedang kubayangkan. Surat itu, surat itu kutatap dengan lekat. Huruf demi hurufnya, berusaha aku eja dengan teliti.
“Lihatlah, kamu memang harus melupakan aku.”
“Memangnya … ini surat apa?” tanyaku memastikan. Aku takut salah lihat.
“Itu surat undangan.”
Kemudian, bayanganku pecah berhamburan. Bayangan yang bermula dari sebuah surat yang tergeletak di meja pagi ini.
Tasik, 2020
Imas Hanifah Nurhasanah. Bercita-cita jadi penulis sejak kecil. Lahir di Tasikmalaya, 24 Desember 1996. Saat ini, tinggal Tasikmalaya. Penyuka jus alpukat ini, bisa dihubungi via akun facebooknya: Imas Hanifah atau akun IG: @hanifah_bidam. Baginya, menulis dan membaca adalah sebuah kebutuhan.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata.
*gambar: pixabay