Minoritas

Minoritas

Minoritas
Oleh : Titik Koma

Hasan hanyalah seorang nelayan miskin yang hidup di selatan Thai. Ia adalah bagian dari minoritas Melayu muslim yang hidup di bawah tekanan kerajaan Thai, baginya mencari penghidupan yang layak di daerah konflik untuk keluarganya yang miskin sudah merupakan jihad.

Hasan sering mendengar perjuangan para ulama besar seperti Haji Sultoni dan anaknya yang memperjuangkan kemurnian Islam dan hak kaum muslim untuk tetap menjalankan agamanya di tengah maraknya siamisasi dan asimilasi budaya yang banyak menginjak-injak agamanya. Hasan berharap ia bisa ikut berjuang dengan sesama rekan muslimnya itu.

“Haji Sultoni menghilang.” Desas-desus itu sudah menyebar keseluruh penjuru desa Patani, “Ini pasti ulah aparat kepolisian.”

“Makin lama tindakan aparat kepolisian Thai semakin biadab, tidak lama lagi mereka pasti berani membunuh massal kita tanpa ampun,” seru seorang pemuda sipit berkulit sawo matang.

“Hus! Pelankan suaramu, Tong.” Seorang lelaki seusianya namun dengan kulit lebih terang menghardik pemuda yang dipanggil Tong itu.

“Namaku Amiruddin, kau lupa itu!” Amir memicingkan pandangan pada lawan bicaranya.

Hasan terdiam mendengarkan percakapan teman-temanya. Setiap muslim melayu di Tahiland memang memiliki dua nama, awalnya sebelum siamisasi yang dilakukan pemerintahan mereka memiliki hak untuk menggunakan nama islami. Namun, semenjak siamisasi mereka diharuskan menggunakan nama Thai pada kartu penduduknya. Tidak hanya untuk nama, pemerintahan Thai bahkan mengatur cara berpakaian mereka, hal yang paling membuat risih para muslimah di negeri Thailand. 

Pakaian adat orang Thailand cendrung ketat dan membuka aurat, hal ini tentu bertentangan dengan ideologi Islam yang mewajibkan para wanitanya untuk menutup aurat. Bukan hanya itu, pemaksaan mereka bahkan sampai pada tempat beribadah, hampir semua Masjid di negeri Thailand dihiasi patung-patung yang identik dengan agama asli orang Thailand.

“Apa menurutmu ada kejanggalan?”

“Haji Sulthoni dan rekannya diperintahkan untuk menghadap Letkol Seranggon. Setelah itu mereka tidak kembali pada keluarganya.” Amir kembali menceritakan desas-desus yang di dengarnya.

“Kudengar pihak kepolisian memiliki tanda bukti pelepasan mereka berupa tanda tangan yang menyatakan mereka sudah diizinkan untuk pulang.”

Sebuah pukulan ringan dari Amir bersarang di kepala Bay, pemuda paling muda di antara mereka yang ikut dalam perbincangan itu.

“Kau bodoh! Mereka mudah saja merekayasa tanda tangan itu,” ucap Amir penuh penekanan yang ditujukan pada Bay.

“Atau bisa saja mereka memang dilepaskan setelah menandatangi surat itu, tapi kemudian mereka ditangkap lagi.” Hasan ikut nimbrung, “dengan kata lain mereka memang sudah merencanakan ini sejak awal.”

Semua orang yang ikut dalam berbincangan itu sejenak terdiam, di kepala mereka masing-masing berputar skenario keji yang telah dilakukan aparat pemerintahan yang seharusnya melindungi rakyatnya justru mulai menggunakan ancaman kematian untuk menekan umat islam yang sudah sejak lama ada.

Hasan mengingat kejadian malam itu, dua hari setelah  Haji Sultoni dan rekan-rekannya dinyatakan telah kembali pada keluarga setelah diintrogasi oleh pihak kepolisian. Namun kenyataannya, sampai kini pihak keluarga masih menunggu kepulangan mereka.

Ia ingat malam di desanya tak pernah sepekat itu, rintik air dari langit turun bukan pada musimnya. Bunyi ranting-ranting yang bergesekan dengan daun terdengar kencang di luar rumah menambah kesuraman malam itu, Hasan dan keluarganya membayangkan musim hujan yang semakin dekat. Tengah malam Hasan dan istrinya tak bisa tidur, akhirnya mereka menghabiskan malam dengan menbicarakan banyak hal mengenai kehidupan anak-anak mereka yang semakin banyak kebutuhannya, sementara penghasilan keluraga mereka semakin berkurang.

Tok … Tok … Tok ….

Suara ketukan pintu terdengar pelan namun juga terkesan terburu-buru. 

Hasan dan istrinya terdiam sejenak, memikirkan seseorang di luar sana yang entah siapa bertamu di tengah malam. Bunyi ketukan itu berulang sebanyak sembilan kali, Hasan pun beranjak dari kasur nyamannya, bermaksud mengetahui hal penting apa yang dibawa oleh orang di luar rumahnya. Hasan sempat mengintip dari jendela rumahnya, ia mengenal orang yang mengetuk pintunya itu, Sittichai. Hasan mengenal pemuda itu sebagai anak dari tetangganya yang berhasil menjadi anggota kepolisisan Thai. Karena ia mengenal orang itu, Hasan pun tanpa curiga membuka pintu rumahnya.

“Pak! Maaf mengganggu. Aku sedang bertugas,” suara pemuda itu terdengar bergetar, mungkin karena dinginnya malam. Rambut pemuda itu basah, begitu juga seragam yang dikenakannya. Gemetar di tubuhnya semakin tampak saat pemuda itu menerobos masuk.

“Tugas apa yang membawamu ke rumah seorang nelayan?” suara Hasan terdengar waspada.

“Aku ingin menyewa perahumu,” jawab pemuda itu.

Saat Hasan memandang mata pemuda di hadapannya, ia sadar ada hal yang disembunyikan. Mata itu memancarkan getaran ketakutan yang lebih kentara dibandingkan bahasa tubuhnya. Walaupun Hasan memiliki kecurigaan yang kuat, tapi ia tak bisa mengatakan apa yang hanya bisa ia yakini dengan hatinya. Pikirannya bertanya-tanya, namun ia tak menemukan jawaban apa pun. Karena itulah ia tak bisa menolak permintaan dari polisi muda di hadapannya. Hasan akan menyewakan perahunya, lagi pula hanya untuk malam ini saja.

Setelah berpamitan dengan istrinya, Hasan dan Sittichai pun pergi menuju perahunya yang menepi di sungai Senggoro. Ternyata tidak hanya Sittichai yang sedang bertugas malam itu, ada beberapa petugas polisi yang sudah menunggu di tepi sungai sana. Hasan dapat melihat siluet dari kerumunan polisi yang bergerak mencurigakan itu, ada gelenyar ketakutan mengalir yang sampai ke otak sang nelayan, Hasan mengayunkan langkah yang sebelumnya tergesa menjadi agak pelan.

“Kenapa?” Sittichai bertanya dengan suara tegas.

“Sebenarnya tugas apa yang kau lakukan?” Suara Hasan terdengar ragu, tapi ia tak bisa menahan rasa penasarannya untuk bertanya.

“Dengar!” Pemuda itu mencengkeram lengan Hasan kuat-kuat, “jangan bertanya apa pun, tugasmu cukup mengembangkan layar perahumu untuk bergerak ke tengah laut Senggoro.”

“Tapi ….” Hati nurani Hasan masih tak bisa menerima.

“Jangan terlalu banyak memikirkan hal yang rumit. Percayalah setelah tugas ini selesai kau akan kembali dengan selamat pada keluargamu dengan membawa uang yang lebih dari cukup.” Petugas muda itu seolah tak hanya bicara pada Hasan tapi juga bicara pada dirinya sendiri, tugas ini akan segera selesai dan kehidupannya akan kembali normal, “kau cukup diam dan laksanakan tugasmu dengan baik,” suara Sittichai terdengar lirih, sangat lirih sampai terasa perih di lambungnya. Berpura-pura tak tahu apa-apa akan lebih baik, pikirnya meyakinkan dirinya sendiri.

Hasan pun mengikuti langkah polisi itu dengan wajah menunduk, ia menyembunyikan rasa takutnya dalam-dalam. Ia mendengar suara polisi muda itu berbicara dengan petugas polisi lainnya. Dari gerak tubuh Sittichai yang menaruh hormat pada lawan bicaranya, Hasan menyangka orang itu mungkin atasannya. Mereka menjauhi Hasan saat keduanya mulai berbicara hal yang lebih serius, Hasan memperhatikan kedua orang itu. Matanya lalu berkeliling mengamati sekitarnya, ada sekitar tiga orang yang sedang berdiri di sebelah mobil besar dengan bak terbuka, tiga orang lainnya berada  tak jauh. Mereka terpencar: satu orang menghadap ke utara, satu lainnya ke sebelah barat, sedangkan satu orang lainnya memperhatikan ujung jalan dari arah kedatangan Hasan.

Di dalam mobil masih ada dua orang petugas, satu di antaranya duduk di depan stir dengan posisi siaga. Hasan memperhatikan si pengemudi, orang itu bukanlah seorang petugas polisi. Hasan mengenal orang itu sebagai pemilik mobil yang saat ini mengangkut polisi-polisi itu. Hasan sedikit bernapas lega saat ia menemukan dirinya bukanlah menjadi satu-satunya warga sipil yang terlibat dalam tugas ini.

“Pak Hasan, ayo! kita ke perahu segera.” Seorang Letkol yang tadi bicara dengan Sittichai mengintruksikan Hasan untuk mengikutinya. Orang itu berjalan di depannya dengan tergesa-gesa. Hasan mengikuti langkah polisi itu, kakinya sempat terselip oleh sandal bututnya sendiri.

Hasan menengok sejenak ke arah para petugas yang tertinggal di belakangnya, mereka dengan gerakan cepat menurunkan karung-karung berukuran besar, ia melihat Sittichai dan kelima temannya mengangkat karung-karung itu dengan gesit, empat di antaranya memanggul masing-masing satu karung, dua lainnya berjalan di depan dan belakang para petugas yang memanggul itu. Mereka sudah terlatih dan terorganisir dengan baik, walau begitu tugas ini terasa begitu berat dan melelahkan. Malam ini akan menjadi malam yang tak pernah mereka lupakan, malam panjang yang berpotensi menjadi mimpi-mimpi buruk bagi semua yang terlibat dalam tugas ini. Seperti halnya Hasan, sampai saat ini ia masih mengingat malam itu dengan jelas. Saat karung-karung yang entah berisi apa, diterjunkan dari perahunya ke dasar laut yang dalam.

“Mungkin Haji Sultoni dan rekannya telah ditangkap lalu dibunuh oleh kepolisian Senggoro,” cicit Amir. Suaranya terdengar begitu pelan seakan takut ada yang akan menangkapnya jika ada yang tahu ia telah bicara hal buruk tentang aparat pemerintah.

“Pertanyaannya, di mana mayat-mayat mereka dikuburkan?” celetuk Bay.

“Mungkin para polisi itu menggali kuburan di dalam sel penjara dan menguburkan mayat-mayatnya di sana.”

“Atau mereka membuangnya ke tengah laut.”

“Bisa juga mereka membakar mayat itu hingga menjadi abu.”

Suara-suara mereka saling bersahutan, mengeluarkan segala pikiran buruk yang terbersit mengenai nasib Haji Sultoni dan rekan-rekannya.

Hasan meninggalkan pembicaraan yang tak ada habisnya itu tanpa pamit, dalam pikirannya ada begitu banyak kemelut yang terus mengganggunya tanpa penyelesaian yang pasti. 

Malam itu Hasan memang pulang pada keluarganya dengan selamat, membawa uang hasil sewaan perahunya. Tapi Hasan tak hanya membawa uang pada keluarganya, ia juga membawa mimpi-mimpi buruk itu pada setiap malam kebersamaan yang ia miliki dengan anak dan istrinya. Hasan bukanlah nelayan bodoh yang tak bisa mengaitkan peristiwa hilangnya seorang muslim yang memperjuangkan nasib kaumnya dengan peristiwa malam itu.

Jika ia tetap diam, ia mungkin akan hidup selamanya dengan mimpi-mimpi buruk itu. Namun, jika dia memilih untuk mengatakan peristiwa malam itu, tak akan ada satu orang pun yang akan menjamin keselamatannya. Hasan sadar betul dengan apa yang ia hadapi, dan pilihan terbaik dari hati nuraninya adalah bersedia menceritakan kembali setiap kejadian yang ia lihat pada malam itu. Hasan siap menjadi saksi mata, mempertaruhkan nyawa untuk malam-malam tenang dirinya dan keluarga.

Dengan adanya saksi, pihak keluarga Haji Sulthoni berhak mengajukan kasusnya ke pengadilan. Mereka pun menjamin keselamatan Hasan dari ancaman para pembunuh itu. Namun, perjuangan mereka masih begitu panjang. Bahkan cahaya kemenangan terasa begitu jauh di mata para muslim minoritas.

Suatu hari, umat muslim di seluruh Patani gempar karena telah menemukan mayat dengan kondisi yang mengenaskan. Tubuhnya tercabik seakan baru diterkam binatang buas, tubuh tak bernyawa itu di kenali sebagai seorang nelayan yang belum lama mulai terkenal karena pilihan beraninya mengajukan diri sebagai saksi pihak muslim. Hasan ditemukan tewas dalam perjalanan menuju rumahnya, kerinduannya akan bertemu istri dan anaknya harus tertunda di kehidupan yang lain. (*)

 

Titik Koma, sedang belajar menulis.

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply