Bertamu ke Rumah Teman
Oleh : Ning Kurniati
Jarak rumah Mose ke rumah Mapi—teman yang selama ini ia sering kunjungi—tidaklah jauh. Selemparan batu ia sudah sampai. Maka, meski malam hari Mose tetap merasa nyaman untuk berkunjung. Ada perihal penting yang ingin dibicarakannya. Malam itu, ia mengetuk pintu rumah Mapi. Suasana begitu sepi, tak ada orang yang lewat-lewat. Si Mori—anjing tetangga mereka yang mudah terganggu tak menggonggong, padahal ia sudah ribut-ribut dengan bersiul-siul.
“Aneh betul.” Ia bicara sendiri.
Mose sejak sore hari gelisah, dan sialnya tidak tahu penyebab kegelisahannya. Sejak itu, ia sudah ingin datang ke rumah Mapi, tapi ragu-ragu takutnya nanti malah mengganggu si empunya rumah. Ia tahu betul kalau Mapi tidak suka didatangi kalau bukan hal yang penting, dan karena berpikiran begitu, maka ia pun mengurungkan niatnya. Namun, toh, pada akhirnya ia berkunjung juga.
Tiga kali ucapan salam dan delapan belas kali ketukan di pintu, tak ada tanda-tanda balasan dari dalam rumah. Hal yang tidak lazim, pikir Mose. Mapi jarang bepergian, kalaupun bepergiaan lelaki itu selalu bilang pada dirinya atau pada satu dua orang tetangga lain. Yah, mungkin tetangganya tahu. Ia berencana akan menanyakan hal tersebut besok saja. Sekarang sudah malam dan ia mengingatkan dirinya untuk istirahat tidak perlu memikirkan hal yang belumlah jelas.
Malam itu ia bisa terlelap ketika habis menelan pil yang selalu disediakan istrinya.
***
Besoknya, pagi-pagi ia bangun, bergegas mandi, dan sarapan bersama dengan istri dan anak-anaknya yang masih kecil-kecil lalu ke ladang. Ia sudah lupa tentang kegelisahannya, tentang keinginannya untuk berkunjung ke rumah Mapi. Di pikirannya hanya tentang bagaimana ia menyelesaikan pekerjaannya menyiangi ladang jagung milik orang yang pembayarannya ia ambil di muka.
Ladang itu luas, menghampar sepanjang mata memandang. Mose tertegun sebentar dan tak pelak di dalam hatinya, ia berkeinginan memiliki tanah yang seluas itu, kelak di kemudian hari. Lalu, ia menarik napas dan mengembuskannya pelan-pelan.
Empat per lima dari luas ladang itu sudah selesai. Hari ini, laki-laki yang memiliki perawakan tinggi besar itu akan menyelesaikan pekerjaannya. Ia sudah memulai, tetapi kemudian ia berhenti. Di kejauhan sana dari arah jalan raya, istrinya tergopoh-gopoh menuju ke arahnya dengan sarung yang melilit pinggang yang bikin susah langkahnya.
Ketika istrinya sudah sampai, Mose tidak langsung bertanya penyebab perempuan yang pendek ramping itu menyusulnya ke ladang. Itu cara orang kolot, ia pikir dan ia bukanlah orang kolot. Ia biarkan oksigen memasok tubuh itu dengan baik terlebih dulu.
“Mapi … dia ….”
“Heh, ya, ya, kau bernapaslah dulu dengan baik.”
“Dia mati.”
“Apa?”
“Dia mati.”
“Kenapa bisa, siapa yang bilang?”
Istrinya sudah tenang dan dengan lancar ia berkata, “Ia gantung diri. Orang-orang sudah merumun di rumahnya.”
“Oh, Ya Allah … ayo, ayo!”
Bergegas mereka berdua menuju rumah Mapi. Tampak garis polisi mengitari rumah yang semalam ia datangi itu. Polisi yang berjaga-jaga terus-menerus memberikan arahan agar orang-orang yang datang menjaga jarak karena pandemi covid-19 masih merebak. Apalagi bagi yang tidak pakai masker lebih baik pulang saja. Sekarang, bukan masanya untuk berkumpul. Namun, orang-orang tetap kukuh bertahan di sana. Saling berbisik-bisik. Polisi putus asa, ingin menghardik, tapi sedang berpuasa, sedang berlatih menahan amarah.
“Kenapa ya Mapi bunuh diri?” tanya istrinya ketika mereka tiba di rumah sehabis pulang dari menguburkan mayat Mapi.
“Aku tidak tahu.”
“Kau ‘kan temannya, masa ia tidak pernah cerita. Semalam bukannya kau datang ke rumahnya?”
“Iya, tapi dia tidak membuka pintunya. Seingatku … dia juga tidak pernah cerita yang aduh, bagaimana ya … semuanya normal.”
“Pasti ada gejalanya.”
“Heh, gejala? Itu kata untuk orang yang berpenyakit.”
“Yah, maksudku tanda-tanda dia ada masalah begitu.”
“Tidak ada, semuanya normal.”
Istrinya masih terus-menerus membahas kira-kira alasan Mapi menggantung diri sampai beberapa jam kemudian. Ada jeda beberapa menit, lalu pembahasan akan berulang kembali ke topik itu lagi. Malah, anak-anaknya juga diikut-ikutkan ke dalam pembahasan. Hal itu membuat Mose sebal, tak pantas menurutnya anak-anak diajak mengobrol urusan orang dewasa. Biarkan mereka membicarakan urusannya sendiri. Namun, itu justru tiba-tiba membuatnya jeri. Ia ingat, selama ini tak sekali pun Mapi membuka diri ataupun mengeluh kepadanya. Ah, kini ia merasa tidak menjadi teman yang baik baginya, atau bisa jadi Mapi menganggapnya tidak layak diajak berbagi dan lebih menyukai memilih menyelesaikan masalahnya dengan caranya sendiri.
Malam itu … Mose bertamu ke rumah Mapi. (*)
6 Mei 2020
Ning Kurniati, Perempuan dengan mimpi yang terus bertambah-tambah.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata