Hidup dan Bertahan, saat Corona sedang Bersemi

Hidup dan Bertahan, saat Corona sedang Bersemi

Hidup dan Bertahan, Saat Corona sedang Bersemi
Oleh : Karna Jaya Tarigan

Anak-anak hanya mengunyah dan terus mengunyah dan tidak peduli seberapa cepat isi kulkas akan habis. Mereka mengambil apa saja yang bisa dinikmati untuk membunuh waktu. Kemudian si Kecil mulai merasa bosan sebab sepanjang hari hanya bermain di dalam rumah, lalu ia mulai mencari perhatian. Jika tidak merengek, tentu ia akan berubah menjadi monster kecil si Pengganggu Ketenangan. Dan si Sulung lebih banyak menghabiskan waktu di depan televisi menonton film kartun kesukaannya atau menunggu tayangan “Tik-Tok” yang akan diputar di jam-jam tertentu. Orang dewasa tentu saja lebih bisa “menempatkan diri” dalam keterbatasan. Meski begitu, aku dan istriku selalu berpikir, kapan pandemi ini akan cepat berakhir dan bagaimana membereskan semua tagihan yang telah menunggu?

Kami pun mulai membuka otak dan membaca peluang, apa saja yang bisa dilakukan untuk mendapatkan uang. Mulai dari memanfaatkan status WhatsApp untuk berjualan makanan, menjadi editor freelance, atau ikut-ikutan berdagang masker seperti yang dilakukan oleh beberapa teman. Kami juga harus memastikan laundry kami yang satu-satunya sebagai “mesin pencetak uang” tetap berjalan. Sebisa mungkin kami juga harus selalu berpikiran positif, bahwa kehidupan akan baik-baik saja seperti hari kemarin-kemarin. Itu hal yang terpenting sekarang. Ada juga hal lain yang kami diskusikan bersama: kehati-hatian adalah keutamaan. Kami mulai menerapkan kebijakan “menjaga jarak” dengan orang lain sesuai anjuran pemerintah dan selalu mengenakan masker ke mana-mana. Namun setelah melakukan itu semua, tetap saja aku merasa ada yang berubah. Aku merasa menjelma seekor kucing kelaparan yang sedang terancam, diwaspadai seseorang karena hendak mencuri sepotong ikan, atau seekor kancil yang sedang “ngos-ngosan” dikejar harimau. Entahlah, aku pikir ini analogi yang sangat tidak tepat. Mungkin begitu rasanya ketika seorang anak manusia sedang merasa was-was. Pandemi ini adalah ancaman yang tak terlihat, namun nyata.

***

Saat anak-anak telah tertidur lelap, kami mulai berbicara apa saja, meski bukan untuk menyenangkan hati. Tentang berapa pendapatan hari ini, memprediksi hari esok dan ke depannya, berapa hari lagi istriku akan mendapatkan haidnya kembali, atau perbincangan-perbincangan yang relevan dengan keadaan sekarang. Aku pikir beberapa hari ini aku telah menjadi seorang peramal ulung yang mampu melompati dan mendahului waktu untuk mengetahui segalanya. Istriku juga mendadak berubah, ia yang setiap harinya hanya “memantengi” media sosial, kini bertingkah dan berbicara layaknya seorang ahli statistik yang sedang berteori: tentang kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi lewat uraian angka-angka yang membuat kepalaku cepat pusing. Setelah merasa bosan mendengar ceramahnya yang terdengar seperti mata kuliah “riset operasi” yang menyebalkan, biasanya aku buru-buru menutupi bibir tipisnya dengan bibirku, menggodanya, dengan harapan ia segera diam dan terbuai lalu segera menanggalkan gaun tidurnya. Tak lama malam mulai dipenuhi suara desahan dari dua insan yang sedang resah ingin mencapai sesuatu.

Hanya itu yang tersisa bagi kami untuk melepaskan kepenatan hidup. Aku pikir semua pasangan suami-istri di dunia pastilah berpikiran sama, bercinta adalah cara yang paling manjur untuk membunuh jenuh. Dan setiap pagi aku akan selalu mendapati dirinya yang baru keluar kamar mandi, dengan rambut panjang ikalnya yang tergerai basah dan handuk pendek yang membebat tubuhnya yang molek. Dua hal di atas adalah kebiasaan baru yang kami temukan kembali setelah masa-masa pengantin baru dahulu. Masa-masa indah yang nyaris telah lama kami lupakan: bercinta setiap hari.

***

Mungkin saat-saat ini adalah saat-saat yang tidak akan pernah bisa kami lupakan, juga seluruh umat manusia kelak. Saat manusia berusaha melepaskan diri dari keterbatasan dan ketakutan. Saat manusia berusaha bertahan dan cuma bisa menunggu datangnya kepastian. Kami akhirnya mengetahui, bahwa ras manusia sangat rapuh dan lemah. Dan saat ini juga manusia mengerti, bahwa perang bukan lagi menjadi sebuah ancaman.

Semuanya berawal dari suatu tempat yang jauh, kala virus itu tumbuh dan merekah dan berkembang seperti bunga-bunga di musim semi, tetapi bukan untuk menebar keindahan melainkan menebar ancaman. Aroma kecemasan dan kematian berembus dan tercium di mana-mana.

Lalu ini keadaan ini mulai berkembang menjadi sebuah krisis kemanusiaan, saat banyak manusia yang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-sehari dan terpaksa harus bergantung pada kebaikan hati orang lain. Namun anehnya, banyak juga manusia yang tidak menyadari keadaan ini dengan bertindak dan bertingkah semaunya. Sebagian manusia yang sadar dan peduli, sangat paham bahwa bersembunyi di dalam rumah adalah perlindungan yang terbaik, namun sebagian lainnya, tidak mau diatur dan selalu berkilah dengan bermacam-macam alasan.

Kini manusia lebih banyak berdebat soal kata-kata tak bermakna, dan malah melupakan esensi kehidupan itu sendiri, bahwa kemanusiaan yang lebih penting dari segalanya.

***

Hidup dan bertahan saat Corona tumbuh bersemi membuat kami semakin yakin, bahwa hanya cinta, semangat, doa-doa, dan keinginan-keinginan baik yang akan membuat kita semua yakin: Hidup akan baik-baik saja.(*)

 

Bekasi, 7 Mei 2020

Karna Jaya Tarigan, seorang penulis pemula. Kini ia sedang giat mempelajari filosofi kata-kata.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply