Bedebah Elit

Bedebah Elit

Bedebah Elit
Oleh : Siti Nuraliah

Gedung itu masih sama persis sejak beberapa tahun lalu. Lantai tiga, dengan dinding kaca. Seorang laki-laki berdasi lengkap dengan jas hitam serta sepatu mengilatnya keluar dari sana, menggandeng perempuan cantik dengan pakaian mini.

Keduanya memasuki mobil, aku memperhatikan dari kejauhan. Kuikuti ke mana arah mobil itu melaju. Seperti biasa, laki-laki ini telah berganti pakaian, mereka berhenti di sebuah toko swalayan. Membeli dua minuman soda, dan satu dus “pengaman”. Bibirku menyungging, masih dengan kebiasaan lama rupanya, untungnya dia tidak menyadari kehadiranku yang berdiri tidak jauh darinya.

Aku tidak habis pikir, bagaimana bisa laki-laki busuk seperti dia masih bisa dipercaya menjadi seorang pemimpin, dan masih bisa berkeliaran bebas? Para karyawannya pun bukan tidak tahu kelakuannya, hanya aku yakin mereka menutupi itu demi kantong-kantongnya agar tetap terisi. Aku teringat saat ia masih menjadikanku sebagai “simpanan”.

***

“Apa istrimu tahu?” tanyaku pada suatu sore ketika kami akan menghabiskan malam di Villa Pantai Kelapa.

“Aku tidak sebodoh itu.” Ia menyeringai, lalu tertawa, memamerkan deretan giginya. Bau asap rokok menguar dari mulutnya. 

“Aku ingin dinikahi!” pintaku padanya. Ia terkekeh lagi.

“Jangan konyol, kau jelas tahu konsekuensinya.” Mimik mukanya berubah menjadi serius, rahangnya mengeras.

Sebetulnya aku menyadari sebuah kesalahan besar sedang aku jalani. Namun, lagi-lagi aku tak mampu melepaskan diri. Meninggalkannya, itu berarti merelakan saham yang kutanam di perusahannya. Bertahan pun sama, aku harus rela menjadi budak nafsunya.

Jarak usia pun begitu kontras. Aku lebih pantas menjadi anaknya. Bukan, bukan karena aku masih sangat muda, melainkan ia yang terlalu tua. Tidak ada yang tahu antara hubunganku dengannya, bahkan sahabat dekatku sejak masa SMA nyaris tidak tahu apa-apa.

Rasa bersalah, kehampaan, dan kekosongan di hati semakin hari terus menghantui. Aku yakin perasaan ini dirasakan oleh setiap pendosa yang masih bernurani. Kurasakan Tuhan mulai menegurku.

Aku mulai mencari bantuan, bagaimana cara melepaskan diri dari jurang ini. Bagaimanapun aku harus mendapatkan kembali saham yang kutanam di perusahaannya, sebelum akhir pergi meninggalkan kota ini. Diam-diam kuhubungi beberapa rekan bisnisnya. Nihil, seolah persekongkolan mereka serupa lingkaran setan, apik. Laki-laki busuk ini mempunyai hubungan manis dengan para petinggi negeri. Aku tak cukup bukti untuk bisa membongkar kelicikkannya.

Meski begitu, aku tidak mampu menolak setiap kali ia datang meminta “jatah malam”, entahlah rayuannya begitu berkelas. Layaknya suami-istri, kami melakukannya berkali-kali. Orang-orang akan memangilku munafik, ya, secuil ajakan kebaikan yang datang dari hati akan selalu kuabaikan saat sudah bertemu dengan laki-laki ini.

***

Kuikuti ke mana lajunya mobil berpelat nomor “beda” itu. Di depan sebuah restoran besar ia memarkirkan mobilnya. Perempuan yang digandengnya tadi keluar dan bergelayut manja di pundaknya. Aku mual melihat pemandangan itu. Barangkali seperti itulah aku dulu.

Ia terlihat menjentikkan jari kepada pelayan. Tidak lama kemudian, pelayan itu datang membawa daftar menu. Mereka duduk di bangku nomor 35, kebetulan restoran ini ramai, aku bersandar di bangku paling pojok sebelah kanan. Senyum tersungging lagi dari bibirku. Rupanya setelah kejadian mengerikan itu, laki-laki kebal hukum ini masih bebas bernapas di muka bumi. Otakku kembali memutar bayangan, tepatnya dua tahun yang lalu.

***

Panik, seharusnya tanggal 25 bulan ini aku datang bulan. Satu minggu dari tanggal itu masih tidak ada tanda-tanda “tamu bulananku” keluar. Sebenarnya bagi perempuan yang tidak pernah melakukan apa-apa, tidak akan ada masalah, sebab siklusnya bisa berubah-ubah.

Dua minggu, tiga minggu, hingga hitungan menjadi genap satu bulan. Bagi Tuhan memang tidak ada yang tidak mungkin, kami sama-sama menggunakan pengaman ketika “melakukan” hubungan. Kuputuskan keluar membeli alat pengecek kehamilan. Dua garis berwarna merah tampak nyata di depan mata, aku terkulai lemas. Tubuhku luruh di dinding kamar mandi, sambil memeluk lutut aku terisak.

Aku teringat Ibu yang kerap kali memintaku untuk segera menikah. Bila sudah seperti ini, mustahil ada laki-laki baik hati yang sukarela menerima perempuan kotor sepertiku. Bayangan diusir keluarga, dikucilkan tetangga, dan dicibir orang sekampung jelas berputar di kepala. Kukabari Ibu di kampung halaman, berpura-pura sibuk belum memenuhi permintaannya untuk pulang. Mencari cara bagaimana aku bisa keluar dari jerat hitamnya ibu kota.

Kusodorkan sebuah benda bergaris dua itu kepadanya suatu malam saat ia meminta sebuah “permainan baru”.

“Aku tidak dungu, kau perempuan malam, bisa saja itu bukan benih dariku,” ucapnya sambil menepis tanganku.

“Kau kutiduri dengan memakai pengaman, tidak mungkin jadi,” sanggahnya lagi.

“Lancang. Kau menyebutku perempuan malam?” Air mataku berurai.

Kemudian pertengkaran hebat kami terjadi ….

***

Sampai detik ini aku masih merasakan sakitnya perbuatan laki-laki yang sekarang sedang kuperhatikan ini. Aku yakin, ia sudah punya mangsa baru, perempuan yang sedang meneguk wine itu tertawa manja dirayu habis-habisan oleh laki-laki busuk yang semakin terlihat tua.

Pukul delapan lewat lima belas menit, mereka sampai di gedung penginapan berbintang. Penerima tamu yang sudah hafal, menyapanya dengan ramah. Identitas dipalsukan sebagai ajang perlindungan. Laki-laki ini hanya satu dari sekian banyak elit-elit negeri yang bersembunyi di balik topeng kekuasaan. Aku tidak jarang menemukan rekan-rekannya di sini. Mereka memang pandai berkamuflase.

Aku mengekor di belakangnya, lagi-lagi ia tidak menyadari kehadiranku. Aku menyelinap masuk saat pintu kamar booking-annya dibuka. Ia membopong tubuh perempuan berambut kuning kecokelatan yang setengah mabuk itu ke atas kasur. Ia tertawa penuh gairah, sorot matanya serupa serigala yang menemukan mangsa saat perutnya lapar. Aku sudah tahu, mereka akan menghabiskan malam sampai pagi menjelang.

Tangannya mulai bermain, perempuan ini melenguh. Sayang sekali, ia ini dinikmati saat sedang dalam keadaan tidak sadar. Aku bagai menonton diriku sendiri, kuperhatikan setiap gerakan mereka di balik tirai. Cukup lama, keduanya kini saling mengatur napas. Sebentar lagi laki-laki yang tak pernah kenyang ini akan meminta tambah.

Kutarik pundaknya dari belakang saat ia berdiri hendak mengulang gerakan. Ia terkesiap. Pun perempuan berambut pirang ini ketakutan melihat laki-laki di hadapannya terhuyung ke belakang. Kubenturkan kepalanya ke dinding kamar, perempuan ini semakin ketakutan melihat pasangannya mengeluarkan darah dari kepalanya. Ia menyambar selimut menutupi tubuhnya kemudian berlari ke luar, meminta pertolongan.

“Mon—Mona … ka—kau …,” ucapnya terbata-bata. Tenggorokkannya kucekik sekuat tenaga.

“Bukankah ini yang kau lakukan padaku pada malam itu, saat aku minta pertanggungjawaban, hah?”

Napasnya mulai tersengal-sengal, kubenturkan berulang-ulang kepalanya ke dinding, darah segar mengalir. Mataku menangkap sesuatu di atas meja, sebuah pisau pengupas buah. Kuhunus tubuhnya beberapa kali tanpa ampun.  Ia harus mati di tanganku. Seperti misteri kematianku yang tak pernah diungkap.

 

Banjarsari, 04 Mei 2020

 

Siti Nuraliah, perempuan sederhana penyuka sastra. Kadang suka menulis kadang suka membaca. Penulis amatir yang sedang berusaha selalu memperbaiki tulisannya.

 

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply