Death (Part 5)
Oleh : Sinta Dewi S.
Ahtar tidak ingin mengirim ibunya ke rumah sakit jiwa. Karena Ahtar tahu, jika ibunya tidak gila. Dia hanya mengalami depresi akibat kematian Fahmi.
“Tidak, Eyang. Ibu tidak gila,” ucap Ahtar menyela, menyangkal permintaan eyangnya untuk membawa Anita ke rumah sakit.
“Tapi, Tar, jika dibiarkan, keadaan ibu kamu justru akan lebih buruk! Bayangkan saja jika tidak ada orang di rumah, kelakuan nekat ibu kamu bisa terulang lagi. Kamu mau ibu kamu berbuat nekat seperti kemarin?” tanya Eyang Uti.
Sejenak Ahtar teringat tentang kejadian di mana ibunya berusaha bunuh diri dari atas balkon lantai dua rumah mereka. Ahtar memang tidak ingin kejadian itu terulang kembali. Tapi, dia juga tidak ingin membiarkan ibunya terkurung di rumah sakit jiwa.
Ahtar berpikir apa yang harus dia perbuat dengan masalah yang menimpa ibunya. Keselamatan ibunya adalah mutlak baginya.
“Tar, bagaimana? Ini juga demi keselamatan ibu kamu. Di sana, ibumu juga tidak akan dibiarkan sendirian, ada dokter yang bisa membantu menyembuhkan depresi ibu kamu.” Eyang menjelaskan.
Dengan sebuah pertimbangan yang cukup meyakinkan, walau berat untuk Ahtar mengambil keputusan yang mungkin sangat tidak diinginkan Anita, tapi Ahtar harus melakukannya demi keselamatan dan kesembuhan Anita.
“Baiklah, Eyang, kalau memang itu terbaik menurut Eyang.”
***
Ahtar meminta tolong Eyang Uti untuk mengganti baju ibunya sebelum berangkat ke rumah sakit. Eyang Uti pun memenuhi permintaan Ahtar, beliau mengganti baju Anita yang tampak lusuh, beberapa kancing bajunya juga nyaris habis, entah telah jatuh di mana. Karena sejak kematian Fahmi, Anita tetap memakai baju itu, setiap hari.
Ahtar berharap segala macam depresi yang dialami Anita akan segera sembuh dan membaik. Akhirnya Ahtar mengantar Anita ke sebuah rumah sakit jiwa yang terdekat di kota mereka. Di sana Anita mendapatkan pemeriksaan awal yang wajib dijalani oleh setiap pasien baru. Dengan pemeriksaan awal tersebut, dokter akan tahu sebenarnya jenis depresi apa yang dialami oleh Anita.
Wajah Anita terlihat lesu, pucat, sorot matanya pun kosong. Tidak ada sama sekali gairah untuk hidup di wajahnya.
Dengan berat hati Ahtar menyerahkan ibunya kepada salah satu perawat rumah sakit.
“Bu … Ibu baik-baik ya di sini,” ucap Ahtar setelah mencium kening ibunya.
Setelah itu perawat segera membawa Anita menuju ke ruang perawatan untuk mendapat obat dan terapi. Ahtar menatapnya lekat, hanya bisa memandang punggung ibunya yang dipapah lemah oleh perawat, sampai Anita benar-benar hilang di belokan koridor rumah sakit.
***
Di tengah perjalanan, Ahtar tiba-tiba mendapatkan sebuah telepon dari kepolisian.
“Halo, dengan saudara Ahtar?”
“Ya, saya sendiri, Pak. Ini dengan siapa?”
“Kami dari kepolisian, ingin mengabarkan sesuatu tentang perkembangan kasus kematian ayah Saudara.”
“Iya, Pak, bagaimana?”
“Setelah kami mengotopsi dan menyelidiki keseluruhan dari kasus kematian Bapak Fahmi, kami menemukan adanya tindak kekerasan di bagian kepala korban. Terdapat memar serta pembekuan darah disebabkan pukulan benda tumpul. Kami juga menemukan adanya sidik jari di bagian tali yang melilit korban, tapi kami pastikan sidik jari itu bukan sidik jari korban, dengan kata lain ada orang yang sengaja membunuh korban.” Polisi menjelaskan.
“Jadi? Maksud Bapak, ayah saya sengaja dilenyapkan?”
“Secara teori, seperti itu. Tapi kami perlu mendalami lagi kasus ini secara terperinci. Tapi, saya harap Saudara tidak memberitahukan masalah ini kepada orang lain, sebelum kami mendapatkan bukti yang akurat.”
“Baik, Pak.”
“Tapi kami bisa minta tolong?”
“Minta tolong apa, Pak?”
“Tolong bantu kami mencari tahu tentang siapa yang terakhir kali berinteraksi dengan korban, serta apakah korban memiliki musuh atau masalah dengan orang lain sebelumnya?”
“Baik, Pak, saya akan berusaha membantu sebisa saya.”
“Baik, terima kasih, Saudara Ahtar.”
Percakapan diakhiri. Ahtar masih tidak percaya jika ayahnya meninggal bukan karena bunuh diri, tetapi sengaja dihabisi. Dan sekarang, pertanyaannya adalah siapa orang yang telah tega menghabisi ayahnya? Apa motifnya sehingga harus menghilangkan nyawa ayahnya? Ahtar berpikir keras tentang masalah itu. Dia tidak akan tinggal diam mengetahui kebenaran jika ternyata ayahnya telah dibunuh.
***
Sesampainya di kamar, Ahtar langsung melemparkan tubuhnya ke atas ranjang, memejamkan mata, dan sejenak merenung. Akan dimulai dari mana penyelidikannya untuk mengetahui kebenaran tentang kematian ayahnya?
Semua terasa sulit dan pelik baginya. Pikirannya pun tidak semata-mata dia tujukan kepada kasus kematian Fahmi. Dia juga memiliki seorang ibu yang membutuhkan perhatian serta dukungan darinya. Keadaan fisik Anita yang semakin melemah selepas kepergian Fahmi juga menjadi bahan pemikiran Ahtar. Dia selalu berusaha menjadi sosok yang bisa diandalkan ketika Anita membutuhkan.
Tok tok tok.
Suara ketukan pintu mengagetkkan Ahtar yang tengah memejamkan mata. Dia pun terbangun dan berjalan menuju pintu. Membukanya.
“Tar, bagaimana? Apa ibumu sudah mendapatkan perawatan?” tanya Eyang Kakung kepadanya.
“Sudah, Eyang. Tapi ….” Ahtar menghentikan perkataan. Sejenak dia teringat akan hal yang diperingatkan oleh polisi itu agar tidak menceritakan tentang dugaan pembunuhan terhadap Fahmi kepada orang lain.
“Tapi kenapa, Tar?” tanya Eyang Kakung, penasaran.
“E … tapi aku merasa kasihan kepada Ibu, Eyang,” jawab Ahtar, mengalihkan jawaban sebenarnya. Dia tidak boleh gegabah membeberkan semuanya kepada siapa pun, termasuk Eyang Kakung dan Eyang Uti sekalipun.
“Oh, begitu. Oh iya, ini ponsel ayah kamu. Mending kamu saja yang menyimpan, ya.” Eyang Kakung memberikan sebuah ponsel berwarna hitam.
Ahtar pun menerima ponsel itu dengan antusias. Dia berharap bisa menemukan petunjuk baru yang akan membantunya menyelesaikan dan mengungkap semua teka-teki tentang kematian Fahmi.
***
Di tempat lain, Danu yang telah mendengar kabar kematian Fahmi segera pergi menjauh dari lingkungan keluarga itu, dia takut bahwa polisi yang menangani kasus kematian Fahmi akan menyangkutpautkan dirinya. Menjadikanya target pencarian setelah polisi berhasil melacak apa yang telah terjadi di antara mereka sebelum kejadian nahas itu terjadi.
Bersambung ….
Sinta Dewi, seorang ibu rumah tangga yang sejak kecil memimpikan menjadi seorang penulis. Lahir di sebuah kota kecil di Jawa Timur, tepatnya di Probolinggo. Penyuka warna pink dan dance ini sejak kelas 5 SD sudah menyukai dunia menulis, meski bukan hobi. Namun separuh waktunya dimanfaatkan untuk mengasah kejeliannya memainkan kata-kata.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata