Kupinjam Mata Jenazah
Oleh : Rachmawati Ash
Setiap kali aku berada di depan jenazah, selalu ada keinginan kuat untuk masuk ke dalam matanya yang terkatup. Aku berpikir, di dalam lensa matanya pasti terekam peristiwa terakhir sebelum ajal menjemput. Aku sangat ingin tahu, kejadian apakah yang dilihat lalu direkam oleh mata jenazah. Barangkali bisa menjadi pengalaman bagiku.
Jika orang lain tak mau berlama-lama di depan jenazah, aku justru sebaliknya. Aku tak pernah menganggap ini aneh, karena sungguh keinganan ini tumbuh dari hatiku yang paling dalam. Aku tidak mengada-ada tentang keinginanku ini. Berbagai kalimat basa-basi kukerahkan untuk menahan diri agar tetap lama berada di depan jenazah.
Sering kali kuajukan pertanyaan klasik yang tidak asing ditanyakan juga oleh pelayat lain. Misalnya, penyebab kematian jenazah. Lalu dijawab oleh salah satu keluarganya dengan jawaban yang klasik pula, meninggal karena penyakit paru-paru yang sudah lama diderita. Agak ngeri mendengar jawaban pihak keluarga. Aku mengangguk. Tetapi, masih ada dorongan lain yang membuatku ingin tetap masuk ke dalam pelupuk mata jenazah. Siapa tahu ada rekaman yang berbeda di sana. Misalnya seseorang yang datang dengan buah apel di tangan, lalu mengulurkannya untuk di makan, membuat tersedak dan sesak napas, berakhir meninggal dunia. Atau bisa jadi seseorang datang mengulurkan gelas berisi sianida yang mematikan. Bisa jadi perdebatan tentang warisan yang tiba-tiba membuat dada sesak lalu menjadi penyebab berakhirnya usia.
Tentu semua penyebab kematian yang terekam dalam lensa mata jenazah bukanlah urusanku. Tapi keinginan untuk masuk ke dalam pelupuk mata jenazah semakin kuat dalam pikiranku. Aku bertanya lagi, mencoba membuat posisiku bertahan berada di depan jenazah.
“Sudah berapa lama beliau sakit?” pertanyaan yang sering kudengar di tempat semacam ini. Aku tersenyum dan mengucapkannya dengan hati-hati. Khawatir pertanyaanku akan membuat sanak keluarganya terganggu.
“Sebenarnya sakitnya sudah lama, sering keluar masuk rumah sakit. Kemarin baru masuk lagi ke rumah sakit dan meninggal dunia, ya, kami memang sudah siap.” Salah seorang keluarga menjawab pertanyaanku tanpa beban yang terlihat di raut wajahnya. Aku terkejut. Apakah yang dimaksud sudah siap berarti kematian ini sudah direncanakan? Aku geleng-geleng, dalam hati aku semakin kuat ingin masuk ke dalam pelupuk mata jenazah. Barangkali di dalam lensa matanya merekam kebenaran yang tak diketahui oleh siapa pun selain dirinya sebelum ajal tiba.
Kematian yang didahului oleh penyakit yang diderita berkepanjangan, memang membuat keluarga siap menerima kenyataan. Keluarga memahami, bahwa semua yang hidup dan sakit pada akhirnya akan mati. Biasanya keluarga akan memberikan kasih sayang dan perhatian yang lebih dibandingkan saat masih sehat. Entah, perhatian tulus atau terpaksa. Yang jelas orang terdekat ingin memberikan kesan baik dan membahagiakan orang yang sakit, setidaknya untuk terakhir kalinya.
Setelah kematian datang, hampir semua rencana bisa berubah kapan saja. Kudengar pihak keluarga akan memakamkan jenazah di Jakarta, meskipun sebelum meninggal dunia jenazah pernah berpesan agar dimakamkan di Surabaya dekat dengan almarhum suaminya. Tentu saja, ini bukan urusanku. Keinginanku hanya masuk ke pelupuk matanya dan mengetahui episode terakhir yang terekam di sana. Mungkin sesuatu yang menyenangkan atau justru seseuatu yang menyedihkan. Wajah siapakah yang terakhir dilihatnya, atau siaran televisi di depannya atau bisa jadi malaikat yang datang menawar ruhnya.
Dalam perjalanan pulang aku mulai merenung. Sejak kapan keinginan masuk ke pelupuk mata orang mati mulai menghinggapi diriku? Aku menghela napas panjang, mengingat kematian demi kematian yang datang di sekitarku. Setiap kematian tidak pernah sama. Saat melayat jenazah yang mati dengan kondisi tersenyum, saat itu aku berpikir, bahwa terakhir kali malaikat datang mencabut nyawa orang itu pasti sedang bersenang-senang atau dalam keadaan bahagia. Aku ingin masuk ke pelupuk matanya, melihat memori terakhir yang tersimpan di sana. Barangkali bisa menjadi pengalaman untukku saat menghadapi kematian nanti.
***
Beberapa teman kerja sedang makan siang di kantin kantor. Seorang laki-laki bernama Arwan memperhatikanku dari jarak beberapa meter. Laki-laki yang jauh dari jangkauanku. Aku memang menaruh hati padanya, tapi tak pernah tahu bagaimana perasaannya padaku. Arwan melambaikan tangan kepadaku. Aku tersenyum membalasnya. Aku berpikir bagaimana jika salah satu dari kami tiba-tiba terserang penyakit jantung kemudian mati. Siapakah yang terakhir ada dalam memori penglihatan kami?
Keinginanku memang gila. Aku berpikir bahwa setiap dari kami yang sedang makan siang di kantin ini akan mati secara bersamaan. Karena tiba-tiba ada kompor yang meleduk dan menimbulkan kebakaran yang luar biasa. Kami akan mati dengan rekaman yang berbeda-beda dalam lensa mata. Arwan sedang tertawa dengan teman-temannya, aku sedang mengharapkan dia datang ke arahku dan menawarkan es teh manis untukku. Beberapa orang yang lain dengan rekaman yang berbeda-beda.
***
Arwan telah memintaku menjadi kekasihnya. Sejak dua bulan kami bersama, hanya bertemu setiap istirahat makan siang. Laki-laki bertubuh jangkung itu selalu datang kepadaku dengan rona semangat yang menggebu-gebu. Pertemuan demi pertemuan tidak pernah sepi. Arwan yang cerdas selalu memiliki bahan pembicaraan yang membuatku terkagum-kagum. Di sela cerita kadang tawanya pecah berderai di kantin kantor yang terbuka.
***
Akhirnya aku bisa berlama-lama di depan jenazah. Arwan telah pergi untuk selamanya. Arwan yang telah berhasil membuatku jatuh cinta sekaligus berhasil merahasiakan penyakitnya. Tak seorang pun di kantor yang mengetahui penyakit yang selama ini membuatnya menderita. Aku menangis tergugu, mengingat terakhir kali Arwan mencium pipiku, mengusap lembut kepalaku.
Aku terisak, karena pernah diam-diam merindukannya. Aku menanti kedatangannya di meja makan kantin saat makan siang. Aku merindukan beberapa hari yang kosong karena kehilangan tawanya. Arwan menyembunyikan kabarnya. Menutup rapat semua informasi tentang dirinya.
***
Di ruang ICU akan menangis, rasa takut begitu mencekikku. Virus yang tak terlihat mata dengan rajin menggeroti tubuh kekasihku. Arwan yang selalu ceria, kini terbaring karena penyakit kanker otak yang dideritanya. Selang infus dan selang medis bergelantungan di seluruh tubuhnya.
***
Mungkin, inilah saat yang tepat aku memasuki pelupuk matanya. Aku ingin mengetahui sesuatu yang terakhir kali dilihat sebelum ajal tiba. Akhirnya, aku berhasil masuk ke pelupuk matanya. Ternyata di sana adalah tempat yang luas. Tidak ada garis pembatas antara bidang dan garis. Aku mendengar Arwan memanggil nama seseorang, menyampaikan sesuatu yang begitu dalam, seperti seseorang yang mengajak untuk hidup bersama. Suaranya tegas dan pasti, sebagai seorang laki-laki yang mencintai perempuan yang ingin diajaknya bahagia.
Suara itu berubah menjadi jeritan, meronta-ronta, memanggil namaku untuk meminta pertolongan. Aku berdebar-debar dan berusaha mencari asal suara. Ada langkah berat yang diikuti langkah cepat dan menakutkan. Beberapa selang infus membuat langkahku terjerat, sulit melanjutkan perjalanan menemukan asal suara.
“Tolong, jangan cabut itu! Aku ingin minta waktu, aku ingin bertemu seseorang.” Suara itu parau dan tertahan. Aku terus berusaha mencari suara itu. Sepanjang sepengetahuanku itu adalah suara Arwan. Suara itu semakin menjauh. Seseorang terus mengejarnya dan hendak mencabut sesuatu darinya. Aku berpikir untuk menolongnya, mengambil benda apa saja yang bisa kugunakan untuk memukuli seseorang itu. Tapi sayang, aku tak bisa keluar lagi dari pelupuk matanya.
Rachmawati Ash. Kaum rebahan yang malas belajar tapi bercita-cita jadi penulis hebat.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata