Kelas Menulis Loker Kata: Orelano Story (2)
Marissa Saud
Setelah seharian mencari solusi, dengan berat Orenalo pun memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya. Nasibnya sudah tidak perlu dipertanyakan lagi, sendirian dirantau tanpa pekerjaan juga harus mempertanggungjawabkan anak yang tengah dikandung Amira.
Untungnya, sahabatnya, Rein, masih memberikannya uang untuk biaya perjalanan ke kampung. Orelano sangat beruntung masih memiliki sahabat yang tidak memandang bagaimanapun kondisinya saat membantu.
“Kau perbaikilah nasibmu di sana. Rukun-rukun dengan orangtuamu, lalu kembali kemari dengan membawa keluarga besarmu,” pesan Rein sebelum Orelano meninggalkan Luwuk, kota rantauan dan pelariannya selama 20 tahun.
Orelano menelan ludah setelah kereta melewati perbatasan, ia menggengam erat tangan istrinya. Ia memikirkan ekspresi seperti apa yang akan keluarganya tunjukkan kepada Orelano, yang hanya bisa membawa malu.
Cahaya Fadillah
Degup jantung Orelano berpacu sangat cepat, berbanding terbalik dengan langkahnya yang pelan dan tidak terlihat bersemangat.
Entah bagaimana caranya menjelaskan kepada keluarga besarnya, terutama Ayah dan Bunda yang dalam ingatannya harus tersenyum bahagia melihatnya pulang. Kali ini, bisnis yang digelutinya bertahun-tahun habis tidak tersisa disita bank karena utang yang sabalik pinggang ¹.
Dua puluh tahun tidak pulang harusnya ia membawa kabar baik dari hasil keringatnya selama ini. Tapi, Tuhan berkendak lain, ia harus pulang membawa kabar duka. Memang berat dan malu. Tapi, keluarga jualah tempatnya kembali. Orelano pulang membawa takdir yang diciptakannya sendiri.
Catatan: ¹ Sabalik Pinggang: Ungkapan di daerah Minangkabau tentang utang yang ada di mana-mana.
Reza Agustin
Dua dasawarsa tanpa kehadirannya di rumah, Orelano merasa bahwa ibu dan ayahnya tak banyak berubah. Seakan mereka tak merasakan kesedihan setelah ditinggal pergi anaknya selama bertahun-tahun. Tak ada keharuan yang mereka tunjukkan ketika akhirnya dapat bertemu setelah terpisah sekian lama.
“Ibu, Ayah, mengapa kalian tak senang aku pulang? Pada akhirnya aku membawa kabar yang pasti pada kalian, bukan? Aku pulang, walaupun sebagai hantu!” bentak Orelano.
Orangtuanya tak bereaksi apa pun atas kabar menyedihkan itu. Tak ada gunanya. Sang Ayah lantas menjawab, “Tak apa, Nak. Lagi pula kami juga sudah mati jauh sebelum kamu mati.”
Evamuzy
Kota yang dulu Orelano datangi dengan dada membusung, kini nyaris tak punya warna. Muram dan kuyu selayaknya wajah pria yang piawai memainkan piano itu. Orelano bahkan harus menelusup bagai pencuri untuk bisa sampai ke negeri kelahirannya, Inggris. Sebab Italia sedang berduka.
Mugello, kota yang dulu dibangga-banggakannya tengah murung, sekaligus mencekam karena virus Covid-19. Tak ada lagi keramaian dan keramahan kota, berganti suasana mengerikan dengan tubuh-tubuh lemah yang terpenjara dalam ruangan dingin berjendela kaca, menunggu keajaiban: hilangnya wajah dari kota.
Tetangga apartemennya, tiga hari lalu sudah dibawa ke rumah sakit, terindikasi terpapar virus yang tingkat penyebarannya mengerikan ini. Bahkan, dalam kurun waktu yang cukup singkat, dua belas ribu lebih jiwa dinyatakan positif terserang Coronavirus. Pemerintah Italia akhirnya memberlakukan “lockdown” bagi semua aktivitas penduduknya. Tidak boleh ada lagi kegiatan di luar rumah. Setelah beberapa hari, Orelano mencabut niatnya untuk bertahan di sana. Dia tidak ingin mati konyol. Terlebih tanpa keluarga di negeri orang. Sehingga di malam yang gelap, pengap, dan mencekam, dia diam-diam kabur dari tempat kebanggaannya itu. “Ayah, Ibu, aku pulang. Maaf …,” lirihnya setelah sampai di depan pintu rumah orangtuanya.
Baca juga: Kelas Menulis Loker Kata: Orelano Story (1)
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata