Kelas Menulis Loker Kata: Nina Story (2)

Kelas Menulis Loker Kata: Nina Story (2)

Kelas Menulis Loker Kata: Nina Story (2)

 

Irisma

Saat kesepian dan duduk di halaman belakang rumah, Nina mendengar suara misterius dari lubang sumur tua yang ada di sana. Nina tidak menjumpai siapa-siapa saat menengok ke sekitarnya. Hanya ada Nina dan suara dari sumur tua itu.

Karena kelewat penasaran, Nina beranjak menuju sumber suara. Walau bulu kuduknya saling berlomba-lomba berdiri tegak, Nina tetap mendekat, bagaikan seorang petarung yang tak takut apa pun, tak terkecuali hantu.

Suara misterius itu terasa dekat.  Ia mirip jeritan tertahan, tetapi justru membuat rasa penasaran Nina kian memberontak. Semakin mendekati sumber suara,  semakin pelan pula Nina berjalan. Hingga sampailah Nina di  sumur tua yang dipenuhi rerumputan hijau yang masih subur.

Namun, yang didapatinya di bawah sana sungguh mengejutkan.

 

Lutfi Rose

Beberapa hari ini, Nina menghabiskan sore di belakang rumahnya. Padahal sudah berkali-kali Mak mengingatkannya untuk tak berada di sana ketika senja mulai merayap, pamali. Tapi bukan gadis bengal kalau menuruti semua ucapan maknya.

Nina merasakan bulu kuduknya berdiri ketika berada di kursi reyot yang biasa dia duduki terasa dingin. Tubuhnya makin menggigil diterpa angin sore yang berembus menerpa wajahnya. Sayup-sayup terdengar suara misterius dari arah sumur tua tak jauh darinya. Karena penasaran dia mendekat.

“Seperti suara bayi menangis,” gumamnya.

Dia memberanikan diri melongok ke dalam sumur. Tangannya sedikit gemetar memegang tepian sumur tua itu. Suaranya makin jelas terdengar dan menyayat hati. Ditarik-tariknya tali yang mengaitkan timba dengan roda di atasnya dan terasa berat. Dia berpikir ada sesuatu di dalam timba. Seketika tersentaklah dia saat timba itu mencapai permukaan. Tiba-tiba seekor kucing meloncat dari sana dan hampir mencakarnya.

 

Putri Ayu Kartini

Nina membuka pintu kamarnya perlahan. Sorot matanya menyapu semua sudut. Perlahan tapi pasti dia melangkah menuju meja rias.

“Ayolah, itu bukan apa-apa,” ucapnya pada diri sendiri.

Pandangannya jatuh pada jendela yang masih terbuka lebar, yang menampakkan sebuah sumur tua yang sialnya sangat horor walau dipandang sekilas.

Sudah beberapa minggu sejak dia menempati rumah yang baru dibeli ayahnya itu. Awalnya semua berjalan normal. Namun di minggu kedua, entah mengapa Nina merasa ada yang mengawasinya. Dia selalu mendengar suara-suara aneh di dalam kamarnya pada malam hari. Terdapat lukisan besar bergambar seorang perempuan di dekat meja belajar. Dan Nina sangat takut untuk sekadar melihatnya. Dia sudah meminta ayahnya untuk memindahkannya. Namun, ayahnya menolak dengan alasan pesan dari pemilik rumah sebelumnya untuk menjaga lukisan itu.

Prang ….

Nina refleks berbalik, menatap lantai yang diseraki pecahan dari gelas kaca yang tadi ada di mejanya. Tak hanya itu, tubuhnya mulai gemetar saat suara musik sinden memenuhi pendengarannya. Nina pun lari ke arah pintu. Namun langkahnya seketika berhenti saat sebuah tangan lembut memegang tangannya. Wajah Nina sudah bercucuran keringat. Dia ingin berteriak, tapi entah kenapa suaranya seolah tertahan. Perlahan Nina memalingkan wajah

“Nina ….“

 

Puuus/Andi Dela

Hana berjalan di lorong rumah sakit seorang diri, jarum jam telah menunjukkan angka sebelas malam. Saat itu sudah banyak perawat yang pulang, hanya menyisakan satu-dua orang kerabat pasien di teras kamar rawat. Malam itu terasa cukup menyeramkan, didukung oleh angin yang berembus semilir. Perasaan takut mulai menjalari benaknya, disusul imajinasi menakutkan yang terus bermunculan.

Entah kenapa, Hana merasa ada yang tidak beres di sana. Tapi sekuat tenaga ditepisnya perasaan itu, ia berjalan di lorong dengan bulu kuduk meremang sambil merapalkan segala macam doa yang diketahuinya. Dalam hati ia terus memohon agar diberi perlindungan Tuhan.

Sampai di ujung lorong, ia menemukan tangga yang berhubungan langsung dengan basement yang sudah tak terpakai lagi. Hingga samar-samar ia mendengar suara misterius yang entah berasal dari mana. Diselimuti rasa penasaran, akhirnya dengan segenap keberanian, perlahan ia mendekat ke arah sumber suara.

 

Mulia Ahmad Elkazama

Lamat-lamat aku mendengar suara yang teramat berisik memenuhi kepala. Makin lama, suara itu makin kencang dan berbisik, seolah memenuhi kepalaku, memerintahkan aku untuk melakukan tindakan tak masuk akal.

“Bunuh lelaki keparat itu! Dia sudah merenggut nyawa ibumu!” Aku menekan kepala kuat-kuat. Sesekali menjambak-jambak rambut agar nyerinya tak menyiksa.

“Diam!” Aku berteriak keras, hingga berpasang mata di kafe malam itu menatapku geram. Menyadari hal itu, aku pun berlari meninggalkan tempat yang membuat naluri membunuhku kumat.

Ya, saat itu aku melihat pemandangan yang sangat menjijikkan. Tapi, lelaki yang bersama wanita malam itu adalah ayahku. Bagimana mungkin aku bisa menghabisi nyawanya?

 

Baca juga: Kelas Menulis Loker Kata: Nina Story (1)

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply