Langit

Langit
Oleh : Ning Kurniati

Tadi siang aku menemui Langit dan mengatakan padanya, ada sesuatu yang hidup dalam tubuhku. Pada saat kuberi tahu, ia diam memilih menjelajahi wajahku dan sesudahnya tak memberi tanggapan apa pun. Kemudian, ia beralih melanjutkan pekerjaannya yang terjeda barusan tanpa menghiraukan tamunya ini.

Tak jauh dari tempat Langit beraktivitas, ada serumpun pandan, ada jejeran krisan kuning, dan sepohon ki hujan yang bunganya berjatuhan terterpa angin. Langit harusnya memilih di sana ketimbang berpanas-panasan oleh teriknya matahari. Berpeluh-peluh.

Di bawah pohon ki hujan itu yang batang dan rantingnya dijalari paku-pakuan, yang ranggasan daun-daunnya membuat tanah lembap, aku duduk menunggu sambil termangu memikirkan tentang makhluk yang ada pada tubuhku. Sejujurnya, makhluk itu sejauh ini belum memberikan dampak yang buruk, ia masih anteng—tak bertingkah macam-macam, meski kutahu ia menjalar ke mana-mana: mendaki tubuhku naik ke kepala, mengarungi pahaku turun ke kaki, dan menjulur-julur di kedua tanganku.

Kadang kubayangkan ia makhluk seperti amoeba yang mampu membelah diri menjadi anakan baru, satu, dua, tiga, …, seratus dua, …, seribu tiga, …, sejuta empat, …, semiliar lima, lalu lama kelamaan tubuhku hanya berisi ia tak ada lagi jantung, lambung, ginjal, usus, lalu aku berubah bentuk, mungkin tak berbentuk, perlahan-lahan perutku, dadaku, leherku, kepalaku, tanganku, kakiku, menjadi monster, dan … aku benar-benar tak bisa membayangkannya lagi, aku lari memeluk langit.

***

Aku terkesiap, begitu menyadari keberadaanku di dalam sebuah ruangan. Oh, bukankah tadi aku menemui Langit dan berakhir ia dalam pelukanku. Manis sekali, sungguh! Aku membayangkannya kembali. Langit ada dalam pelukanku.

Tetapi mendadak aku menyadari pertemuan itu tidak nyata, tak pernah ada, sekarang aku ada dalam kamarku. Langit hanyalah fatamorgana. Mendadak lagi terdengar ketukan di pintu dan begitu saja aku terbawa pada ingatan di mana burung pelatuk asyik mematuk. Terkantuk-kantuk aku sempoyongan. Pintu terbuka.

***

Langit memarahiku, katanya, segala yang kulakukan tak pernah benar, selalu salah. Kapan kamu dewasa? Ia membentak dan begitu saja bulir bening berjatuhan membentuk aliran dan begitulah awal mula terciptanya kelokan sungai di wajahku setiap hari, setiap bulan, setiap tahun (Mungkin perlu kutambahkan setiap menit, agar pembaca sedikit tersanjung. Huahaha). Tidak, aku mengada-ada, Langit selalu bilang, aku memarahimu untuk kebaikanmu, agar kamu baik, tetapi tak pernah baik, kemarahan Langit tidak pernah membuat aku baik, selalu saja hatiku sakit, aku jeri, aku terpukul. Dipukuli.

“Sedang apa kamu?” Suara itu menyentakku.

“Sedang berpikir.”

“Bisa berpikir?”

“Kenapa tidak?”

“Jadi, apa hasil pikiranmu?”

Aku bungkam.

***

Sore menjelang. Langit memerah. Awan putih tak tampak. Aku menemui Langit. Aku bilang, sepertinya aku lapar dan makhluk yang hidup dalam tubuhku sepertinya ingin meronta-ronta. Tetapi, aku tidak tahu bagaimana bisa tahu ia ingin meronta-ronta. Jadi, bagaimana ini? Aku bertanya. Langit memandangku kesal.

Karena tak dihiraukan, aku ngambek, harus ngambek. Beginilah caraku memelas kasihnya, tapi tak pernah berhasil. Lagi-lagi Langit meninggalkanku. Di daun pintu aku bersandar. Merana.

Ketika malam sudah menjelang, di bawah kanopi ki hujan Langit memandang langit. Sebentar kemudian, mata ia pejamkan, punggung ia tegapkan, tangan ia kepalkan. Mungkin ia latihan mengejan-ejan. Jadi, kalau buang hajat bisa gampang. Slup, slup, sluuup. Tetapi tidak, sepertinya aku salah. Malah ia meninju langit. Namun, apa dayanya kepalan tangan itu tak pernah sampai. Huahahaha. Langit tak punya daya. Ternyata. Langit tak punya daya.

***

Di suatu hari, di pagi yang cerah, aku bertamu ke langit. Di langit aku bertemu Langit. Katanya, temani aku dan kita akan ke langit. Kubilang, kita sudah ada di langit. Langit itu ada tujuh, katanya lagi. Aku tak percaya, namun apa daya, aku suka pada Langit dan sejak hari itu aku dan Langit bersama-sama di langit, mengunjungi langit yang satu dan langit yang lainnya.

Langiiit! Aku meneriakkan namanya.

***

Sesuatu yang hidup dalam tubuhku, sepertinya semakin hari semakin membesar. Dan karenanya tubuhku menggembung seperti ikan kembung. Aku jadi bertanya-tanya alasan keberadaannya karena Langit sering membawakanku ikan kembung. Aku jadi takut, Langit tidak hanya akan memarahiku, tapi mencampakkanku kalau aku tak mau lagi dengan ikan kembung. Meski sebenarnya ia tahu, aku tak pernah menyukai. Tak pernah suka.

Ikan kembung itu memiliki mata yang menyala-nyala, berkilat-kilat seperti di matanya ada yang hidup. Mungkin itu yang dinamakan setan, aku tidak tahu pasti hanya menduga-duga. Ingin tahu, tapi sudahlah, Langit akan murka kalau aku bertingkah banyak. Di hidupku hanya boleh ada Langit dan di langit. Selain itu, bau ikan kembung menjijikkan, membuat mual sesekali, tapi bisa apa, aku harus tahan, aku harus kuat. Meski itu bukan keinginanku.

Aku ingin sesekali bepergian. Dari jejeran krisan—ia berasal dari bumi—kutahu ada tempat-tempat yang baik ketimbang di langit. Di sini hanya ada awan sebagai hiburan yang suka berganti warna sekehendaknya, tetapi selalu putih atau kelabu atau hitam, tak pernah merah, kuning, atau hijau. Seperti sikap Langit.

“Langit?”

“Apa?”

“Sesuatu yang hidup dalam tubuhku ….”

“Kenapa membiarkannya hidup?”

“Ia mau hidup.”

“Dari mana kamu tahu ia mau hidup?”

“Karena ia ada tanpa aku memintanya.”

“Meminta … kamu memintanya ‘kan?”

“….”

***

Pagi-pagi aku menemui Langit. Aku mengatakan padanya, sesuatu yang hidup dalam tubuhku sepertinya akan keluar. Pada saat kuberi tahu, ia diam, mematung tak bereaksi bahkan sekadar untuk menjelajahi wajahku seperti yang sering dilakukannya. Ia berpaling memilih menuju ke serumpun pandan.

Di sana ia mencabuti daun-daun pandan dari batangnya. Semerbak bau segera menguar, melayang ke mana-mana. Akar udara yang menggantung tantrum berusaha membelit-belit Langit. Menyaksikan itu, aku tertawa-tawa.

Tapi, mendadak tubuh kekar Langit lunglai, ia terjatuh menabrak akar membuat wajahnya memar berdarah-darah. Akar udara pandan yang belum puas segera membelit kembali, mengangkat Langit tinggi-tinggi, melemparkannya. Bergemuruh. Membahana. Gemuruh kejatuhan Langit menyentakku. Aku terkesiap, aku bermimpi. Kuharap cuma mimpi. Semuanya. (*)

Maret 2020

Ning Kurniati, perempuan dengan mimpi yang terus bertambah-tambah.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply