Seperti Daun Tua, seperti Daun Gugur
Oleh : Ning Kurniati
Ini kali pertama mereka berkunjung ke kampung Gugur. Jejeran kayu jati yang meranggas menyambut, mulai dari daun pertama yang mereka injak sampai sekarang tak habis-habis populasi kayu itu. Ke mana mata memandang yang dilihat adalah batang pohon yang berkerak-kerak dan daunnya yang sudah gugur, kuning dan cokelat dan hitam. Memperhatikan itu semua, roman takjub mereka perlahan memudar. Tetapi karena tak semua orang bisa ke sana dan meski butir-butir keringat menjadi riasan wajah, pasangan yang baru menikah itu mencoba menepis rasa mencekam yang menyusup di relung jiwa, mereka berusaha mempertahankan garis senyum, tetapi meredup juga ketika membayangkan harus berjalan kaki terus menerus karena penduduk tidak mengizinkan penggunaan benda-benda yang mengindikasikan kemodernan. Hanya boleh membawa pakaian dari luar kampung.
Setiap tahunnya hanya terpilih sepuluh orang dan keduanya termasuk yang beruntung itu. Dijadwalkan melakukan destinasi di bulan Oktober mereka menerima. Tak apa, itu justru bagus, kata si perempuan dengan manja kepada pasangannya. Akan menjadi pengalaman yang tidak terlupakan, memang, karena keduanya berasal dari wilayah yang sepanjang tahunnya diselimuti dingin meski matahari bersinar cerah. Merasakan sengat panas matahari tanpa diselimuti kedinginan, dipikirnya akan menyenangkan. Yang tidak pernah dirasakan memang selalu membuat penasaran sampai ketika waktunya tiba.
“Sayang, ada dua arah sekarang.”
“Yah, dan kita harus memilih salah satunya,” timpal si lelaki dengan wajah gusar. Kedua jalan di depan mereka seperti kembar, tak ada perbedaan sama sekali. Tumpukan daun-daun jati di kedua pinggir jalan membentuk—seperti—trotoar. “Kau pilih yang mana?”
“Seharusnya kita tidak memilih.”
“Yah, seharusnya memang begitu. Andai saja kita tidak lalai meninggalkan denah yang diberikan panitia.”
“Apa mereka tidak menyadari itu?”
“Andai menyadari pun mereka tidak bisa berbuat apa-apa.”
“Tapi bagaimana kalau kita tersesat? Daun-daun ini tidak bisa mengantarkan pesan kepada mereka.”
“Itu sudah bukan urusan mereka lagi, Sayang. Ingat, peraturan pertama dalam persyaratannya, segala yang terjadi dalam wilayah ini bukan lagi tanggung jawab mereka.”
Pada akhirnya arah kanan, mereka memilihnya lantaran yang baik selalu dikaitkan dengan kanan. Kanan berarti baik, kiri berarti buruk, apa memang selalu begitu? Tetapi kurang lebih begitu—makan menggunakan tangan kanan dan cebok mengunakan tangan kiri—dalam salah-satu buku teologi yang pernah dibacanya. Meski keduanya agnostik, kali ini rupanya si lelaki ingin menerapkan hal-hal yang dipercayai orang kebanyakan.
Tersampir tas jenis carrier di punggung si lelaki dan di punggung si perempuan tas jenis rucksack, sejauh ini langkah kaki keduanya masih belum berubah, sama seperti di awal perjalanan. Waktu tiga jam yang berlalu dan belum satu pun rumah yang ditemui membikin suasana mulai makin mencekam sekarang. Tak ada bunyi burung juga serangga. Satu-satunya sumber bunyi adalah suara mereka berdua. Bahkan angin tidak bertiup.
***
Siang hari makin lama makin serupa malam kelam membuat langkah keduanya perlahan melemah tanpa disadari. Mungkin rasa putus asa mulai menghantui, meski tidak saling mengungkapkan tarikan napas keduanya yang berat seperti mengisyaratkan. Sebentar-sebentar pandangan mata mereka kerap bertemu. Tangan kiri si perempuan tak lepas lagi dari lengan si lelaki.
“Kau masih ingin melanjutkan perjalanan ini?” tanya si perempuan dengan kepala yang dia putar ke kanan ke belakang kemudian kembali ke depan. Dan yang didapatinya hanya pohon, guguran daun yang menumpuk menutupi tanah. Tidak lebih tidak kurang dari apa yang dilihat beberapa jam yang lalu, masih sama, rasanya seperti berjalan di tempat.
“Bukankah kau sendiri yang sering mengatakan kita harus bertanggung jawab untuk sesuatu yang sudah kita mulai?”
“Memang aku pernah bilang begitu. Tidak kumungkiri, tapi aku rasa saat ini hal itu tidak berlaku lagi. Ini menakutkan.”
“Apanya yang menakutkan? Mereka hanyalah pohon-pohon. Ini masih sore. Hantu hanya muncul ketika malam hari, belum pernah dikatakan hantu muncul pagi, siang, ataupun sore. Jadi, jangan takut!” seru si Lelaki dengan suara yang berusaha terdengar semeyakinkan mungkin. Namun, perempuan terlalu peka untuk tidak mengetahui bahwa pasangannya pun yang meski kenyataannya seorang lelaki1 saat ini gentar juga. “Ayo, jalan terus. Jangan terlalu cemas. Sebentar lagi … sebentar lagi kita pasti akan menemukan rumah penduduk yang pertama dan mereka akan tersenyum, mulutnya akan komat-kamit menggunakan bahasa mereka yang kedengarannya seperti bahasa alien bagi kita.”
“Karena kita orang asing.”
“Dan mereka senang orang asing.”
“Karena kita berbeda dengan mereka.”
“Yah, karena kita berbeda.”
Si lelaki terus menyambung pembicaraan dari topik penduduk ke topik makanan, ke pekerjaan mereka, ke keinginan memiliki anak, ke keluarga dan teman-teman yang ditinggalkan di kota sana. Kadang-kadang pembicaraan melompat kembali ke topik awal. Sekarang apa saja mereka bicarakan asal ada dialog, agar pikiran sedikit teralihkan dan begitulah perlahan-lahan kecemasan keduanya terkikis, meski tak akan habis sampai harapan itu terpenuhi: menemukan manusia selain keduanya. Bukankah jiwa manusia hidup dari satu harapan ke harapan lainnya?
Seperti habis mandi seluruh tubuh keduanya basah. Rasa ingin menemukan air dan mengguyur diri atau berlama-lama dalam berendam sudah mencapai ubun-ubun. Perempuan itu merasa jijik dengan dirinya. Lengket dan licin dan bau matahari, membuatnya muak dan semakin cemas. Dia tertekan tanpa tahu si lelaki merasakan hal yang sama. Kini bukan tungkainya saja yang lelah, mulutnya juga. Baru mereka tahu, berbicara juga melelahkan. Si perempuan ingin menangis bahkan ingin berteriak, tetapi khawatir membuat pasangannya kalut dengan keadaan yang dialami. Tujuh jam sudah mereka melangkahkan kaki dan harapan yang dibangun sedari tadi sepertinya akan menjadi bayang-bayang saja. Fatamorgana.
Meski sore menjelang, sinar matahari masih terik seolah masih siang. Rapat, mulut keduanya terkatup. Pegangan ke pasangan pun sudah dilepaskan. Mereka tak lebih lagi seperti robot yang berjalan kaku. Si lelaki berjalan di depan si perempuan.
“Lihat,” tiba-tiba si perempuan berseru, telunjuknya menunjuk ke arah kiri. Tiga orang manusia sedang beraktivitas di kejauhan sana, di antara pohon-pohon jati. Dua orang lelaki dewasa—kelihatannya begitu dari besar tubuh mereka—dan seorang anak perempuan. Anak itu bersandar di salah satu pohon seperti sedang menanti dua orang dewasa menyelesaikan pekerjaannya, mengikat dahan kayu yang sudah terpotong-potong begitu rupa.
“Hei,” si lelaki berteriak sambil berlari-lari kecil menuju tiga orang tadi, mengikut di belakangnya si perempuan.
Mereka yang diteriaki tentu saja heran lantaran mendadak dua orang asing menghampiri sehingga berdirinya kaku seperti patung. Anak perempuan yang tadinya bersandar di batang pohon telah berpindah berdiri ke salah satu lelaki dewasa yang setelah si lelaki dan si perempuan mendekat, tampaklah mereka satu keluarga. Lelaki dewasa tempat anak bersandar bisa dikatakan sebagai ayah, dilihat dari raut wajah dan sorot mata yang bermaksud melindungi si anak perempuan. Lalu, lelaki dewasa yang lain waspada dengan mata penuh selidik mungkin seorang kakak dilihat dari rambutnya yang menghitam tanpa sembulan sehelai uban seperti lelaki yang satunya lagi atau bisa juga mereka seorang kakek, dan seorang ayah, dan seorang cucu.
Mendapati diberi tatapan heran, pasangan itu tersenyum memperlihatkan barisan gigi putih yang rata di sela napas yang mereka coba redakan bunyi tarikannya, yang kemudian mendapat balasan senyum serupa. Mungkin tahu bahasanya tidak akan dimengerti, lelaki dewasa tua dengan telapak tangan yang digerakkan menghadap ke bawah mencoba untuk mengatakan tenang, berikutnya dia meragakan menarik udara lebih banyak dan membuangnya pelan-pelan. Si laki-laki dan si perempuan mengerti.
***
Menginap di rumah penduduk yang ditemuinya pasangan itu begitu bersyukur. Rasanya baru saja selamat dari maut karena ternyata mereka salah mengambil arah. Arah itu menuju hutan pemerintah.
Ketika tiba di rumah yang kesemuanya terdiri dari bahan kayu, matahari sudah bersinar dengan lembut menampilkan warna kuning yang menenangkan untuk dinikmati. Senja. Berada di rumah itu barulah si perempuan mengerti alasan anak perempuan mengikut ke tengah hutan. Tak ada perempuan dewasa yang bisa menjaga. Karena begitu tiba kedua lelaki dewasa tadi segera bergegas menyiapkan air dan makanan untuk mereka gunakan bersama.
Habis santap malam mereka duduk-duduk bersama di ruangan yang bisa dikatakan ruang untuk menerima tamu. Ruangan kosong sebelum dapur setelah melewati ruangan-ruangan kecil bersekat bila berjalan dari arah pintu. Lelaki dewasa yang tua berusaha mengatakan dengan gerakan tangan bahwa istrinya meninggal ketika melahirkan anak perempuan mereka. Dia menunjuk kaki anaknya lalu menunjuk selangkangannya, lalu si perempuan, lalu ke perutnya membuat garis belahan melintang di sana, lalu menunjuk lagi putrinya dan meragakan menimang bayi. Tahulah mereka bahwa istri lelaki dewasa yang tua dibelah perutnya ketika melahirkan putri mereka. Operasi sesar. Itu pun setelah lelaki dewasa tua empat kali meragakan, tetapi pasangan itu tidak tahu bahwa yang membelah adalah salah satu dari penduduk itu sendiri yang tidak pernah mendudukkan bokong di bangku pendidikan. Berdasarkan pengalaman dan pengetahuan turun temurun dilakukanlah tindakan mengerikan itu. Andai saja mereka tahu, tentu raut ngeri atau simpati akan segera terpancar dari raut keduanya. Namun, tanggapan yang diberikan hanya mulut yang dibulatkan membentuk huruf O dan O dan O dan O, begitu terus sampai ketika dua orang lelaki datang menjadi tamu kedua bagi tuan rumah.
Dua orang lelaki dewasa yang datang adalah utusan yang dikirim oleh ketua suku. Ditunggu-tunggu kedatangannya sebelum senja, pasangan itu tidak muncul, maka berangkatlah para utusan mencari hingga ke rumah itu. Sebut tamu yang rambutnya cepak.
Kabar baik, kedua tamu yang diutus mampu menggunakan bahasa yang bisa dimengerti si lelaki dan si perempuan. Keduanya lalu berkisah kepada pasangan tersebut.
Kampung Gugur dinamakan begitu bukanlah karena keberadaan tumbuhan meranggas itu. Meski tak dimungkiri tetap berkaitan, tetapi ada hal lain yang lebih menjadi landasan. Adalah karena banyaknya ibu hamil dan bayinya yang meninggal ketika persalinan. Sampai saat ini masih kerap terjadi.
Tiga ratus tujuh puluh tiga tahun yang lalu, sebelum buyut mereka berani membelah perut manusia, sudah banyak ibu dan bayinya yang meninggal, otomatis membikin banyak lelaki menjadi duda di usia muda. Krisis perempuan terjadi. Pun tak jarang ditemukan mayat lelaki yang terpenggal kepalanya, terburai ususnya, tertusuk matanya di tengah-tengah hutan jati. Mereka gugur dari bertarung satu lawan satu memperebutkan perempuan di malam hari yang kelam. Kejadian ini beredar sampai keluar kampung. Lama kelamaan orang luar mulai melupakan nama kampung mereka berganti menjadi Kampung Gugur. Mereka—penduduk—yang mulanya tidak setuju lambat laun menerima, alasannya biar kelak anak cucu tidak melupakan sejarah kampung bahwa mereka ada karena pertarungan hidup dan mati oleh lelaki ketika bertarung mempersunting perempuan dan oleh perempuan ketika dalam proses persalinan.
“Kematian para ibu ketika persalinan seperti daun jati tua yang gugur di musin kemarau. Gugur untuk kemunculan daun muda kelak.”
“Seperti daun tua seperti daun gugur,” balas si perempuan sebelum terlelap. Dia membayangkan kelak bisa saja dirinya menjadi daun tua, menjadi daun gugur.
Note:
1. Lelaki selalu diidentikkan kuat, padahal kenyataannya tidak selalu begitu. Stigma itu membuat lelaki selalu ingin kelihatan tangguh. Data menunjukkan lebih banyak lelaki yang masuk ke rumah sakit jiwa ketimbang perempuan yang lebih sering meluapkan emosi.
28 Februari 2020
Ning Kurniati, Perempuan dengan mimpi yang terus bertambah-tambah.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata