Undangan Pernikahan
Oleh : Ning Kurniati
Kurir itu mengetuk pintumu. Kamu yang tidak siap didatangi oleh siapa pun merasa terganggu. Bertolak belakang dengan isi hati, sebuah senyuman ramah kamu layangkan.
“Maaf, ada apa ya, Pak?”
“Paket, Kak.”
“Kayaknya salah alamat deh, soalnya aku ndak pernah pesan apa-apa.”
“Oh, ini kiriman, Kak.”
“Dari siapa?”
Kurir itu merapal huruf. Sebuah nama lengkap yang sudah lama tidak mampir di telingamu. Mendengarnya, kamu terkesiap.
***
Amplop itu masih kamu pegang. Seperti tak bermaksud membukanya, kamu beberapa kali membolak-balik padahal tidak ada yang unik di sana. Kertas samson ditempeli biodata pengirim dan penerima. Dan mungkin karena kurang menarik, pada akhirnya amplop itu hanya digeletakkan di meja rias tanpa pernah kamu buka isinya.
Hari-hari berlalu seperti biasa. Tidak ada yang berubah. Sampai ketika grup angkatanmu di media sosial berlogo gagang telepon yang lama vakum kemudian aktif kembali. Sembilan puluh enam pesan. Kamu hanya melihatnya, tanpa membuka, ataupun berusaha mengintip pesan-pesan itu di layar utama ponselmu.
Sebenarnya, tidak mengherankan bagimu karena hal ini sudah sering terjadi. Pesan yang beruntun. Dan biasanya, bahasannya tak jauh-jauh dari hal-hal absurd atau pem-bully-an online yang sengaja dilakukan ke salah satu temanmu yang merasa ganteng tapi tak pernah ada perempuan yang sudi singgah di hatinya menetap barang beberapa hari.
Kamu menggeleng-gelengkan kepala. Nanti deh, kalau pesan-pesan ini berhenti masuk baru kubuka, gumanmu. Kembali, kamu menekuri layar laptopmu. Kembali mengutaki data-data yang selalu membuatmu senang itu.
***
Tak sengaja melihat amplop itu, kamu yang sudah memutuskan tidur kemudian bangkit menarik amplop cokelat dari meja. Bantal yang berserakan kamu susun ke tembok dan menyandarinya, membuatnya seperti bantalan sandaran kursi. Dan seperti kebiasaanmu yang sudah-sudah, bila mau melakukan sesuatu ketika rambutmu dalam keadaan tergerai, kali ini pun kamu menggulungnya, membebaskan lehermu.
Sekali lagi, amplop itu dibolak-balik, kemudian ujungnya kamu sobek. Seperti ingin menikmati, bukannya langsung ingin melihat isinya apa, kamu mengintip, menyejajarkan amplop itu dengan matamu. Kertas dibungkus plastik bening. Mengernyit, sekarang barulah kamu penasaran.
Amplop itu ditunggingkan menjadikan isinya keluar jatuh di telapak tanganmu yang memang menadah. Undangan. Undangan pernikahan. Senyummu mendadak terbit.
***
Kamu sedang berada di koridor fakultasmu—koridor yang letaknya di lantai satu, tetapi karena pengaruh tanah yang miring, bila berada di pelataran gedung, tempat tersebut seperti ruang bawah tanah sehingga lantai dua gedung menjadi terlihat seperti lantai satu—dan tengah menimbang-nimbang hendak pulang. Sudah sore, jadwal mata kuliah sudah tidak ada, kegiatan pengumpulan di organisasi juga tidak ada, tidak ada alasan untukmu masih tinggal di kampus. Namun, baru saja menaiki tiga anak tangga, langkahmu tertahan karena sebuah suara menyetopmu.
“Mau pulang?” Temanmu mendekat.
“Iya.”
“Kuantar, ya?”
“Idiih, masih sore. Aku bukan anak kecil.”
“Memangnya cuma anak kecil yang diantar.”
“Iya.”
“Tapi itu, senior selalu menyuruh teman cowok mengantar teman ceweknya pulang.”
“Itu ‘kan kalau malam. Sekarang masih sore.”
“Tapi tetap aku mau mengantarmu.”
“Tapi aku tidak mau diantar. Dan, di sini juga tidak ada senior. Jadi, tidak usah lebai mengantar segala.”
“Tapi tetap, aku mau mengantar.”
“Tetap juga, aku tidak mau.”
“Kuantar.”
“Tidak mau.”
“Kuantar.”
“Tidak.”
Sebal, kamu tidak menghiraukannya lagi dan kembali berjalan menaiki tangga yang menghubungkan koridor gedung fakultas kalian dan pelataran gedung. Temanmu yang bebal pun kekeh mengikuti berjalan di belakangmu.
“Aku bisa pulang sendiri. Tidak usah lebai. Nanti-nanti kalau kita sudah tidak maba, kamu juga tidak begini lagi.”
“Aku akan setia.”
“Setia?”
“Iya, setia akan mengantarmu.”
Tergelak, kamu geleng-geleng kepala. “Kebodohan.”
“Lihat saja nanti.”
“Omong kosong!”
Kalian sudah berada di pelataran. Seseorang berdeham. Perhatianmu beralih ke yang berdeham yang sedang duduk di anak tangga terakhir, seperti memang hendak memperhatikan lalu-lalang orang. Laki-laki, bercelana cingkrang hitam dan berkemeja panjang merah. Teman sefalkultasmu cuma beda jurusan. Di dagunya ada beberapa helai rambut yang seperti baru diniatkan untuk ditumbuhkan. Orang itu melihat kalian dengan tatapan menyelidik yang aneh.
“Eh …,” temanmu menyebutkan nama orang itu.
Semoga dia menceramahi kami, ucapmu nyaris seperti gumaman karena kedua laki-laki di hadapanmu tidak berkutik, mungkin memang sepertinya tidak mendengar.
“Kamu jadi saksi,” teman sefakultasmu itu masih tidak berkutik, ekspresinya masih sama dengan yang tadi, “kalau aku akan terus mengantarnya sampai dia selesai.”
Mendengarnya, tawamu semakin menghambur. Kata-kata barusan benar-benar seperti menggelitik kepalamu. “Laki-laki memang ada-ada saja.”
“Kenapa? Kamu tidak percaya.”
“He-em.”
“Akan kubuktikan.” Sekarang, tawamu makin menjadi-jadi.
Entah mudah terbawa suasana atau bagaimana, sore itu kamu membiarkan dia mengantarmu. Kamu malah bercakap banyak, sudah seolah lupa bahwa tadi kamu sebal dan mengcuekinya sewaktu berjalan menaiki tangga. Kamu bahkan membicarakan si laki-laki bercelana cingkrang tadi yang dari awal sampai akhir hampir tak mengeluarkan ekspresi yang berbeda selain tatapan menyelidik itu.
“Dia tadi kira-kira berpikir apa, ya?” Kamu dan dia terbahak bersama.
***
Meski di semua undangan, isinya hampir selalu sama, kamu tetap membaca semuanya dari awal sampai akhir tidak ada yang terlewatkan. Selesai membaca, kamu manggut-manggut, tersenyum menatapi jejeran tulisan itu. Lalu, kamu meraih ponsel yang ada di meja, menyapu layarnya, mengklik logo bergagang telepon itu. Kamu menghubungi temanmu.(*)
April, 2020
Ning Kurniati, perempuan dengan mimpi yang terus bertambah-tambah. Dapat dihubungi melalui link. Bit.ly/AkunNing
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata