Burung-Burung yang Terbang di Langit
Oleh: Rachmawati Ash
Terbaik ke-8 Tantangan Lokit 15 (tema: Karantina)
Sore itu, aku pulang dengan pertanyaan-pertanyaan di kepala yang tak bisa kujawab. Sebelumnya, aku mendatangi rumah Sinta yang juga ramai dikunjungi orang-orang kampung. Ayahku bersikeras mengajakku pulang dan alasannya sungguh tak masuk akal, aku membuat rusuh di sana.
Kenyataannya saat itu aku hanya berusaha membangunkan kekasihku yang tertidur lelap. Aku ingin mengajaknya pergi mengambil cincin pernikahan kami, namun orang-orang mendadak aneh, beramai-ramai memegang tanganku, menarik tubuhku menjauh dari tubuh Sinta yang sedang tertidur di lantai beralaskan tikar pandan.
Sejak kejadian itu Ayah berpesan kepada ibuku, supaya selalu mengunci pintu rumah. Jelas saja hal ini membuatku berontak, aku ingin mendatangi rumah Sinta dan membangunkannya untuk pergi bersamaku.
Ibu dan kakakku juga ikut-ikutan mengawasi gerak-gerikku. Tidak memberi sedikit celah untukku pergi meninggalkan rumah dan menemui Sinta. Aku mengatur siasat, pura-pura duduk manis di ruang tengah dan menunggu ibu dan kakakku lengah. Kemudian aku menunggu waktu yang tepat untuk melarikan diri. Aku tidak ingin membuat rusuh di rumah, sebab aku sangat menyayangi ibu dan kakak perempuanku, jadi aku tak ingin berdebat dengan mereka.
Ibu sedang sibuk di belakang, sedangkan Kakak kelelahan menjagaku agar tak keluar rumah. Kesempatan yang kutunggu pun datang, aku mengambil kunci di laci nakas kakakku. Kuputar anak kunci pelan-pelan, tanpa menimbulkan suara yang bisa mengundang kedatangan ibu dan kakakku.
Dalam setengah perjalan ke rumah kekasihku, aku melihat gadis yang mirip dengan Sinta. Gadis itu mengenakan kemeja merah bunga-bunga. Aku tersenyum-senyum kepada gadis itu, dia membalas senyumku dan melambaikan kedua tangannya memanggilku. Tetapi, cara memanggilnya aneh, seperti orang menghardik. Tanpa pikir panjang, cepat-cepat aku menghampirinya, gadis itu berlari, sepertinya dia ingin bermain-main denganku. Aku mengejarnya. Gadis itu menjerit saking senangnya bermain lari-larian denganku. Dia terus berlari dan aku terus mengejarnya. Gadis mirip Sinta itu sembunyi, aku mencarinya.
Belum sempat aku menemukan gadis itu dari persembunyiannya, orang-orang kampung berdatangan, mereka menyuruhku pulang, berseru-seru memanggil nama ibuku dan juga nama kakakku. Dalam waktu secepat kilat Ibu dan Kakak sudah berada di belakangku, menarik tubuhku yang lebih besar dengan susah payah.
Dengan kekecewaan aku ikut berjalan pulang, kulihat orang-orang menghibur gadis yang mirip Sinta. Gadis itu menangis, meringkuk di bawah pohon kelapa. Aku sedih melihatnya menangis. Dia pasti masih ingin bermain denganku. Tapi orang-orang kampung mengganggu kami. Mereka tidak senang melihat kami bermain kejar-kejaran di jalan. Orang kampung memang aneh.
**
Ayahku kembali murka, memarahi ibu dan kakakku yang lalai dalam menjagaku. Aku semakin sedih, orang-orang menjadi aneh. Bahkan, keluargaku sendiri menjadi was-was. Padahal aku tidak merugikan siapa pun, tidak melukai dan mengganggu orang di luar rumah.
Ayahku juga memanggil seseorang yang datang dengan pakaian serba putih. Orang itu menyuruhku berbaring, membuka mataku bergantian, kanan, lalu disusul mata yang kiri. Orang itu manggut-manggut. Setelah beberapa waktu berbincang dengan ayah dan ibuku di ruang tamu, orang itu pergi. Kulihat orang itu meninggalkan berbagai macam kapsul dan kaplet di meja ruang tamu.
Sejak saat itu, setiap hari aku harus minum kapsul-kapsul itu. Kakak yang menyiapkannya untukku. Ayah semakin menjadi-jadi, setiap jendela dan pintu dipasang terali besi, pintu rumah dan pintu pagar selalu dikunci dengan rapat. Aku heran, kenapa semua orang mendadak menjadi takut melihatku keluar rumah. Aku seperti pesakitan yang membawa penyakit menular.
Aku berusaha mencari kunci rumah, tapi tak pernah menemukannya. Dikurung selama berhari-hari membuatku jenuh, aku hanya bisa melihat keadaan di luar rumah dari balik jendela kaca. Aku malas berdebat dengan ayahku, itu hanya akan membuatnya bertengkar dengan ibuku. Aku tak ingin ibuku terkena masalah karena ulahku yang tidak menurut kepada Ayah.
Setiap hari, waktuku habis hanya untuk duduk di kursi dekat jendela ruang tamu. Melihat apa yang terjadi hanya dari balik jendela kaca. Aku jenuh, aku mulai tersenyum dan menangis sendiri, menyalahkan diriku yang tidak bisa melawan kejahatan Ayah. Bagaimana bisa, seorang ayah mengurung anaknya sendiri di dalam rumah, seperti seorang tahanan yang menakutkan.
Aku menatap langit, awan putih berjalan ke utara. Perlahan-lahan membentuk wajah Sinta. Aku tersenyum, melambaikan tanganku padanya. Aku juga memanggil namanya, beberapa kali dengan suara keras. Awan memudar, aku kecewa dan ingin sekali menangis.
Aku kembali menatap awan, kali ini kulihat kawanan burung berwarna putih terbang bergerombol. Mereka meliuk-liuk di udara, terbang dengan bebas. Aku bertanya-tanya, di mana mereka akan hinggap. Burung-burung itu bergerombol, terbang bergelombang-gelombang seperti awan.
Aku mulai berpikir ingin menjadi burung. Aku ingin terbang bebas ke mana pun aku mau. Aku ingin melihat indahnya gunung yang hijau, laut yang biru dan merasakan terik matahari yang membakar kulitku. Aku mulai merentangkan tangan, meliuk-liuk di udara, aku merasakan kebebasan yang selama ini kuinginkan.
Kakakku histeris, memanggil-manggil namaku untuk menyuruhku turun dari langit. Aku hanya tersenyum melihatnya dari atas, aku hinggap dari tempat satu ke tempat lainnya. Kakak kembali datang bersama Ibu, mereka menyuruhku turun. Aku terbang menukik, mendarat di lantai rumah. Aku senang telah berubah menjadi burung yang bisa terbang bebas sesuka hatiku.
**
Kakakku menjadi sangat menyebalkan, dua kali sehari memberiku kapsul dengan secangkir air putih. Jika aku tidak mau meminumnya, Ibu akan menangis. Aku tidak suka melihat ibuku berlinang air mata tanpa sepatah kata pun.
Setelah meminum kapsul, aku kembali terbang di udara, hinggap dari tempat satu ke tempat lainnya. Aku merentangkan sayap, menikmati udara segar pegunungan yang hijau. Aku kembali terbang ke tempat yang lebih tinggi, melihat sawah yang menghampar luas. Sayangnya kapsul yang kuminum beberapa menit lalu membuatku mengantuk. Aku pun tertidur di atas dahan pohon mangga yang rindang. Sampai aku terlelap, sepertinya Ibu dan Kakak masih menungguku di bawah pohon, mereka saling berpelukan dan menatapku dengan iba.
**
Ibuku yang baik hati, tentu tak tega melihatku terus begini. Ibu membukakan pintu untukku. Membiarkan aku duduk di kursi teras rumah, menghirup udara siang yang panas.
Aku merasa sedikit diberi kebebasan setelah berbulan-bulan dikurung di dalam rumah. Aku bersabar, mungkin hari ini aku diizinkan keluar rumah, ada harapan besok Ibu akan membiarkanku keluar halaman lewat pintu pagar. Dalam hati aku masih berharap, aku akan mendapat kesempatan menemui Sinta di rumahnya. Gadis pujaanku itu pasti masih setia menungguku di rumahnya.
Saat aku membayangkan kebebasanku esok hari, kulihat anak-anak berseragam sekolah melewati jalan depan rumahku. Aku berjalan menuju pintu pagar, memerhatikan anak-anak itu bercanda dengan riangnya. Anak-anak berbaju putih merah itu saling menunjuk ke arahku. Melemparkan kerikil atau ranting kayu sambil tertawa kegirangan. Sepertinya mereka senang sekali bertemu denganku. Aku hanya tersenyum-senyum melihat tingkah mereka. Dasar, anak-anak, lucu sekali kalian.
Aku merebahkan tubuh di halaman rumah, mencium satu per satu rumput di taman mungil milik ibuku. Setelah sekian lama dikurung di dalam rumah, aku jadi rindu aroma tanah dan rerumputan yang hijau. Aku tidak peduli orang-orang memerhatikanku, aku sedang bahagia menikmati kebebasanku.
Ibu menuntunku kembali ke dalam rumah. Aku pun kembali murung, duduk di kursi dekat jendela. Aku terkejut, burung-burung itu datang lagi. Mereka bergerombol terbang melewati halaman rumahku. Aku mulai merentangkan kedua tanganku, membayangkan terbang bersama mereka. Burung-burung itu mengajakku terbang mengelilingi pantai yang bersih. Aku merasakan angin sepoi-sepoi menerpa wajahku. Aku tertawa karena terlalu senang. Kemudian berputar-putar meluapkan kegembiraanku di tempat yang luas.
Ibu memanggilku dari bawah, aku masih tertawa karena bahagia.
“Lihat, Bu! Laut biru itu indah sekali, terlihat indah kalau dilihat dari atas sini.” Aku masih terbang berputar-putar di udara. Ibu justru menangis melihatku terbang bebas. Aku merasa itu adalah luapan kegembiraan seorang Ibu melihat anaknya bahagia. Aku melanjutkan terbang, hinggap dari tempat satu ke tempat lainnya.
“Turun, Nak, kamu harus minum obatmu! Waktunya istirahat.” Suara Ibu parau.
“Burung tidak minum obat, Bu.” Aku kembali berputar-putar.
“Baiklah, burung turun dulu, kita makan bersama.” Suara ibuku kali ini disertai tangis yang tersedu-sedu. Aku menukik turun ke lantai.
Aku menolak minum kapsul pemberian kakakku. Aku selalu merasa mengantuk setelah meminumnya. Aku juga menjadi lupa tentang burung-burung itu. Aku benci minum kapsul. Aku ingin tetap menjadi burung yang bisa terbang bebas di udara. Tapi, lagi-lagi ibuku menangis. Kali ini Ibu yang memberikan kapsul itu padaku. Aku menerima secangkir air putih dan meminum kapsul dengan terpaksa.
Ibu tersenyum, menerima cangkir dari tanganku. Ibu menyuruhku merebahkan tubuh di kursi, menyandarkan kepalaku di pahanya. Ibu tidak berkata apa-apa, hanya mengelus lembut kepalaku berkali-kali. Sampai aku mengantuk.
“Bu, kenapa burung selalu bersiul?” tanyaku setengah mengantuk di pangkuannya.
“Karena mereka sedang memuji Tuhan,” jawab Ibu sambil mengusap air mata di pipinya.
Aku bangkit, duduk di sebelah Ibu. Aku manggut-manggut, mulai bersiul, aku juga ingin memuji Tuhan. Kulihat Ibu semakin menangis menjadi-jadi. Memeluk tubuhku dengan keras sekali.
“Kamu bukan burung, kamu anak ibu yang sedang sakit.”
“Aku bukan burung?” tanyaku menghentikan siulan.
“Kamu anak ibu. Kamu bisa memuji Tuhan dengan membaca doa-doa, Nak, istigfar ….” Ibu menatapku dengan tatapan dalam. Aku membalas tatapannya, cukup lama aku memandang ibuku. Aku merasakan seperti anak kecil yang terpisah dari ibunya dalam waktu yang lama. Aku juga memerhatikan gerak bibir ibuku. Aku mengikutinya.
“Astagfirullahhaladzim….” Aku mengucapkannya dengan pelan. Hatiku bergetar. Lalu aku menangis bersama Ibu di sore itu. Kakakku masih berdiri dengan lembaran kapsul di tangannya.(*)
Brebes, 15 April 2020
Rachmawati Ash, wanita scorpio yang kecanduan cerita romance. Istri dari Gautama Budi Wahono yang sangat mencintainya.
Komentar Juri:
Saya sudah menjuri di TL sejak awal, hal itu membuat saya sedikit-banyak ingat cara dan ciri khas karya dari beberapa peserta yang langganan ikut. Sebagian konsisten, sebagian mengalami perubahan. Penulis cerpen ini, saya rasai, mencoba keluar dari sangkarnya, kemudian terbang bak burung-burung yang bebas. Baik cara menulis maupun topik yang ia angkat, 180 derajat berbeda dari apa yang saya antisipasi darinya. Mungkin ia meminum kapsul khusus sebelum menulis.
Kabar bagusnya, perjudian itu berhasil mendudukkan karya ini di track yang benar. Penulis tidak sekadar keluar dari zona nyamannya, ia cukup telaten mempersiapkan peralatan (mindset dan teknik) yang tepat untuk mengeksekusi imajinasinya ke dalam cerita.
Ia tahu bagaimana, dengan alami, menghadirkan dua persepsi yang menyala di dalam cerita. Persepsi aku-narator (bahwa ia baik-baik saja) dan persepsi tokoh lain plus pembaca (bahwa aku-narator tidak baik-baik saja; ia gila). Dua persepsi yang paralel ini memunculkan ironi yang menusuk hati pembaca. Membuat mereka peduli kepada aku-narator dan masalah yang ia hadapi.
Sayangnya, penulis belum maksimal mematangkan cerpen yang berpotensi besar ini. Masih banyak hal yang mestinya dirapikan dan dibuat lebih terarah. Narator yang “gila” tidak serta merta mengecualikan storytelling yang ketat. Di sini, ada dua pola berpikir yang perlu difasilitasi, pola pikir tokoh (si gila), dan pola pikir pembaca (tidak gila), karena itu perlu ada “jembatan” untuk menghubungnkan keduanya. Dan penghubungnya adalah penulis. Tangan terampil yang berperan dalam menerjemahkan pikiran abstrak si gila, sehingga sampai sebagai sesuatu yang bisa dipegang pembaca. Tidak abstrak pula.
Belum matangnya cerpen ini sudah terlihat dari suntingannya yang masih retak di beberapa tempat. EBI yang sering salah dan kalimat-kalimatnya yang kurang lincah, ada pula yang tidak tepat. Dan pilihan ending-nya yang menurut saya terburu-buru. Padahal saya yakin penulisnya mampu. Cerpen ini perlu diendapkan sejenak dan di-rewrite beberapa kali lagi, sebelum siap dilepas.
Pejuang DL detected? 😀
Jika itu dipenuhi, saya yakin cerpen ini bisa hinggap lebih tinggi di TL kali ini. Bahkan tidak mustahil di puncak!
-Berry Budiman
Tantangan Lokit adalah perlombaan menulis cerpen yang diselenggarakn di grup KCLK.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata