Belahan Jiwa (Terbaik ke-6 TL15)

Belahan Jiwa (Terbaik ke-6 TL15)

Belahan Jiwa 

Oleh : Titik Koma

Terbaik ke-6 Tantangan Lokit 15 (tema: Karantina)

 

Aku melihat wanita tua itu dekat pohon tumbang yang telah berjamur. Tangannya yang keriput mengayunkan kapak berkali-kali, gerakannya luwes, tidak terlalu kuat ataupun lembek. Ia mencabik sedikit demi sedikit tubuh busuk pohon itu untuk menemukan beberapa ulat sebesar jempol kaki. Setiap kali ia menemukan ulat-ulat itu, ia akan menyimpan mereka ke dalam tas anyaman bambu, beberapa ada juga yang langsung dikeletus, mulut dan pipinya bergerak-gerak mengecap tubuh hewan yang memiliki banyak cairan itu.

Sudah lama sekali, wanita itu hidup di dalam hutan, menjauh dari keluarga dan orang-orang yang memandang jijik pada dirinya. Tak pernah sekali pun kudengar dari mulutnya ungkapan kerinduan pada tempat kelahirannya. Seperti halnya diriku, ia pun memutuskan untuk hidup dan mati di perut rimba ini.

Aroma tanah berlumpur, rumput basah, dan batu-batu berlumut membuatku merasa lebih aman. Aku tidak akan mendapatkan perasaan ini jika berada di kota kelahiranku dulu. Aku mendekat, dan berdiri tepat di depannya yang sedang terbungkuk-bungkuk. Aku sengaja menarik atensinya.

Aku dan wanita itu memiliki luka yang sama. Dalam tubuhku menempel jenis penyakit kotor yang juga diderita olehnya. Dengan segala kesamaan itu kuputuskan untuk menemaninya hidup di belantara ini, karena aku yakin kami akan cocok dan saling memahami.

“Kau datang lagi?” Nada suaranya terdengar lelah, atau mungkin sudah sangat bosan pada setiap kehadiranku.

Ia menaruh pantatnya di atas bongkahan kayu, keringat telah membasahi tubuh. Ia menggosok keringat di wajahnya dengan ujung baju. Totol-totol kecil menonjol terlihat memenuhi kulit perutnya.

“Apa yang terjadi pada perutmu?” tanyaku.

Sejenak bibir wanita itu mengembang.

“Kau selalu ingin tahu, padahal kau sendiri tahu aku tidak suka banyak bicara.” Ia sandarkan punggung dan kepalanya pada pohon di belakangnya. “Tapi karena itu kau, akan kuceritakan bagaimana aku mendapatkan bekas luka ini. Sebelumnya tak pernah ada seorang pun yang mendengar kisahku ini.”

Matanya yang tinggal sebelah melirik siluet hewan pengerat yang berlari menuju semak-semak. “Cerita ini agak membosankan. Duduklah di dekatku, dan sandarkan punggungmu seperti yang kulakukan.”

Aku duduk persis di sebelahnya, menatap sinar mentari yang menyusup dari celah-celah daun.

“Nah, akan kumulai,” katanya seringan angin yang melayah di permukaan air.

***

Usiaku lima belas tahun ketika ayahku kembali dari perantauannya. Setelah dua belas tahun meninggalkan aku dan Ibu, kupikir ia kembali dengan membawa kabar gembira tentang keberhasilannya menaklukan ibu kota. Namun, kenyataannya ia datang sebagai lelaki yang kalah.

Sebenarnya aku tak mengenalinya lagi sebagai sosok seorang ayah. Keabsenannya selama ini membuatku terbiasa hidup tanpanya. Kehadirannya di rumah justru membuatku canggung, dan risih. Setiap hari kulihat ia hanya makan, tidur dan menonton siara TV hingga tertawa keras. Ia tak pernah membantu Ibu kerja di ladang.

Suatu hari ia pergi ke kota sebelah, tengah malam ia baru pulang. Malam itu aku yang membukakan pintu, Ibu sudah tidur dari jam delapan. Pekerjaan berat di ladang membuat tenaganya terkuras. Berbanding terbalik dengan kondisi Ayah, ia pulang dalam keadaan mabuk. Ia terus mengocehkan topik yang tak akumengerti. Sesekali tertawa, sesekali bernyanyi. Ia menyebut-nyebut dirinya akan dapat uang banyak. Asalkan aku mau menurutinya.

Malam itu aku tak mengerti apa yang direncanakannya padaku. Hingga empat hari kemudian, dia mengajakku pergi ke kota sebelah. Ia mengajakku ke rumah temannya yang berada di tengan kebun karet, sejak awal hatiku sudah merasa tak enak, terlebih saat kulihat ada seeokor orang utan betina yang didandani seperti manusia.

Hewan itu dibaringkan di atas gubuk balai kayu, di sekelilingnya terbentang tambang dan kain-kain yang sengaja digantungkan menyerupai tirai, tiap kali ada seorang pria yang masuk kain-kain itu pun ditutup rapat. Hanya terdengar suara jeritan si orang utan, dan suara lenguhan pria yang tadinya kupikir manusia.

Mendadak pandanganku menggelap, rasa takut mengikat kaki, juga memukul-mukul jantungku. Pikiranku berkabut, setelahnya segalanya berjalan seperti mimpi buruk, aku dikelilingi dan dijamahi para hewan berwujud manusia. Aku dipaksa menggantikan pekerjaan si orang utan, belut-belut memasuki pusat tubuhku bergantian. Aku menjerit-jerit meminta tolong pada Ayah yang hanya menyaksikan penderitaanku sambil mengisap rokoknya.

Pria yang kupanggil ayah itu mengurungku berbulan-bulan. Aku mengiba dan memohon ampun, air mata melumer di wajahku, tetapi ia tak sedikit pun menaruh kasihan. Tak ada seorang pun yang bisa menolongku, tak ada Ibu, bahkan tak ada Tuhan.

Setiap hari Ayah mengikat dan melepaskan tali di tangan dan kakiku. Setiap hari itu pula aku meludahi wajahnya, yang kemudian dibalas dengan sundutan bara rokoknya di perutku. Begitulah setiap kali aku berontak, ia akan semakin menyiksa tubuhku, dengan bara rokok, atau dengan cambukan sabuknya.

Aku begitu putus asa hingga tak ingin percaya lagi pada Tuhan, doa-doa yang kupanjatkan sudah tak bisa lagi menenangkan hati. Mungkin bagi sebagian orang, Tuhan adalah jalan kedamaian, tapi aku merasa Tuhan hanya ada untuk orang lain, ia tak pernah ada untukku.

Hingga pada suatu hari, aku mendapati vaginaku diserang rasa gatal yang luar biasa, terjadi pembekaan di dalam sana, sering kali keluar nanah dan darah disertai bau busuk yang membuat hewan-hewan yang ingin menjamahiku muntah. Sejak penyakit itu datang tak ada lagi binatang berwujud manusia yang memakaiku lagi. Kemudian berangsur-angsur aku kembali percaya pada Tuhan, akhirnya Dia ada untukku.

Aku pun terbebas dari neraka yang diciptakan oleh ayahku sendiri. Aku bisa kembali pulang ke rumah, betapa rindunya aku pada Ibu. Ia tak pernah tahu penderitaan yang kualami, yang Ibu tahu selama ini aku diajak Ayah bekerja ke kota. Kami kembali hidup seperti tak pernah terjadi apa pun. Sampai saat ini, tak ada seorang pun yang tahu kejahatannya padaku.

Terkadang aku merasakan di dalam rahimku masih tersisa belut-belut yang masuk dan terjebak tak bisa keluar, mereka berenang, dan menggigiti dinding rahimku. Pernah aku memasukkan tanganku untuk mengeluarkan mereka. Hampir-hampir kukeluarkan rahimku seandainya aku tak merasakan sakit yang luar biasa saat kucakar-cakar dinding di dalam sana.

Pada malam yang pengap, aku melihat orang yang pernah kusebut Ayah sedang mabuk dan mengoceh akan menjadikan ibuku sebagai pengganti si orang utan. Tetiba amarahku membuncah. Aku pun mengambil kapak di belakang rumah, aku melesat seperti Mahakali yang akan memancung kepala-kepala iblis. Kubelah kepalanya yang sedang rebah di atas meja, tak sedikit pun kudengar jeritannya, bukankah aku cukup baik telah membunuhnya tanpa merasakan penderitaan yang panjang.

Tak berapa lama orang-orang di desaku tahu, aku telah membunuh ayah kandungku sendiri. Mereka berduyun-duyun datang untuk menghakimiku. Manusia-manusia berubah peran menjadi Tuhan. Mereka mengecapku anak durhaka.

Saat aku digelandang polisi, mereka menyumpah serapahiku, melempari batu, bahkan ada yang ingin membakarku hidup-hidup. Aku ingat, ibu menangis menggerung-gerung meminta agar aku dilepaskan, ia bahkan ikut kena sasaran masyarakat yang semakin menggila.

Tubuhku diseret-seret, kakiku lemas gemetaran tiap kali berusaha berdiri, terakhir yang kuingat seseorang datang ke arahku dan memukulkan sekepal batu kolar ke arah bola mataku. Sempat kudengar suara nyaring dari lubang mataku, kelereng mataku meletus, cairan kental berlomba-lomba keluar, tubuhku ambruk dan mengejang-ngejang di tanah.

Setelah kejadian itu tak ada hal yang benar-benar bisa kuingat jelas. Aku disidang, dipenjara, dan keluar saat usiaku telah senja. Ibuku wafat saat aku didalam penjara.

***

“Kau masih mendengarkanku, kan?”

Ia mengembuskan napas panjang, beban-beban di dadanya seakan ikut keluar dari lubang hidungnya. “Begitulah perihal luka-luka di tubuhku. Sekarang kau bahkan tahu perihal mataku yang cacat,” ucapnya dengan ekspresi puas.

Senyum kecil kembali terbit di wajahnya. Aku menatap langit yang perlahan redup.

“Setelah keluar penjara, aku memutuskan untuk menjauh dari masyarakat. Bagiku manusia-manusia itu terlihat seperti sekumpulan penyakit yang harus kuhindari. Hanya dengan cara mereka memandangku saja, bisa membuat lambungku mual. Kau sendiri tahu, aku takut berdekatan dengan mereka. Terutama yang sebenarnya seekor hewan, namun memiliki wujud manusia.”

Suara kicau burung terdengar di kejauhan. Aku masih setia menjadi pendengarnya, ada jeda yang cukup lama hingga ia kembali berucap, “Aku bahagia hidup seperti ini. Aah … seharusnya aku tak perlu cerita padamu.”

Kali ini sebaris senyum mengembang dari bibirku. Ia tampak memejamkan mata sambil terus bersandar di bawah pohon meranti yang menjulang tinggi.

“Karena kau pun telah mengetahui segalanya. Kau adalah sosok yang kuciptakan dalam kepalaku. Aku adalah kau, dan kau adalah aku.”(*)

 

Karawang, 24 April 2020

 

Tentang Penulis:

Titik Koma, sangat suka menonton anime, dan membaca.

 

Suasana yang penulis gambarkan di cerita ini begitu menghanyutkan, membuat saya seolah berada di situasi yang sedang tokoh alami—mengarantina diri sendiri ke tempat yang tidak didiami oleh orang lain. Pun perasaan-perasaan buruk yang menghantuinya: keputusasaan yang nyaris menghilangkan semua harapan baik tentang hidup, rasa “tidak diinginkan”, dan sepi yang mencekat. Kemudian di ending, semua itu memuncak dengan terjawabnya sebuah pertanyaan tentang siapa sosok yang menemani si tokoh utama (di pertengahan cerita)—yang ternyata adalah bentuk dari imajinasinya sendiri. Mengejutkan. ^^

-Wahyu

 

Tantangan Lokit adalah perlombaan menulis cerpen yang diselenggarakn di grup KCLK.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply