Satria dan Malam Bersamanya
Oleh : Lutfi Rose
Terbaik ke-12 Tantangan Lokit 15 (tema: Karantina)
Kita tak pernah tahu apa yang bakal terjadi di esok hari. Meski segala takdir telah dituliskan sebelum kita lahir, tetap saja saat baik-buruk terjadi tanpa ada pemberitahuan lebih dulu.
***
Ini sudah hari ketujuh aku di sini, berkumpul dengan puluhan orang dengan latar belakang dan alasan yang berbeda-beda. Tampak seorang wanita paruh baya sedang mengotak-atik beberapa lembar foto di pangkuannya. Dia paling tua di penampungan ini. Mungkin dia rindu keluarganya. Pernah suatu malam kami ngobrol, membicarakan tentang dua anaknya yang sudah berumah tangga—yang seorang tinggal di luar pulau dan seorang di dekat rumahnya. Suaminya meninggal setahun yang lalu, dan … dia tak bisa memberi pelukan terakhir padanya. Dia bercerita sambil sesekali mengusap air mata di kedua pipi. Aku iba, dia mengingatkanku pada Ibu di rumah. Semoga … beliau sehat dan bahagia.
Ada lagi seorang gadis belia, wajahnya tirus dengan lesung pipit di pipi kirinya, rambutnya lurus sebahu dan selalu diurai sepanjang waktu. Tinggi badannya kukira selisih sekitar sepuluh atau dua belas senti denganku, lebih rendah. Badannya yang mungil, kurus, membuat dia tampak lebih tinggi dari sebenarnya. Ah! Mata memang mudah tertipu. Aku sendiri tak terlalu mempermasalahkan jika dari dulu dipanggil Gentong. Hanya sebuah panggilan, tak perlu diambil hati. Gadis itu mengalami hal yang sama denganku, dirazia saat pergi ke pasar—berbelanja. Risiko menjadi TKI gelap memang seperti ini. Hanya karena tergiur gaji yang lebih banyak, tak ada potongan pajak. Nyatanya malah harus berurusan dengan aparat negara ini. Tak ada pilihan, nasib kami harus berakhir di sini juga. Jika hari ini masih lolos, besok, lusa, atau lebih lama lagi, hanya menunggu waktu kapan akan tertangkap.
Di ruangan berukuran delapan kali empat meter ini, kami berjumlah tiga puluh tujuh orang, harus berdesakan tidur di lantai beralas karpet tipis. Tak ada pembeda antara pria dan wanita dalam satu ruangan. Apa boleh buat, mungkin sudah nasib jadi orang bawah, ke mana harus mengadu saat merasa diperlakukan tak layak.
Ada seorang lagi yang menarik perhatianku. Dia pemuda yang kukira sebayaku. Bekerja di sebuah restoran cepat saji milik seorang berkewarganegaraan Amerika. Dia ditangkap saat mengantar barang pesanan ke sebuah rumah mewah di daerah Jeddah. Ketika itu dia tak bisa menunjukkan visa kerja maupun kartu pengenal lainnya. Mau tak mau dia pasrah dibawa ke tempat ini.
Dia duda cerai dengan seorang anak perempuan. Saudaranya yang telah lama bekerja menelepon, menawarkan calling visa—katanya bakal mudah dan pasti mendapat pekerjaan yang menjanjikan. Pendidikan yang hanya tamatan SMP dan keseharian yang pas-pasan membuat dia tak cukup paham dengan segala surat-menyurat saat berangkat, bahkan tak tahu jika visa kunjung berbeda dengan visa kerja. Selang tiga bulan bekerja, barulah dia sadar ada yang salah dengan visanya. Namun semua sudah terlambat, kepalang basah, pulang pun malu. Dia bertahan, berharap bisa mengumpulkan pundi-pundi rupiah guna membahagiakan orangtua di kampung dan sedikit bekal untuk memulai kembali rumah tangga yang baru.
Semua orang di sini mengalami nasib yang tak jauh beda, terbujuk janji-janji palsu. Kini kami hanya bisa berharap segera keluar, menerobos dinding beton yang kokoh, melepas batang-batang besi yang dipasang pada setiap jendela gedung ini. Semakin lama di sini, semakin kabur harapan masa depan. Sehari dua hari masih saling menghibur, bercerita tentang harapan juga masa lalu. Tapi seiring waktu kisah-kisah terasa sudah habis untuk diceritakan, kata-kata terasa basi untuk diucapkan dan suara-suara seolah makin tenggelam dalam keputusasaan.
Besok kami semua akan dicek kesehatan, sebelum dipulangkan ke tanah air.
Malam ini waktu terasa lebih panjang. Detak jarum jam seolah berjalan melamban. Hatiku gusar. Sudah beberapa bulan belakangan kesehatanku menurun drastis, pusing, mual, dan sering tiba-tiba demam tanpa sebab. Untuk periksa ke dokter bukan urusan sepele bagiku. Hanya sekali waktu, Umi Lail—pemilik tempat aku bekerja—membawa dokter ke tempatnya, memeriksa kesehatan para pekerja.
***
“Aini Nuriyah!” suara petugas menyebutkan namaku.
Aku bergegas menuju meja registrasi. Tampak wanita paruh baya yang ramah, menjelaskan bagaimana prosedur pemeriksaan yang akan kulalui dengan cukup runtut. Aku mengangguk saat dia menunjukkan ruangan tempat periksa.
Terdengar decak sepatuku saat beradu dengan lantai keramik. Suaranya berbanding terbalik dengan detak jantungku yang semakin berpacu.
Di dalam ruangan tertutup seorang perawat menyuruhku merebahkan diri di atas kasur.
“Kami akan melakukan serangkaian tes ya, Bu,” begitu kira-kira arti ucapannya dalam bahasa Arab.
Dia memasang alat tensi di lengan kananku, selanjutnya mengambil sampel darah. Sedikit sakit saat jarum menusuk ujung jariku. Dia tersenyum ramah ketika mengatakan prosedur awal sudah selesai. Prosedur selanjutnya akan dilakukan di laboratorium untuk mendapatkan hasil akurat.
***
Malam makin menua, suara dengkuran beberapa orang yang mulai terlelap terdengar. Arab Saudi adalah negara muslim, namun jangan berfikir semua orang juga taat beragama. Sama dengan analogi air, makin banyak sumber air makin besar pula debit air di pembuangan. Bukankah segala sesuatu itu berimbang? Bahkan kerap kali TKI di sini berkelakar—kalau setan Arab lebih kuat dari setan Indonesia, terbukti Tuhan mengutus Rasul untuk membenahi akhlak masyarakat di sini dan cukup Wali untuk membenahi Indonesia.
“Hai!” Terdengar suara berbarengan dengan tepukan halus di bahuku.
Aku membalas sapaannya dengan lambaian tangan.
“Aku mendengar kabar kurang baik,” ucapnya ketika duduk di sebelahku.
Aku hanya menoleh sekilas. Sebenarnya kabar apa pun menjadi terasa tak baik di tempat ini. Jadi kalau ada kabar kurang baik tak perlu terlalu dikhawatirkan lagi.
“Aku takut,” ucapnya lagi.
Lelaki yang belakangan kutahu bernama Satria itu, mengerutkan dahinya serius, matanya menerawang jauh, mimik mukanya memucat, benar-benar penuh kekhawatiran.
“Apa sebenarnya yang membuatmu takut?”
“Kabar tadi sore itu. Bahwa kemungkinan ada yang tak akan pernah bisa pulang ke tanah air,” dia menjelaskan.
Aku mulai menanggapi ceritanya dengan serius. Ini tampak tak main-main.
“Kok, bisa?” Kali ini aku menatap lurus ke arahnya.
“Presiden tak mau menerima TKI yang sakit,” ucapnya seraya menekuk jari telunjuk dan tengahnya di samping telinga ketika mengucap kata sakit. “Dan aku takut menjadi salah satu dari mereka.”
“Siapa yang mengatakannya?”
“Satpam gerbang.”
“Berani sekali kamu main ke sana. Bukankah petugas sudah memberi larangan.”
“Aku hanya bosan di sini. Lumayan dia memberiku sebatang rokok.”
“Seharusnya berhenti saja merokok. Katanya sakit.”
Dia tak menjawab, dahinya berkerut tampak serius tanpa senyum. Aku jadi tak enak hati. Kualihkan perhatianku, memainkan buku-buku jariku di atas pangkuan.
“Berhentilah berspekulasi, kita akan sama-sama pulang dan bertemu keluarga. Yakinlah!” Aku berusaha tersenyum dan menampilkan mimik lucu untuk menghiburnya. Sayang … dia tampak tak tertarik dengan kelakuanku. “Sebenarnya apa yang membuatmu berfikir ada yang salah dengan kesehatanmu? Kamu sehat, Bapak … tak ada yang perlu dilhawatirkan.”
Dia menoleh, matanya cekung, ada lingkaran hitam di sekitarnya. Sudah berapa hari dia tak tidur?
“Jika kamu punya pilihan, kamu akan memilih kematian seperti apa?” Sepertinya pria ini enggan mengalihkan bahasannya.
“Aku tak pernah memikirkan kematian, aku ingin hidup, hidup, dan hidup selama yang kubisa.”
“Ini semisal hari ini terakhir hidupmu?” Sejenak dia menghela napas yang tampak berat. “Kamu pilih mati di tiang pancung, ditembak atau dipenggal?”
“Tak punyakah kamu pilihan yang lebih manusiawi?”
“Mati itu hanya urusan waktu, apalagi bagiku, kalaupun lolos hari ini, mungkin waktuku tak akan lama,” suaranya penuh penyesalan.
Satria diam dan aku pun tak lagi berusaha mencairkan suasana. Hening membuat bulu kudukku sedikit meremang, ada kegundahan yang tetiba menelisik di sudut hatiku: jika benar Satria harus mati, jika aku juga ikut dengannya, kematian apa yang akan aku pilih?
***
Satu per satu orang-orang mendapatkan surat kebebasannya termasuk ibu paruh baya yang anaknya dua itu. Dia memelukku, menepuk bahuku sebelum benar-benar beranjak keluar pintu utama. Momen penuh haru, hampir semua menangis menerima kabar bahagianya. Separuh lebih penghuni penampungan ini berkurang, namun hanya dua puluh orang yang kutahu kepergiannya. Dua orang lain termasuk gadis tirus berlesung pipit, tetiba menghilang tanpa kutahu ke mana. Ah! Mungkin dia lupa pamitan, bisa jadi terlalu girang dan tak ingat berbagi bahagia dengan yang lain.
Satria menyentuh jemariku, mengodeku agar mengikutinya menepi, duduk di bangku kayu yang teronggok tak jauh dari pintu ruang tidur kami. Gedung ini sebenarnya tak terlalu sempit, ada banyak ruangan yang tak kutahu apa fungsinya. Hanya saja ruang gerak kami dibatasi. Kami hanya bergeser dari ruang tidur dan kamar mandi yang berada di bagian pojok lantai satu setelah lorong menuju pintu utama yang kanan kirinya dipasang teralis panjang nan kokoh.
“Waktu kita makin sempit.”
“Berhentilah membuat spekulasi, Sat. Hanya prosedur yang belum selesai. Kita hanya butuh menunggu lebih lama sebelum menyusul mereka keluar dari sini.”
“Kamu memang cukup keras kepala, tak pernah percaya ucapanku.”
Aku tak berniat berdebat lagi, lelah. Semakin lama mendengar dia berbicara, aku mulai turut gelisah. Di antara kegamanganku tiba-tiba sebuah lumatan lembut menyentuh bibirku. Tak kuasa aku mengelak, ini hangat dan aku merasa tak kuasa menolaknya.
***
Tak kusangka dua purnama telah berlalu di sini. Satu per satu secara periodik orang-orang meninggalkan gedung penampungan. Ruangan ini makin sepi, wajah-wajah muram penuh kegelisahan tergambar pada setiap orang. Aku menyendiri di sudut ruangan, aku mulai terganggu dengan ucapan Satria, bagaimana jika benar tentang eksekusi pada beberapa orang yang terdeteksi sakit? Kuusap wajahku kasar demi menghalau gelisah.
Satria mendekat, tangannya menggengam jemari kananku. Ada aliran lembut yang memberi rasa hangat menjalar ke seluruh tubuhku. Belum hilang hangat bibirnya beberapa malam lalu yang membuatku menghindar setiap berada di dekatnya. Aku ingin mengelak, namun sisi lain diriku ingin bertahan.
“Besok hasil tes kedua keluar, Sat,” ucapku menetralisir debar di dadaku.
“Malam ini mungkin malam terakhirku,” ucap Satria lirih.
Tak ada lagi perdebatan. Kami larut dalam rasa yang entah bagaimana menggambarkannya.
Orang-orang mulai menjejak selimutnya. Suasana semakin hening. Deru napas pemuda di sampingku semakin jelas di belakang telingaku. Aku mulai tak nyaman dengan situasi ini. Seumur-umur aku tak pernah sedekat ini bersama seorang lelaki. Angin yang masuk melalui teralis jendela mencipta hawa dingin yang membuatku enggan menjauh dari hangat tubuhnya.
“Temani aku menghabiskan malam ini,” bisiknya.
***
Gedung berlantai dua yang menyimpan banyak rahasia. Berbeda dengan ketika memasukinya, kali ini ada rasa berat meninggalkannya. Ragu-ragu kukayuhkan langkah menjauh, namun separuh jiwaku seakan tertinggal di dalamnya. (*)
Malang, 24 april 2020
Lutfi Rose, seorang perempuan yang tak mau membuat target dalam hidupnya, hanya ingin menjadi berguna.
Komentar juri:
Jika ada yang bertanya cerita mana yang berkesan di hati saya, maka ini salah satunya. Di awal cerita, kekhawatiran dan rasa takut sudah tergambar jelas. Aini dan Satria, mau tidak mau, harus menerima keadaan genting yang menimpa mereka sebagai pekerja ilegal yang terkurung di negeri orang. Mereka baru akan dipulangkan ke tanah air masing-masing setelah melalui beberapa hal—yang kian hari kian menambah keputusasaan tentang nasib mereka selanjutnya.
Tetapi menariknya, selayaknya koin yang memiliki dua sisi, cerita ini pun tidak hanya menggambarkan kesedihan. Melainkan juga dibumbui dengan sesuatu yang manis: cinta antara Aini dan Satria. Meski akhirnya cinta itu juga yang memberatkan langkah Aini untuk pulang tanpa seorang Satria di sisinya.
Sungguh kisah yang menyentuh. <3
-Wahyu
Tantangan Lokit adalah perlombaan menulis cerpen yang diselenggarakn di grup KCLK.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata