Malam Ketiga Belas (Terbaik ke-14 TL15)

Malam Ketiga Belas (Terbaik ke-14 TL15)

Malam Ketiga Belas

Nama : Eda Erfauzan

Terbaik ke-14 Tantangan Lokit 15 (tema: Karantina)

 

Arya menatap rinai hujan yang perlahan menderas. Hijau pohon, putih pasir, dan warna lautan berubah menjadi kelabu. Sembilan hari sudah ia dan para anak buah kapal berada di sini. Di pulau berpasir putih, lembut dengan biota laut yang luar biasa indah, bahkan jika beruntung saat menyelam kau bisa bertemu Nemo, ikan badut, penyu, hingga lobster. Saat hari cerah, ketika langit sewarna dengan jutaan liter air di bawahnya, kau bisa melihat elang bondol. Ah, harusnya di tempat seindah ini ia bisa menerjemahkan resah yang menerpa hatinya.

Arya mendesah. Ia melepas kacamata dan memijat pangkal hidungnya. Email dari Naomi, sahabatnya sejak masuk Fakultas Kedokteran, seakan mempertegas gundah dan keresahannya meski belum sepenuhnya ia pahami.

Dua jam dari ibu kota, pulau ini dipilih menjadi lokasi karantina bagi enam puluh orang anak buah kapal yang bekerja di sebuah kapal pesiar mewah. Beberapa penumpang di kapal itu teridentifikasi positif terkena virus yang tengah menjadi pandemi dunia.

Khawatir terpapar dan menjadi agen penyebar virus, pemerintah memutuskan mengobservasi mereka di sini. Di sebuah pulau yang jauh dari masyarakat. Terpencil tetapi memiliki fasilitas lengkap sebagai sebuah tempat karantina. Ada rumah sakit mini, beberapa kamar isolasi, rumah-rumah berupa cottage yang menjadi tempat tinggal para ABK dan tenaga medis, kantin, tempat ibadah, sarana olahraga, laboratorium mini, serta boat dan sebuah helikopter di pulau terdekat yang siaga untuk evakuasi jika terjadi hal-hal darurat.

Mengenakan kembali kacamatanya, Arya membalikkan badan, berjalan ke arah kursi dan meja dengan sebuah buku di atasnya. Halaman buku itu masih kosong. Mey berhasil memaksa dan membuatnya berjanji untuk menuliskan apa pun yang ia alami selama di pulau ini. Dan harus ditulis dalam sebuah buku.

“Karena aku pencinta buku dan buatku buku lebih sexy daripada bacaan apa pun dalam bentuk digital. Suatu saat teknologi akan hilang tapi tulisan enggak. Lagi pula aku ingin kamu punya kenangan yang menjadi abadi dalam sebuah buku dengan tulisan tangan. Romantis dan manis untuk hadiah pernikahan kita,” sebutnya memberi alasan dan Arya tak ingin membantah. Mengingat perempuan itu hati Arya terasa hangat. Seulas senyum membuat wajah tampannya tak lagi bertabir mendung. Ia pun mulai menulis:

Pulau Sebaru mendung sejak pagi dan sore ini hujan mulai turun, Mey. Tak terasa sudah sembilan hari berlalu, tak ada kasus, semua berjalan normal. Aku merasa tempat ini sangat indah, Mey. Ah, tentu saja indah karena kabarnya ini adalah pulau privat seorang taipan, dan beberapa kali digunakan untuk private party para pesohor. Aku bayangkan, Mey, jika pandemi ini berakhir, aku akan membawamu ke sini.

Email Naomi tadi pagi sudah kamu baca? Aku melihat ia pun meneruskannya padamu. Rasanya aku langsung hafal isi Email itu dan membayangkan kondisi Naomi di sana (jangan lupa untuk mendoakannya, ya ….).

Arya meletakkan pulpen, memutar kursi dan kembali memandang sapuan warna putih di luar jendela. Naomi adalah sahabatnya dan Mey, istrinya. Saat ini perempuan itu menjadi relawan tenaga medis di negara dengan jumlah penderita dan korban meninggal terbanyak di dunia. Dalam Email-nya Naomi menulis:

Di sini, kami para dokter sudah beralih peran bukan lagi penyembuh dan pahlawan, profesi kami berganti menjadi eksekutor yang menentukan siapa yang harus ditolong dan siapa yang dibiarkan menjemput kematian.

Berderap menyelamatkan sebanyak mungkin orang dan berharap Tuhan segera memutuskan untuk mengakhiri pandemi ini. Di titik terlelah, kami akhirnya hanya mampu mendiagnosis, merekomendasikan, mengambil keputusan hingga memerintahkan isolasi atau karantina.

Ketika orang-orang terus bergerak dari berbagai wilayah, infeksi bisa menyebar lebih mudah. Mereka membawa bakteri dan virus bersama mereka lalu menyebarkan infeksi ke populasi baru.

Kamu tahu makhluk apa yang tengah kita hadapi saat ini, Ar? Mahluk kecil, sangat kecil, tetapi pintar luar biasa, memiliki kesabaran laksana sniper ulung menunggu saat tepat untuk menembak sasarannya. Kasus terbaru dan mulai diikuti kasus-kasus lainnya, kematian tanpa gejala di rentang usia lebih muda. Seorang pria muda meninggal saat tengah menikmati sarapan paginya. Ia pernah melakukan rapid test tak ada jejak antibodi yang menunjukkan jika ia pernah terpapar virus. Ia dinyatakan negatif. Namun, hasil test lab setelah kematiannya menunjukkan hal berbeda. Rekam jejaknya menunjukkan tiga bulan lalu, sebagai tour leader freelance ia membawa serombongan turis ke Wuhan dan beberapa kota lain setelahnya, termasuk dua tujuan wisata di Indonesia. Virus ini berevolusi dalam tubuh, mengkamuflase gen, menghapus jejak antibodi, menyabotase sel-sel protein, menghalangi oksigen masuk dalam darah, dan memblokir karbon dioksida. Perlahan sel-sel tubuh yang sehat akan teracuni sementara virus terus membelah diri. Secara lambat tapi pasti sel-sel organ vital tubuh menghitam, kering, dan mati.

Tiga bulan, Ar, bayangkan ke mana saja orang itu pergi, berapa banyak yang ia temui, bersalaman, makan bersama? Berapa kali ia bersin, meludah, menyentuh benda-benda yang kemudian disentuh orang lain?

Spontan Arya memejamkan mata. Terbayang gambar-gambar hasil lab yang dikirim Naomi sebagai lampiran Email.

Dan di sini, upaya untuk memutus rantai itu berhadapan dengan pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Batinnya.

Tiba-tiba alarm dalam kamar Arya berbunyi. Dari speaker yang terpasang di semua kamar petugas medis terdengar suara, “Ar, kenakan APD, cottage delapan satu penghuninya kejang-kejang.” Dokter Rama, sejawatnya yang sedang piket di rumah sakit memanggil.

 Arya segera mengenakan setelan hazmat-nya. Kasus pertama di hari kesembilan. Hari itu hingga malam, beberapa orang anak buah kapal yang tengah diobservasi mengalami hal sama dan masuk ruang isolasi.

Pengukuran suhu tubuh harian yang dilakukan per dua belas jam berjalan lancar, tidak ada yang menunjukkan gejala kenaikan suhu tubuh, batuk, atau pilek. Juga tak ada keluhan radang atau sakit di tenggorokan.

Hari kesepuluh evakuasi pertama dilakukan. Meski rapid test mereka tetap negatif, para ABK itu akan dirujuk ke rumah sakit khusus dan langsung menjalani test swab.

Hari kesebelas jumlah orang yang masuk ruang isolasi bertambah, bahkan terjadi dua kematian mendadak.

Suasana pulau bertambah muram, padahal hanya hitungan hari mereka akan kembali ke kehidupan normal setelah karantina empat belas hari di Yokohama dan empat belas hari di Sebaru.

Arya menutup buku dengan cover bulan menggantung di langit gelap. Resah itu kembali datang. Intuisikah? Mendung kembali menyelimuti pulau sepanjang hari.

Cuaca. Tiba-tiba seperti ada gelembung yang pecah. Ya cuaca. Kenapa ia merasa tak nyaman dengan pulau ini sebagai tempat karantina? Meski fasilitas lengkap tetapi siapa bisa menebak dan bersikap tepat menghadapi perubahan cuaca.

Hati Arya berdesir mengingat beberapa kematian yang terjadi. Juga proses evakuasi yang ternyata tak semudah di atas kertas.

Kasus-kasus yang terjadi beruntun sangat berbeda dengan gejala awal virus ini muncul. Tak ada demam, batuk, radang, dan pilek. Mungkinkah semua yang di pulau terinfeksi? Tak terdeteksi karena virus sudah memutasi diri dan gen antibodi tak mampu mengenali mereka sebagai lawan? Jika ya tanpa gejala, sesungguhnya mereka sudah saling menginfeksi. Inikah yang kerap membuatnya merasa tengah diawasi? Mahluk-mahluk sangat kecil itu ada di dalam tubuh dan berkeliaran di sekelilingnya. Menunggu.

Suara gedoran di pintu membuat Arya berjengit. Namun, sebelum ia berdiri sempurna dari duduknya, pintu terbuka dan sesosok tubuh langsung menggelosor, ada cairan bening keluar dari telinga dan hidungnya. Spontan Arya mendorong kursi dan menjauh dari pintu. Suara derap langkah dan beberapa orang mengenakan hazmat yang muncul di depan pintu kamar menyadarkan Arya dari keterkejutan yang sempat membuatnya blank. Dari balik APD-nya Dokter Rama menatap sahabatnya dengan khawatir.

Malam ketiga belas, hujan turun dengan deras disertai angin kencang dan debur ombak serupa raungan orang marah. Suara dahan terpuntir angin menambah ciut hati penghuni pulau yang kian berkurang. Seharusnya hari ini ada evakuasi—sebab kejang, pendarahan di bawah kulit, dan kematian mendadak kembali terjadi—tetapi angin kencang, hujan yang disertai petir menghambat proses evakuasi. Satu per satu penghuni pulau tumbang.

Dalam cekaman rasa takut, yang masih bertahan melupakan perintah jaga jarak, mereka bergenggaman tangan, berkumpul, berdoa, dan saling menguatkan di ruangan besar yang biasanya difungsikan sebagai ruang olahraga.

Tiba-tiba terdengar gemuruh, pulau serasa bergoyang, seperti ada yang mengangkat kemudian dihempaskan.

Gelap, dan air di mana-mana. Tak ada yang sempat berteriak apalagi mengetahui apa yang terjadi. Hening, bumi seakan diam. Alam pun tak lagi mengirimkan pesan. Sepi mencekam hingga ke tulang.

Esoknya, saat mentari beranjak naik, tim evakuasi mendapati pulau porak-poranda. Media online, televisi, dan koran memuat berita: “Pulau Karantina ABK Heavenly Stars, dilanda badai dan ombak besar, dua tim medis ditemukan dalam kondisi kritis, penghuni pulau lainnya meninggal dan beberapa orang masih dalam pencarian. Sementara dari hasil lab ABK yang sempat dievakuasi sebelum badai, diketahui mereka adalah carrier virus COVID-19. Namun, virus ini telah berevolusi dan memutasi diri menjadi lebih ganas. Para carrier tidak terdeteksi telah terinfeksi, tidak ada gejala klinis tetapi menyebabkan kematian tiba-tiba. Para ahli menamakannya Cors20. Pulau karantina sempat menjadi tempat berkumpul virus yang ganas, tetapi alam telah membersihkan dirinya dan manusia terhindar dari pandemi yang lebih dahsyat.”

****

Beberapa tahun kemudian, setelah masa pandemi usai, Pulau Sebaru dibuka untuk umum dan menjadi salah satu tujuan wisata dari gugusan kepulauan Seribu.

Seorang pria tertegun menatap safety box yang nyaris membuatnya tersungkur. Matanya memicing dengan hati gemuruh. Ia masih ingat isi kotak antiair itu, sebuah buku catatan dengan gambar bulan menggantung di langit gelap.

Tak jauh dari pria itu, dua orang anak laki-laki usia enam dan empat tahun sedang bermain. Mereka menggali pasir dan membentuk berbagai bangunan. Tanpa mereka sadari, dari ceruk galian pasir merayap seekor serangga. Binatang itu menggigit si anak, meninggalkan titik merah yang segera memudar.

Di dermaga kayu, seorang pria yang tengah memancing tak menyadari seekor serangga menggigit tengkuknya.

Begitu pun seorang perempuan bertopi lebar, perhatiannya terfokus pada buku yang tengah dibaca, tak sadar jika seekor serangga merayap di bawah meja dan menggigit ibu jari kakinya yang terbuka.

Juga sekelompok remaja yang tengah asyik bermain voli pantai, tak menyadari sesuatu sempat hinggap di punggung dan bahu mereka yang terbuka.

Dan … dari Sebaru, mahluk sangat kecil bernama virus pun memulai perjalanannya kembali. (*)

 

Ciputat, 22 April 2020

 

Eda Erfauzan, senang merangkai kata, tetapi sering lupa jeda dan tanda baca.

 

Komentar juri:

“Arya memejamkan mata.”

Ekspresi saya kira-kira sama, setelah membaca Email dari teman si tokoh yang menjadi dokter di tengah pandemi. 

Cerpen ini berhasil menghadirkan perasaan mencekam, miris, dan tak berdaya oleh situasi yang memang benar-benar sedang kita alami saat ini. Cerpen ini membeberkan fakta, dan tersebab ditulis dengan cakap dan runut, ia mengetuk tanpa menggurui.

Semoga endingnya yang scient-fiction tidak benar-benar terjadi di dunia kita.

-Fitri

Tantangan Lokit adalah perlombaan menulis cerpen yang diselenggarakn di grup KCLK.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply