Einangrun die Seele (Isolasi Jiwa)
Oleh: Mohamad Rizky Yanuartha
Terbaik ke-17 Tantangan Lokit 20
Hidup di dunia sangat berat. Berbagai godaan dan ikatan dengan kenikmatan dunia membuat jiwa kita lupa. Bahwa ada suatu hal yang amat penting dibalik gemerlap dunia yang fana ini.
Apa itu? Entahlah.
Sepertinya semua orang masih dalam perjalanan untuk mencari tahu jawabannya.
Zelfziel[1] atau Zelf de Ziel, biasa dipanggil Ziel, merupakan nama barat dari Azriel Abdullah Kareem. Laki-laki keturunan Syria-Turki yang tinggal dan besar di Benua Eropa, lebih tepatnya di pusat Kota Budapest, Hungaria. Pria paruh baya yang kini telah berusia tiga puluh tahun dan sebatang kara sejak berusia lima belas. Orangtuanya meninggal dunia karena kecelakaan. Kerabatnya di Syria dan Turki tak ada yang mau menerimanya saat itu. Kini ia tinggal sendiri di Hungaria dengan nama yang berbeda. Ziel mungkin bisa menyembunyikan nama aslinya, namun tidak dengan identitasnya yang kentara. Perawakan yang tinggi besar, wajah khas ditambah kumis dan cambang yang lebat.
Ziel sebetulnya kecewa. Harus hidup di masa di mana orang-orang sudah banyak lupa. Gaya hidup yang bebas, bermewah-mewahan, menolak keberadaan Tuhan dan tak acuh dengan keadaan bumi yang sudah tua. Ziel muak dan benci dengan dunia. Tak ada hal yang indah dan menyenangkan. Ia ingin segera pergi, agar tak perlu berurusan dengan dunia dan isinya lagi. Dunia hanya membuatnya terperdaya. Ujian yang tak akan ada habisnya. Ia lelah dengan itu semua.
***
“Tenanglah, Kawan.”
Ziel termenung. Kepalanya bersandar di pinggiran jendela, memandang ke luar.
“Semua akan baik-baik saja.”
Ziel tidak yakin dengan hal itu. Ia sebenarnya takut. Ia ragu. Entah akan seperti apa akhir hidupnya kelak.
“Jangan berpikir yang tidak-tidak, Ziel,” sosok anak laki-laki kurus, berseragam cokelat, lengkap dengan topi dan selempang, melayang di depan jendela. “Kau akan baik-baik saja, Kawan!”
Ziel tetap termenung. Tidak peduli.
Sosok itu sudah mengikuti Ziel sejak kedua orangtuanya meninggal pada lima belas tahun lalu. Tidak hanya anak kecil itu, ada seorang pemuda dan sosok kakek tua. Anehnya, mereka mengenakan seragam cokelat yang sama, lengkap dengan topi dan selempangnya. Seolah mereka adalah sosok yang sama dengan wujud yang berbeda. Ziel sudah terbiasa dengan keberadaan ketiganya dan menyebut mereka, Kendin[2]. Sebetulnya, Ziel tidak tahu mereka itu apa, tidak yakin juga apakah mereka memang Kendin. Ziel hanya ingat dongeng dari sang Ibu, bahwa ada makhluk mitologi dari Turki yang suka menghantui manusia. Bukan makhluk negatif, memang. Hanya saja kemunculan mereka bukanlah pertanda yang baik. Ziel yakin itu.
“A—aku yakin, ka—kau bisa mengatasi semua ini.”
Sosok anak laki-laki yang melayang di depan jendela telah lenyap dan muncul sosok kakek-kakek tua dengan tongkat, duduk di sebuah kursi kayu di dekat Ziel. Beberapa kali sosok itu terbatuk, namun Ziel tak acuh.
“Tetaplah berada di jalan kebaikan, jangan turuti ego dan nafsumu. Kau tidak akan mau berakhir sama sepertiku.”
Kakek tua itu kembali terbatuk.
“Sampai sekarang pun, aku masih menyesali keputusanku. Andai saja, waktu bisa diputar kembali.” Tiba-tiba sosok itu lenyap.
“Yo, Kawan! Untuk apa engkau bermuram hati, hidup ini indah bila kau menikmati.”
Sosok pemuda dengan gaya bicara gaul dan kekinian muncul di samping Ziel dan merangkul si pria paruh baya itu.
“Berhentilah untuk bersedih, Kawan! Kau harus yakin, berusahalah terus, Yo!”
Ziel bangkit, ia sudah tak tahan lagi. Bergegas berjalan ke arah gantungan jaket, mengambil jaket kulit berwarna hitam dan mengenakannya. Tak lama, bergerak mendekati pintu depan apartemen dan keluar dari tempat itu, meninggalkan sosok pemuda yang menasihatinya di dalam sendirian.
***
Dunia memang sudah sangat kacau. Ziel berusaha sangat keras untuk bisa terus taat dalam beribadah dan ingat pada Tuhan. Sebetulnya Ziel takut. Apakah yang ia kerjakan bisa menyelamatkannya kelak. Ia tak mau kalau sampai susah payahnya di dunia ini, untuk tetap berada di jalan yang benar, hanya berakhir dengan sia-sia. Sudah bertahun-tahun ia mengisolasi dirinya dari dunia luar. Agar tak terpengaruh oleh macam-macam keburukan yang ada. Tak punya teman, ataupun kenalan. Benar-benar hanya dirinya sendiri. Keluar apartemen hanya saat benar-benar perlu saja.
Manusia memang tak akan luput dari yang namanya dosa. Tempatnya salah dan penuh dengan kekurangan. Teknik isolasi jiwa; Einangrun[5] die Seele, menjaga diri demi kesucian jiwa. Hal yang sangat sulit, apalagi di peradapan yang maju dan berkembang seperti saat ini. Ziel sering menangis karena tindakan yang ia pilih ini sangat berat. Bisa saja ia memilih untuk tidak peduli dan bersenang-senang. Hidup sesuka hati tanpa memikirkan konsekuensi yang akan di dapat. Akan tetapi, Ziel memilih untuk menyiksa dirinya. Demi sesuatu yang belum pasti.
Ziel sering keluar apartemen ketika sudah malam. Saat dimana jalanan sepi dan udara terasa lebih melegakan. Ia biasa pergi ke stasiun untuk sekadar duduk, memandangi situasi stasiun yang sepi. Pikirannya bisa lebih tenang di sana.
Dua remaja pria akan melintas di depan Ziel yang tengah duduk di sebuah bangku. Refleks, ia melihat ke bawah, memandangi sepatunya. Ziel tidak ingin melihat dua remaja itu ketika melintas di depannya.
Waktu berlalu dan udara terasa semakin dingin. Beberapa orang sudah melintas di depannya. Namun, Ziel tetap menunduk dan melihat ke bawah ketika seseorang berjalan mendekat dan melintas. Kadang, Ziel terlena, ia lupa menunduk. Tanpa sadar ia sudah memperhatikan seorang pria dari jauh. Melihat dengan saksama.
Sakit, jantung Ziel. Nyeri seperti tersengat listrik. Kemudian berubah menjadi rasa sakit yang berbeda. Pertanda dua sosok ambigu akan muncul. Ialah Szellemi[3] dan Zihinsel[4]. Dua makhluk ambigu yang muncul ketika Ziel dihadapkan pilihan untuk menuruti nafsu dunia atau tetap pada jalan kebenaran. Makhluk pertama, Szellemi, senang menghasut Ziel agar dirinya mau sukarela menerjunkan diri ke dalam nafsunya. Nafsu apapun itu. Namun, bagi Ziel sendiri, ia sangat kesulitan untuk menghadapi nafsu seksual. Karenanya ia mengkarantina dirinya dari manusia.Terkadang ia lengah dan terjebak, sekalipun sudah berusaha untuk menghindar. Sekali ia mengikuti Szellemi, ia akan sangat kesulitan untuk kembali memperbaiki dirinya. Zihinsel, makhluk ambigu yang kedua, senang menghasut Ziel untuk meninggalkan agamanya, untuk tidak taat, merasa bersalah dan merasa tak perlu beribadah.
“Hei, Tuan, kau tak apa?” terdengar suara seorang wanita.
Ziel terperanjat. Ia masih di stasiun. Pria yang ia perhatikan dari jauh sudah tidak ada di tempatnya. Suasana stasiun masih sepi, seperti beberapa menit sebelumnya. Sepertinya Ziel berhasil melalui godaan dua makhluk ambigu itu. Namun, ada seorang wanita berdiri di depannya.
“Ya, ya, aku tak apa,” jawab Ziel, suaranya tercekat.
Wanita itu terlihat bingung. Ia duduk di samping Ziel, menyodorkan sehelai tisu. Ziel belum menyadari pipinya yang basah oleh air mata, sejak beberapa menit yang lalu. Ia tenggelam dalam pikirannya.
“Yakin, kamu tidak apa-apa?” tanya wanita itu khawatir.
Ziel menerima tisu dari wanita itu. Namun, tidak berani memandang.
“Te—terima kasih.”
Wanita itu kembali menyodorkan sesuatu. “Namaku Mallory. Ini kartu namaku. Kalau kamu butuh bantuan, kamu bisa menghubungiku.”
Ziel sedikit terkejut, tetapi ia tetap menerima kartu nama tersebut. Mallory E. Meese, seorang psikolog ternama.
Wanita itu tersenyum, menepuk bahu Ziel, memberi dukungan, kemudian berjalan pergi. Sepertinya sosok yang baik.
Ziel berjalan pulang. Pikirannya kembali bergelut. Tak seharusnya ia keluar malam itu. Sebaiknya ia tak usah keluar lagi. Ziel melihat kembali kartu nama milik Mallory. Tak perlu lama, ia meremasnya dan membuangnya ke tempat sampah.
“Masalahku ini bukan masalah yang bisa diselesaikan oleh seorang psikolog, ternama sekalipun. Perasaan ini tak akan bisa hilang. Akan terus menghantuiku selama aku masih hidup. Alasan mengapa kerabatku tak ada yang mau menerimaku. Menurut mereka, aku ini menjijikkan. Padahal aku tidak meminta untuk lahir dengan “kutukan” ini. Aku berusaha untuk tidak menyalahi aturan. Sungguh, aku berusaha keras. Tapi, ujian ini sangatlah berat. Tidak akan ada yang mengerti.”
Bojonegoro, 24 April 2020
Keterangan:
[1] Zelfziel atau Zelf de Ziel adalah bahasa Belanda yang berarti “jiwa diri”. Dalam cerpen ini, dimaksudkan sebagai inti dari tokoh utama.
[2] Kendin adalah bahasa Turki yang berarti “diri”. Dalam cerpen ini, dimaksudkan sebagai sosok “diri” dari tokoh utama sendiri. Versi lain dari tokoh utama dalam berbagai masa, yang senang memberi nasihat dan semangat. Di sini penulis meng-create, Kendin, sebagai “Spiritual Creature” yang menuntun dan menjaga jiwa – jiwa manusia yang mulai rapuh karena stres dan depresi.
[3] Szellemi adalah bahasa Hungaria dari “mental”. Dalam cerpen, sebagai sosok gelap; alam bawah sadar milik Ziel. Sosok negatif yang mempengaruhi, menghasut Ziel untuk berbuat buruk. Entitas yang ambigu, antara imajinasi Ziel semata atau memang perwujudan dari setan.
[4] Zihinsel adalah bahasa Turki dari “mental”. Dalam cerpen, sebagai sosok gelap; alam bawah sadar milik Ziel. Sosok negatif yang mempengaruhi, menghasut Ziel untuk berbuat buruk. Entitas yang ambigu, antara imajinasi Ziel semata atau memang perwujudan dari setan.
[5] Einangrun adalah bahasa Islandia dari “isolasi” dan bahasa Jerman, die Seele, berarti “jiwa”. Digabungkan menjadi judul cerpen, Einangrun die Seele.
Mohamad Rizky Yanuartha. Penulis yang dipanggil Yanu atau Rizky ini, sempat kehilangan semangat untuk menulis, namun kini dirinya berusaha untuk kembali menyalakan api semangat menulis miliknya. Sempat menyukai genre fantasi, kemudian kecewa karena realita. Kini berusaha kembali mempercayai keindahan dalam fana tersebut.
Komentar juri:
Jika kebanyakan peserta memainkan tema “karantina” dengan sesuatu yang real, seperti karantina wilayah dsb, maka berbeda dengan Einangrun die Seele. Di cerita ini, karantina lebih kepada perlindungan diri (baik fisik maupun batin) dari tipu daya setan. Penulis juga konsisten menghadirkan rasa gelisah sebagai sisi kelam kehidupan Ziel. Bagaimana ia melewati masa sulit sebab dikelilingi oleh sosok-sosok yang berniat buruk terhadapnya, menghasutnya untuk terus berbuat kesalahan dan semakin jauh dari ketenangan yang ia inginkan. Lalu di akhir pembacaan, saya dibuat melek dengan kalimat satu ini ….
“Masalahku ini bukan masalah yang bisa diselesaikan oleh seorang psikolog, ternama sekalipun.”
Jleb! ^^
-Triandira
Tantangan Lokit adalah perlonbaan menulis cerpen yang diselenggarakan di grup KCLK.