Maafkan Aku
Oleh : Cahaya Fadillah
Terbaik ke-18 Tantangan Lokit 15
Hidup ini terlalu pelik buatku. Jika dijelaskan, mungkin semacam rumit yang tidak berkesudahan. Rasa bahagia dan sedihku tidak mampu diatur oleh diriku sendiri. Sesuatu dalam diri ini memiliki kemampuan khusus untuk mengontrol semua hal termasuk masalah hati.
Masih terlalu pagi, azan Subuh baru saja berkumandang saat dia menangis lagi. Detik pertama kulihat air mata membasahi wajah mungilnya yang pucat pasi. Wajah mungil itu terlihat ketakutan menatapku.
“Sudah, sudahlah. Jangan menangis lagi, Kesha. Mama di sini.” Kupeluk gadis itu penuh cinta sambil menepuk-nepuk pelan punggungnya—hal yang selalu jitu untuk membuat Kesha merasa tenang. Tubuhnya bergetar, air matanya mengalir. Namun, gadis dua tahun ini bahkan tidak mengeluarkan suara yang berisik seperti anak-anak lain.
Kutatap wajahnya yang sendu, kucium pipi dan keningnya perlahan sambil mengusap air mata yang terus mengalir tanpa henti. Entah apa yang terjadi pada Kesha-kusepagi ini, yang kutahu ia tiba-tiba menangis menatapku dengan tubuh yang mengigil dan wajah yang ketakutan. Pelukanku akhirnya berhasil membuatnya terlelap.
“Maafkan Mama, Kesha. Mama tidak tahu hal apa yang terjadi padamu sepagi ini. Apakah tadi terjatuh dari ranjang ini? Kenapa memarnya bisa separah ini, Nak?” tanyaku pada Kesha yang sudah kembali tertidur. Wajah polosnya yang selalu sendu membuat hatiku merasa gundah karena tidak tahu yang terjadi padanya.
Tangisku akhirnya tumpah melihat lengan anakku yang merah kebiruan. Tidak bisa kubayangkan hal apa yang terjadi padanya hingga lebam dan luka itu bersarang di lengan kirinya begitu besar.
Pelan, kulangkahkan kaki menuju dapur, mencari air hangat untuk mengurangi bengkak di tangan Kesha. Namun, saat pintu kamar kubuka semua mata keluarga menatap nanar ke arahku tanpa berkata apa-apa.
“Ada apa dengan mereka?”
Bergegas air hangat kuambil tanpa memedulikan tatapan itu. Kembali mengendap-endap ke dalam kamar agar Kesha-ku tidak terjaga. Kuobati lengan kecil itu dengan mengompres bagian yang terlihat bengkak. Luka yang menganga kini telah kuobati dan ditutup perban. Paling tidak sakitnya berkurang sampai pagi menjelang dan bisa membawa Kesha ke bidan terdekat.
“Seandainya, Ayahmu di sini, Nak. Mungkin ia akan ikut sedih melihat lenganmu seperti ini. Maafkan Ibu yang tidak pandai menjagamu.”
***
“Ayah, sudah transfer uangnya ya, Bu.” Suara suami yang kurindukan terdengar hangat dan membuat hatiku tenang. Sudah hampir enam bulan kami tidak bertemu. Demi mencari sesuap nasi dan susu Kesha kami harus berpisah sementara waktu. Suami pergi ke luar kota sedangkan aku harus tinggal bersama orang tua.
“Alhamdulillah, terima kasih, Ayah,” ucapku berucap syukur.
“Maaf, tidak banyak, hanya cukup untuk membeli susu Kesha beberapa hari ke depan. Doakan semoga Ayah diberikan rezeki lebih banyak lagi ya, Bu.” Kata-kata itu adalah kata terakhir suamiku yang masih terngiang di telingaku hingga kini.
Setelah itu, aku tidak tahu lagi kabarnya. Entah bagaimana keadaannya aku tidak lagi mendengar. Komunikasi kami terputus sejak Kesha dibawa pergi dan mereka tidak pernah kembali.
Sesekali kudengar kabar burung kalau suamiku sehat dan anakku tumbuh menjadi gadis yang pintar.Hal itu tentu membuatku sangat bersyukur. Namun, adakalanya tiba-tiba hati ini membenci pada suami karena ia membawa anak kami. Hal itu kadang membuat diriku “yang lain” merasa sangat marah.
Pernah suatu hari kudapati diriku merusak pintu hingga rusak pegangannya. Detik kemudian aku terdiam, menangis dan menyesali yang kulakukan. Berdoa dan meminta ampun pada Tuhan dan mempertanyakan dalam salatku, mengapa aku seperti ini?
Saat rasa rindu pada Kesha mulai meraja, tidak sekali dua kali kudapati tubuhku terikat di ranjang yang penuh kotoran dan air seni. Bau ruangan itu berhasil membuatku muntah berkali-kali. Kaki dan tanganku diikat di setiap tiang penyangga ranjang besi. Pakaian dan foto-foto Kesha berserakan dimana-mana. Siapa yang melakukan itu? Berkali-kali aku bertanya pada diri sendiri. Namun, tidak pernah mendapatkan jawabannya.
***
“Tin, biarkan dan ikhlaskan Kesha bersama suamimu saja,” ucap Ibu suatu hari.
Rasa kesal memenuhi hatiku tiba-tiba. Aku ibunya, tapi kenapa semua orang selalu berusaha menjauhkan aku dari Kesha? Apa aku tidak boleh memeluk anakku sendiri?
“Cukup, Tin. Ibu mohon, jangan siksa dirimu lagi. Jangan lakukan hal-hal bodoh itu lagi. Cukup anakmu yang jadi korban kemarahanmu setiap kali dirimu yang lain kembali.”
“Apa maksud, Ibu?”
“Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan, Tin. Anakmu baik-baik saja dengan ayahnya.” Ibu bicara tanpa menatapku. Ia terlihat sibuk menyeduh kopi panas untuk Bapak pagi itu.
“Bagaimana bisa begitu? Aku ibunyaKesha. Aku berhak atas anakku, Bu! Dia, lelaki kurang ajar itu, kukira seorang suami yang bertanggung jawab. Tapi apa? Dia membawa kabur anakku! Persetan untuk menjadi istri yang baik untuknya!”
Kulempar gelas kopi yang sedang diseduh Ibu dengan ubi rebus di tanganku. Semua tumpah berserakan. Hening beberapa lama, lalu aku sadar Bapak berteriak marah padaku atas apa yang kulakukan pada Ibu. Seketika, tubuhku bergetar. Kewarasanku kembali, kulihat Ibu merintih menahan panas di tangan kirinya. Bukannya marah, tapi Ibu malah menatap iba padaku. Tatapan itu adalah tatapan yang paling kubenci, tatapan yang selalu kulihat dari semua yang memandangku.
***
“Iya, kemarin tanganku kena air panas, sekarang udah mendingan. Sudah bisa digerakkan seperti biasa.” Suara Ibu membangunkanku. Segera akumendekati suara itu, penasaran dengan siapa Ibu bercerita sepagi ini.
“Ya Allah, Bu. Yang sabar, ya. Semoga Tina diberikan kesembuhan dari Tuhan.”
Aku mengenal suara itu. Salah satu tetangga yang sering datang sekedar bergosip di teras rumah bersama Ibu dan sesekali datang membawakan makanan, lalu menukarnya dengan masakan Ibu.
“Aamiin. Aku sangat bersyukur anaknya Tina diasuh oleh ayahnya. Kasihan Kesha jika bersama Tina, bisa habis cucuku itu nanti. Walaupun jauh, tapi aku lebih tenang kalau Kesha di sana. Paling tidak, ia tumbuh baik tanpa kekerasan oleh ibunya sendiri.” Ibu menatap jauh ke arah jalanan yang ramai menatap lalu lalang kendaraan yang tiada henti. “Kabarnya, Kesha tumbuh jadi gadis yang periang dan sehat. Berbeda saat ia di sini. Setiap hari hanya diberi mie instan oleh Tina, jika kularangKesha akan habis dipukuli.”
Kata-kata Ibu membuatku tercekat. Semua pertanyaan di kepalaku selama ini seakan terurai perlahan. Apa selama ini aku yang membuat anakku menangis? Apakah aku sekejam itu pada gadis kecil kesayanganku?
“Semua itu tidak benar kan, Bu?” tanyaku sambil mendekat pada Ibu.
Ibu terkejut dengan kedatanganku yang tiba-tiba. Saat beliau siap-siap berdiri, sebuah kayu di tanganku mengayun begitu saja dan mengenai kepala Ibu. Emosiku terasa bercampur aduk kala itu. Di tengah-tengah kesadaran kulihat Ibu menangis. Air matanya jatuh bercampur darah yang terus mengalir dari kepala.
Kejadian itu membuatku takut untuk kembali bertemu Ibu. Takut kalau nanti aku lupa dan menyakitinya wanita yang melahirkanku.
Kini, tangan dan kakiku kembali diikat di ranjang ini lagi. Sesekali kesadaranku kembali, aku menangis berteriak meminta maaf pada Ibu. Aku yakin siapa pun di luar sana mendengarku. Tapi, sejak kejadian itu ikatan pada tangan dan kakiku tidak pernah lagi dilepaskan.(*)
Pekanbaru, 23 April 2020
Cahaya Fadillah, Ibu satu anak yang suka menulis sejak kecil.
Komentar Juri:
Kepribadian ganda, biasanya hal seperti ini terjadi sebagai tameng akibat kejadian traumatis terhadap suatu kenangan buruk.
Ada kalanya, penggambaran mengenai gangguan ini akan sulit dimengerti kaum awam. Namun, dalam kisah ini, penulis mampu mendeskripsikannya dengan kisah yang mampu dicerna dengan mudah.
Good Job. 😀
Tantangan Lokit adalah perlonbaan menulis cerpen yang diselenggarakan di grup KCLK.
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata