Caos (Terbaik ke-19 TL15)

Caos (Terbaik ke-19 TL15)

Caos

Oleh: Rahmayanti

Terbaik ke-19 Tantangan Lokit 15 (tema: Karantina)

 

Suara binatang malam tak juga berhasil meninabobokanku yang mendekam seorang diri dalam kamar yang telah aku buat gelap sejak setengah jam lalu. Udara sejuk yang diembuskan dari mesin pengatur suhu ruangan pun tak mampu bekerja sama untuk memaksa kedua kelopak mataku menyerah. Hingga akhirnya aku meraih kembali benda pipih persegi, kemudian menggeser pola yang tersedia untuk mengaktifkannya—setelah aku tekan terlebih dulu tombol kecil di sisi kanan benda tersebut.

Mengungsikan anak dan istri ke rumah pamannya adalah pilihan terakhir dan terbaik, mengingat keadaan keuangan dan sandang pangan kami yang makin menipis. Bahkan boleh dikatakan, nyaris habis. Dampak yang kami, bahkan seluruh manusia di negeri ini rasakan, sangat menyiksa. Sungguh ujian yang luar biasa tragis.

Aku berselancar ke medsos berlogo kamera berwarna jingga. Awalnya hanya sebatas melihat-lihat story kawan-kawan dunia maya, sekaligus melepas rindu dengan memandangi beberapa foto serta video yang ditampilkan istriku di story akun miliknya. Syukurlah mereka bahagia di sana.

Paman istriku sebenarnya bukan orang sembarangan. Kehidupannya serba nyaman. Namun, tak pernah kami dapati mereka hidup berlebihan. Justru selalu menjadi pribadi yang ringan tangan dalam membantu, terutama memberikan derma. Baik berupa barang, hingga uang yang tak dapat terbilang. Sudah pasti tanpa mengharap imbalan.

“Harta ndik dibawa mate, Ray!” ucapnya dengan dialek daerah asal istriku, Kutai.

Demikian pula istri beliau–Tante Listy—hampir setiap pekan berkunjung membawakan bermacam-macam jajanan melimpah untuk anakku. Bahkan kerap mengajak kami sekeluarga makan di luar serta main ke pusat-pusat perbelanjaan. Aku terkadang merasa sungkan, tapi raut wajah kecewanya meruntuhkan pertahananku ketika aku mencoba menolak tiap ajakan beliau.

Ya, setidaknya aku merasa lega karena mereka aman dan nyaman di sana, meski harus mengorbankan harga diri sebagai kepala keluarga. Apalagi kami harus backstreet seperti ini. Ah, mungkin ini alasannya mengapa aku masih terjaga. Merindukan mereka!

Aku mengalihkan fokus dari memperhatikan story istriku, kepada kiriman berita akun-akun lain. Terus menggerakkan jari pada layar gadget, berharap segera berjumpa pada rasa kantuk. Sampai pada sebuah akun yang aku tak pernah merasa mengenal nama yang dipilih untuk profilnya. Akun itu hanya bertuliskan beberapa digit angka dan aku tak pernah merasa menerima permohonan diikuti oleh akun dengan nama seperti itu. Apalagi aku yang mengikutinya. Akun itu juga bukan jenis akun bersponsor.

Tertera rangkaian “177471_A1” yang baru saja membagikan sebuah gambar grafiti. Sebuah bentuk yang menyerupai gunung atau mungkin atap rumah, istilah gampangnya segitiga tanpa alas. Kemudian, di tengah bentuk tersebut ada motif seperti lambang yang biasa dipakai untuk menyatakan “lebih kecil” dalam perbandingan matematika. Dua rangkaian motif tersebut dibungkus dalam lingkaran.

Grafiti yang dibagikan oleh akun tersebut hampir sama dengan lambang-lambang yang sering anak-anak muda zaman sekarang pamerkan. Mata mereka yang dibingkai dengan kedua telapak tangan yang dibetuk seperti segitiga. Bedanya dengan grafiti ini adalah lingkarannya yang membingkai segitiga.

Sebenarnya aku tak terlalu tertarik pada gambar itu, hanya saja kalimat keterangan yang menyertai gambar itu yang menurutku aneh.

“Kill the Rich-satfiftydegrees0”.

Aku mulai penasaran, kemudian aku perhatikan kolom komentar yang menurutku jauh lebih membingungkan. Semua yang memberi komentar memiliki nama akun yang hampir sama, “177471_A47, 177471_A16 ….”

Bahkan komentar mereka pun sama semua.

[177471_A47 : Kill the Rich.]

[177471_A16 : Kill the Rich.]

Aku berpikir, mungkin hanya bentuk keisengan anak-anak remaja yang mulai bosan dengan masa-masa lockdown saat ini. Sudahlah, bukan urusanku. Aku memilih mengabaikannya dan terus berselancar sampai mataku terasa panas dan aku mulai menguap berulang kali.

***

Sabtu sore selepas salat Asar, aku melajukan motor bebek keluaran tahun 2008 yang masih setia menemaniku hingga saat ini. Hari ini aku sudah berjanji pada istriku dan jagoan kecil kami untuk menyusul mereka ke rumah Paman. Menghabiskan akhir pekan bersama, kemudian balik kembali Senin pagi untuk tetap bekerja seperti biasa.

Sejujurnya, aku ingin bergegas pergi menjumpai istriku semenjak mentari menerbitkan cahayanya. Hanya saja jalan satu-satunya menuju rumah Paman ditutup, sebagai upaya lockdown dari pemerintah daerah kami. Oleh sebab itulah aku baru bisa pergi ketika jalan telah dibuka, yaitu pada pukul tiga sore hari.

Teriakan dari pengeras suara di belakangku memaksaku untuk menepikan kendaraan. Penasaran menggelayuti relung kalbu. Aku edarkan pandangan ke sekeliling, di sana mobil-mobil besar satuan petugas melaju kencang melewatiku sambil meneriakkan perintah untuk kembali ke rumah dan mengunci diri rapat-rapat. Ada apa gerangan?

Tak aku hiraukan perintah tersebut, tetap kuarahkan kemudi untuk kembali melaju. Namun, tampak iring-iringan mobil besar lainnya melaju tergesa-gesa. Para satuan polisi pamong praja, brimob, Pasukan Anti Huru-Hara, TNI, bahkan damkar, berada dalam satu iringan tersebut.

Aku mulai panik. Merasa sedikit ragu untuk tetap maju. Namun, hati kecilku mengingatkan bahwa anak dan istriku menanti. Apalagi iring-iringan itu menuju ke arah satu-satunya jalan menuju perumahan tempat tinggal yang ingin kutuju.

Aku memutar otak untuk mencoba mengingat jalan tikus yang mungkin bisa aku tempuh untuk sampai ke sana, tanpa harus bersinggungan dengan musibah apa pun yang tengah terjadi.

Akhirnya aku putuskan mencoba jalan kecil gang-gang warga sekitar perumahan elit, tempat paman istriku tinggal.

Sepanjang perjalanan, samar aku dengar orang-orang berkerumun mengatakan bahwa ada kerusuhan. Bahkan ada salah seorang warga melarangku melalui ujung gang yang sudah dijaga secara mandiri. Aku sempat bersitegang dengan salah seorang warga yang menjaga portal, karena aku tak diizinkan untuk lewat.

Akhirnya aku tetap menerobos, tapi tanpa kendaraan. Kendaraan kutinggalkan dalam keadaan terkunci di depan teras sebuah rumah tak berpenghuni. Aku nekat berlari menembus portal pembatas saat ada beberapa warga lengah.

Berhasil keluar dari gang tersebut, aku sudah berada pada jalanan penghubung menuju perumahan yang kutuju. Aku melihat asap hitam tebal bergulung menuju angkasa. Jantungku berdegup kencang, khawatir desas-desus yang aku dengar tadi benar.

Semakin kencang aku berlari, berharap segera sampai. Hingga aku berpapasan dengan beberapa pemuda yang juga berlarian dari arah berlawanan denganku. Mereka mengenakan pakaian serba hitam, ada yang pakaiannya sudah koyak dan menampilkan tato besar di dadanya. Tato yang tampaknya tidak asing.

Pikiranku terbang pada kejadian beberapa malam lalu saat aku menemukan akun yang membagikan gambar grafiti yang sama persis dengan tato salah seorang pemuda yang berpapasan denganku. Aku menghentikan lariku, kemudian memandangi dari belakang pada mereka yang sudah berlari menjauh.

Kill the rich? Apakah maksudnya adalah …,” bisikku mulai merangkai semua info yang kulihat malam itu.

Aku segera berlari berharap tidak terjadi apa pun pada keluarga istriku. Aku berharap segera sampai. Jika aku tak salah perhitungan, masih sekitar setengah kilometer lagi aku baru bisa sampai ke rumah Tante Listy.

Bayangan hitam bergelut, beradu, bercampur merah darah serta panas dari benda yang terbakar. Ada yang melompat, berlarian tunggang-langgang dikejar petugas-petugas berseragam yang menuju ke arahku.

Aku ikut panik, sehingga memutar arah berlari sambil memindai sekeliling, mencari tempat untuk bersembunyi sementara waktu. Setidaknya untuk menyusun langkah agar selamat sampai ke tujuanku tanpa bersinggungan dengan kerusuhan yang terjadi.

Persis di seberang jalan, aku melihat sebuah pos keamanan untuk jaga malam. Aku putuskan untuk bersembunyi di dalam sana sekaligus mencoba menghubungi istriku untuk memastikan keamanan mereka semua.

Tinggal beberapa langkah menuju pos tersebut, aku merasakan betis sebelah kiriku panas menyengat, seolah terbakar dan sangat perih. Aku tersungkur karena tak kuasa menahan rasa sakitnya. Aku turunkan masker yang kukenakan untuk mengumpulkan udara sebanyak-banyaknya. Berharap itu mampu menguatkanku mengurangi rasa sakit, sekaligus menata detak jantungku yang seolah ingin melompat keluar.

Kulihat ada beberapa petugas mengenakan seragam TNI menuju ke arahku, aku segera melambaikan tangan memohon pertolongan. Belum sempat mereka menggapaiku, pandanganku berubah gelap.

***

“Abang, dah bangun?” ucap suara yang sangat aku kenal.

“Suster, tolong suami saya sudah sadar!” Dia berlari ke luar ruangan, kemudian kembali ke arahku.

“Aku di mana, Dek?” tanyaku pada wanita berhijab biru langit yang kini tengah menggenggam tanganku.

“Abang di rumah sakit. Abang kena peluru nyasar kemarin sore,” jelasnya sambil melerai air mata yang mulai luruh dari kedua mata indahnya.

“Apa yang sebenarnya terjadi?” tanyaku lagi.

Berat rasanya untuk merangkai kejadian yang menyebabkanku terbaring di sini. Aku tak mengerti mengapa harus mengalami hal semacam ini.

***

Hampir sepekan aku dirawat di rumah sakit pasca kejadian peluru nyasar saat kerusuhan terjadi. Para pemuda-pemuda yang mengatakan diri mereka sebagai Robinhood Millennial telah ditaklukkan.

Mereka tersulut amarah atas tindakan penimbunan semua kebutuhan primer oleh orang-orang kaya dan tuduhan rakyat kecil sebagai penyebar virus. Kesusahan atas keadaan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, menyebabkan tertutupnya akal sehat.

Seorang perawat laki-laki mengenakan masker, membantuku mengganti perban luka sebelum aku pulang. Kami hanya berdua, karena istriku sedang mengurus administrasi dengan pihak rumah sakit.

“Luka di betis Bapak ini cukup diberikan perawatan mandiri saja. Harap diingat seperti apa cara membersihkan dan mengobatinya, ya, Pak?” jelasnya sambil terus menekuni lukaku.

“Biasanya, empat sampai lima hari ke depan, luka sudah mulai kering. Tak perlu menggunakan perban terlalu banyak. Cukup tempel plester plastik saja, ya, Pak?” imbuhnya.

“Baik, Mas!” jawabku.

“Selama tidak ada hal yang mengkhawatirkan, kami anjurkan untuk tidak ke mana-mana. Tetap di rumah, tak perlu kembali ke rumah sakit. Telepon saja terlebih dahulu untuk konsultasi.” Dia berdiri tegak dan menghadap ke arahku.

“Siap, Komandan!” Aku berdiri berlagak seperti prajurit yang mendapatkan tugas dari atasannya.

Aku terlalu bersemangat hingga membuat tubuhku terhuyung ke depan. Bersyukur perawat itu sigap dan menangkap tubuhku. Tampaknya aku mencengkeram kerah seragamnya terlalu kuat, hingga melepaskan dua kancing kemejanya sekaligus.

“Waduh, maaf, ya, Mas!” ucapku merasa tak nyaman.

“Nyantai aja, Pak. Asal lain kali hati-hati.” Dia mendudukkanku perlahan ke atas kasur. Kemudian dia membenarkan kemejanya yang terbuka bagian depan. Tanpa sengaja aku melihat dari balik kaus dalamnya yang agak tipis: sebuah tato di dada.

“Perawat nda papa, ya, punya tato?” tanyaku santai.

“Oh, ini nda permanen, Pak,” jawabnya canggung.

“Motifnya kayak tato orang-orang yang bikin kerusuhan sepekan lalu itu. Emang lagi tren, ya?” tanyaku asal.

Dia memandang lurus ke arahku. (*)

 

Balikpapan, 17 April 2020

 

Seorang ibu rumah tangga yang senang mengisi waktu dengan menulis. Berusaha menyalurkan energi negatif di saat penat mengurusi lima orang anak yang masih kecil-kecil menjadi energi positif ke dalam karya tulis. Semoga mampu membagi manfaat kepada pembaca sekaligus mengingatkan diri sendiri. Penulis dapat disapa melalui akun Facebook Ray Eurus.

 

Tantangan Lokit adalah perlonbaan menulis cerpen yang diselenggarakan di grup KCLK.

Grup FB KCLK

Halaman FB Kami

Pengurus dan kontributor

Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply