Keluar Kandang
Oleh: Dyah Diputri
Terbaik ke-20 Tantangan Lokit 15 (tema: Karantina)
Aku baru saja keluar dari ruang BP, saat pria dengan setelan jas abu dan dasi bergaris biru-hitam itu tengah menjawil dagu seorang siswi. Seringai di ujung bibirnya dilengkapi tatapan ingin menyergap mangsa. Tak tahu malu, bahkan dia melakukan hal menjijikkan itu kepada anak didik di sekolah yang dikepalainya, tepat di ambang pintu ruangan kerjanya.
Si gadis bernama Malinda itu siswi paling populer di sekolah. Dia ramah dan terkadang genit kepada beberapa murid laki-laki. Aku juga pernah mendapat tawaran untuk nongkrong di kafe suatu kali. Kutolak mentah-mentah, dengan alasan karena memang tidak tertarik dengannya. Namun, bukan berarti aku bisa diam melihatnya dilecehkan pria hidung belang yang kini lebih berani mencolek-colek lengan Malinda.
Kepala sekolah tidak tahu jika aku masih berdiri menyamping di tembok samping ruangannya. Situasi sekitar memang cukup sepi, beberapa pegawai tata usaha sedang asyik menatap layar laptop di ruangan masing-masing. Kegiatan belajar mengajar berlangsung di tiap kelas. Hanya aku yang kebetulan mendapat ceramah guru BP pagi ini sebab melakukan kericuhan saat upacara bendera tadi pagi. Sialnya, aku harus berhenti di sini untuk menyaksikan hal yang tidak pantas—menurutku—dengan mata kepala sendiri.
Tangan kedua manusia itu tiba-tiba saling menggenggam, lantas dengan sekali anggukan Malinda, pintu ruangan tertutup pelan-pelan. Bedebah!
Sontak kepalaku seperti terbakar, dada bergemuruh! Aku bagaikan seekor banteng yang lepas dari kandang dan melihat sebentang kain merah di hadapan. Tak butuh waktu lama untuk berpikir, aku melesat menuju ruangan itu. Satu dobrakan dengan tubuh cungkring tidak membuahkan hasil. Sialan memang! Terpaksa, kugedor kuat-kuat pintu itu.
“Buka pintunya, woy! Dasar mesum, keluar! Keluar!” Teriakanku menimbulkan kegaduhan.
Beberapa pegawai tata usaha keluar dari ruangannya dan menghampiriku. Tepat saat itu pula, kepala sekolah berengsek itu membukakan pintu. Debar jantungku tidak menentu, tapi aku tak peduli. Satu toyoran mendarat cepat di wajah pria mesum itu. Lalu, seperti tak habis-habis emosiku terkuras, satu tinju lagi melayang ke dagunya.
“Berhenti, Alvin! Apa-apaan kamu ini!” Beberapa orang mengunci tanganku. Padahal aku masih ingin menghajar orang itu.
“Dia berbuat mesum, Pak. Kepala sekolah model apa itu!?” Aku menggeram.
Pria kurang aja itu mengusap-usap pipi bekas pukulanku tadi. Lalu, dengan sok alimnya dia berkata, “Jangan asal tuduh kamu, Alvin. Siswi ini datang kemari karena ingin melapor, ada kesulitan dalam kegiatan belajarnya.”
Alasan! Manusia licik selalu menyiapkan alasan! Dan pada akhirnya, dengan mudah mereka melayangkan hukuman kepada si pahlawan kesiangan.
Jadi, di sinilah aku saat ini. Selama seminggu ke depan aku harus dirumahkan karena tuduhan penyerangan terhadap guru. Tidak adil! Orang mengadili hanya melihat dari satu sisi pihak yang kuat tanpa memandang bukti yang tersamar di balik jabatan.
Aku bukannya bersedih karena tak bisa sekolah … tapi benci harus selalu berada di rumah. Biasanya aku menghabiskan waktu di sekolah dan selebihnya nongkrong di rumah teman, lalu pulang saat lampu rumah hampir dipadamkan.
Ya, aku benci ada di rumah ini. Aku tidak suka melihat isi rumah ini. Aku muak melihat wajah-wajah penghuni rumah ini. Itu semua karena dia. Seorang wanita yang terduduk lemah di kursi roda, yang sering menatap ke arah jendela pada setiap pagi. Di wajahnya, hampir-hampir aku tidak lagi melihat ada air mata. Namun, tatapan matanya yang nanar saat menatap sebuah bingkai foto, mengisyaratkat kepedihan. Seorang wanita yang membuatku paham akan arti setia, sekaligus membenci caranya mengagungkan kesetiaan.
Baru hari pertama berdiam di rumah, aku mulai bosan. Sayangnya, di jam-jam sekolah, teman-temanku tidak ada yang mau meladeni ajakanku untuk kongko. Mereka bilang, guru BP datang ke tiap kelas dan menasihati agar tidak sampai mencontoh perilaku burukku. Ancaman dipecat dari sekolah membuat mereka seakan-akan takut berkumpul denganku lagi. Dasar pria berdasi pembuat sial!
“Mas Alvin, Ibu minta sarapan bareng. Ditunggu di meja makan.” Suara perawat pengasuh Ibu dari luar kamar cukup mengganggu tidurku.
Aku mendesah, tapi hanya sebentar. Dengan malas-malasan, aku turun dari ranjang dan menjawab panggilan perawat itu. Beberapa menit kemudian, aku bergabung di meja makan, duduk di kursi sebelah kursi roda Ibu.
Dia mengunyah pelan-pelan nasi tim dengan potongan daging kecil-kecil yang disuapkan perawat. Mengunyah sangat lama untuk satu suapan saja, membuatku bosan menatapnya. Tak bisakah dia melawan penyakit stroke yang dideritanya dengan lebih bersemangat?
“Keadilan itu akan datang, Vin. Tidak perlu kamu perjuangkan.” Lirih, suara Ibu menyentuh dinding pendengaran saat aku hendak menelan sesendok nasi pertama.
Rasanya tenggorokanku seret seketika. Sendok di tanganku terlepas, membuatku batal memasukkan suapan kedua. “Jadi, apa yang Ibu dapat dari menunggu keadilan? Ibu cuma semakin terkurung dan tak mampu bergerak, kan?” ejekku.
“Itu hanya masalah waktu, Nak.”
“Waktu untuk apa, Bu? Waktu untuk menunggu kematian sendiri atau waktu untuk menangisi ketidakberdayaan?” Kudenting-dentingkan sendok di piring sembari mengisi detik yang dijeda Ibu dengan kebisuan atas pertanyaanku.
Kalau detik ini Ibu merasa bersalah, aku sangat senang sekali, sebab sudah seharusnya dia merasa bersalah. Awal hilangnya kebahagiaan rumah ini memang berasal darinya. Setahun setelah kepergian Ayah, Ibu menikah lagi. Pilihannya jatuh pada pria yang salah. Dia memboyong pria itu kemari, mengenalkannya sebagai sosok ayah yang baru bagiku dan Nanie—adik perempuanku yang baru menginjak remaja. Tapi pria itu bajingan! Tidak pantas disebut sebagai ayah! Dia tidak punya hati melampiaskan kebejatan berahi pada adik manisku tanpa ada yang tahu. Tahu-tahu … Nanie kecil itu tergeletak di kamar mandi dengan bersimbah darah. Sebilah pisau memutus urat nadinya.
Ibu bukannya buta, dia membaca sendiri secarik surat yang ditinggalkan putrinya di antara kisi-kisi buku harian. Namun, dia memilih terkungkung dalam depresi dan berakhir di kursi roda sebelum melaporkan tindakan bapak tiriku ke kantor polisi. Bapak tiriku pun berlagak seakan-akan dia hanya telah mencicipi masakan yang terhidang di meja makan. Dengan alasan akan menghentikan pengobatan Ibu, dia mengancamku untuk diam.
Entah, kami itu lemah atau bagaimana! Yang jelas, trauma kehilangan Nanie sangat berpengaruh terhadap kehidupanku. Aku benci melihat ranjang yang mengantarkan bayangan pada kejadian memilukan Nanie, aku benci melihat diamnya Ibu yang mengingatkan aku pada derita yang ditanggung sendiri oleh Nanie, dan aku benci pria berdasi sialan itu saat dia sering menggoda siswi-siswi di sekolah.
“Kenapa Ibu harus tidak menjawab? Tidak cukupkah selama ini Ibu diam dan bersembunyi di dalam rumah ini?”
Ibu masih diam. Satu suapan terakhir dari perawat itu berhasil ditelannya. Setelah itu, air putih dan obat-obat yang sudah disiapkan tergelontor masuk ke kerongkongannya. Tidak ada lagi jawaban untukku. Diamnya Ibu membuatku sangat muak!
***
Hari kedua dan ketiga berdiam di rumah, rutinitas membosankan kembali terulang. Waktuku lebih banyak habis di dalam kamar, tak sudi keluar saat bapak tiri masih berseliweran di dalam rumah. Sesekali Ibu memintaku menemaninya makan siang, tapi hubungan kami menjadi semakin dingin sejak percakapan waktu itu. Sama sekali tidak ada yang bisa dibahas di antara kesenyapan kami.
Hari keempat, kudengar gelak tawa bapak tiriku dari arah taman luar kamarku. Dari balik tirai yang kusibak sedikit, kulihat dia memegang dan memandang layar ponsel dengan wajah penuh nafsu. Dari kata-kata yang keluar dari mulut najisnya, kusimpulkan dia merangkai kalimat mesra kepada seseorang yang sedang video call dengannya. Sialan! Bedebah! Otak mesum! Perangainya tidak berubah, kali ini siapa lagi korbannya?
Semalaman, aku tidak bisa tidur karena ingatan akan tawa bapak tiriku yang menggelegak sore tadi. Tiba-tiba, bayangan bapak kepala sekolah yang menggerayangi badan Malinda juga terlintas. Pikiranku kacau. Emosiku seolah-olah sedang bertarung dengan kesabaranku sendiri. Tenang … tenang! Aku mencoba berpikir positif dan mengenyahkan carut-marut di otakku, tapi memang sangat sulit rasanya.
Hari kelima, otakku bukannya menjernih, malahan semakin keruh. Sengaja aku bangun lebih awal untuk menatap tajam bapak tiriku di meja makan, agar dia tahu betapa aku sangat muak terhadapnya. Aku juga sudah mandi dan beres mengenakan sepatu. Entah kenapa, firasatku tajam mengatakan bahwa hari ini bapak tiriku tidak pergi bekerja, melainkan akan kencan di motel dengan mangsa sewaannya. Tidak akan kubiarkan dia terus-terusan berbuat semaunya. Dia harus tahu batasan pengampunan!
Dia pergi meninggalkan meja makan lalu menuju garasi. Gegas, aku pun berdiri dan bersiap menyusul pria itu. Namun, Ibu keburu mencekal tanganku.
“Mbak Arum sudah tidak merawat Ibu lagi, Vin. Ibu minta tolong, jangan pergi! Temani Ibu di rumah.” Ibu menyebut nama perawatnya.
Sialan! Lagi-lagi Ibu mencegahku untuk memberi pelajaran kepada pria itu. Kenapa juga perawat itu tiba-tiba mengundurkan diri? Aku hanya bisa menelan air liur saat deru mesin mobil semakin terdengar samar di telinga.
Hari keenam, pria itu tidak pulang ke rumah. Rasanya aku ingin mencari dan membunuh pria itu di tempatnya. Sampai tengah malam, yang bisa kulihat hanya tubuh yang terduduk di kursi roda sambil memandangi sebingkai foto. Nanie, oh Nanie! Nanie kami yang malang. Amarahku semakin memuncak di ubun-ubun. Lihat saja nanti, akan kuhajar pria berengsek itu kalau sudah pulang, batinku.
Namun, lagi-lagi Ibu melerai kepalan jemariku. Suatu hal yang selama ini tidak pernah kuketahui, kini kurasakan dengan jelas. Ibu menangis, tersedu, dan memanggil-manggil nama Nanie berkali-kali. Air matanya deras mengalir, membuatku sadar betapa sesungguhnya dia amat sangat dilemahkan penyesalan. Apa aku senang? Tidak. Justru aku merasa pedih dan iba padanya.
Keesokan harinya, seisi rumah hanya berisi kesunyian. Tidak kutemui adanya Ibu di seluruh sudut rumah. Aku panik bukan kepalang. Bagaimana dia bisa keluar rumah sendiri dengan kursi roda, sementara ada sepuluh anak tangga di teras, sebelum sampai di depan pagar?
“Ibu … Ibu ke mana? Ibu!”
Teriakanku sia-sia saja. Tak ada sahutan darinya. Lebih-lebih, aku dibuat gemetar saat tahu kursi roda Ibu teronggok tanpa penghuni di dekat meja makan. Kaki gemetar, tubuhku gemetar! Ibu … pergi tanpa kursi roda?
Sampai siang hari, Ibu tak kunjung kembali. Sampai malam, aku tetap menanti. Aku tak tahu harus ke mana mencari Ibu, karena hampir dua tahun dia selalu ada di rumah, tidak mengenal teman maupun sejawat. Bahkan, dia tidak pergi ke rumah sakit, melainkan dokter yang datang ke rumah untuk melalukan pemeriksaan rutin.
Aku terduduk lemah di ruang tengah. Antara bosan, bingung, dan cemas menyatu dalam benak. Iseng, kupencet tombol on pada remote televisi. Siaran berita tengah malam langsung menjadi sorotan mataku. Aku mendengar dengan saksama, dengan begitu perhatian.
Di siaran itu diberitakan, telah diketemukan mayat korban pembunuhan di sebuah motel di Jalan Sigura dengan motif perampokan oleh wanita simpanan. Korban adalah seorang pria dengan setelan jas abu serta dasi bergaris biru-hitam, mendapat belasan luka tusuk di sekujur tubuhnya.
Mataku membeliak, peluh keluar dari pori-pori kulit. Seketika tubuhku menjadi gerah dan … detak jantungku berdetak tak beraturan. Korban itu adalah bapak kepala sekolah!
“Ibu sudah lakukan apa yang mau kamu lakukan, Vin. Ibu telah berhasil lepas dari karantina yang kubuat sendiri. Kamu benar, terkadang kita harus mencari keadilan.”
Ibu berdiri di arah angka jam tiga. Dia berdiri tegak, lalu berjalan ke arahku. Di tangannya, sebilah pisau dengan noda merah yang mulai mengering. Ibuku habis keluar kandang! (*)
Malang, 24 April 2020
Dyah Diputri. Pecinta diksi yang tak sempurna.
Komentar Juri:
Tidak ada twist ending yang tidak memiliki alasan atau clue. Sebuah cerita hakikatnya adalah cetak biru yang dibuat secara cermat dan akurat oleh penulis guna memandu pembaca dalam menerima akhir cerita. Pun, dalam naskah kali ini. Pembaca akan dipertemukan dengan berbagai kejadian, berbagai rambu tentang Alvin, ibunya yang berada di kursi roda, serta bapak tirinya yang mata keranjang; sebuah konflik keluarga sekaligus ketidakberdayaan sang Ibu dalam menghadapi sikap suaminya, sebelum akhirnya sampai pada akhir cerita—yang tentunya dapat diterima secara logis oleh pembaca: ibu Alvin yang keluar kandang!
-Devin Elysia Dhywinanda
Tantangan Lokit adalah perlonbaan menulis cerpen yang diselenggarakan di grup KCLK.