Tak Ada yang Tak Adil
Oleh : Aisyahir
Aku bukanlah gadis yang berasal dari keluarga paling sempurna di dunia, menurutku. Tapi entahlah, apakah setelah membaca tentangku kalian akan beranggapan sama atau tidak, itu tergantung persepsi masing-masing.
***
Bagiku, Bunda bukan orang yang adil, Ayah apalagi. Mereka hanya sayang pada adikku saja, padahal, jelas-jelas akulah yang lahir lebih dulu ketimbang Dino, tapi kenapa malah Dino yang lebih disayang? Apa karena Dino laki-laki yang memang sangat diinginkan sejak dulu? Hingga aku yang perempuan tak lagi diinginkan, diperhatikan, juga dibutuhkan? Kenapa? Bisakah Ayah dan Bunda menjawabnya? Aku juga butuh penjelasan, butuh kasih sayang, perhatian, juga dipuji-puji di depan keluarga. Aku ingin, tapi kenapa kalian tak bisa melakukannya sekali saja, atau mungkin karena memang tak ingin? Jawablah!
“Kamu itu sudah besar, sedang adikmu masih kecil, jadi, kamu harus selalu mengalah dan tidak boleh cemburu jika kami lebih perhatian padanya.”
Aku sudah besar dan tidak boleh cemburu? Aih, alasan macam apa itu? Memangnya orang besar tidak boleh dapat perhatian dan kasih sayang lagi? İngin sekali rasanya aku menyuarakan ini pada mereka, sayangnya tak bisa, aku tak bisa melakukannya, aku tak bisa membuat Bunda ataupun Ayah sedih.
Hingga hari-hari kulalui begitu saja. Tanpa perhatian juga keadilan.
Namaku Nina, adikku bernama Dino, ayahku bernama Doni, dan bundaku bernama Naina. Kami satu keluarga dengan nama yang hampir mirip, bahkan kadang tertukar-tukar.
Sewaktu Dino belum lahir, aku adalah segalanya bagi mereka, aku yang menjadi pusat perhatian, mainanku melimpah ruah, kasih sayang mereka tak kalah limpahannya, kulitku lecet sedikit saja Ayah dan Bunda pasti tak akan bisa tidur semalaman menjagaku, menyuapiku, mengendongku ke kamar mandi, membantuku minum obat, dan membacakanku dongeng sebelum tidur, padahal hanya jari telunjukku yang teriris pisau saat membantu Bunda. Aku bagaikan malaikat kecil mereka yang begitu dimanja, dinomersatukan, dan dipuja-puja. Dan aku suka hal itu. Mungkin setelah punya adik nanti, keluarga kami bakal lebih lengkap lagi dan akan menjadi keluarga yang paling bahagia di bumi.
Namun, setelah Dino lahir, hidupku berubah. Dino sendiri adalah anak yang paling dinanti-nanti kehadirannya dalam keluarga kami, setelah sepuluh tahun usai melahirkanku, Dino lahir dari rahim yang sama. Awalnya aku bahagia, tidak apa-apa jika nanti aku main mobil-mobilan dengan Dino, pastilah seru setelah mempunyai adik.
Namun harapanku sirna saat Ayah dan Bunda berubah. Mereka seakan menjauhkan Dino dariku, dari kakaknya sendiri. Aku tak lagi dimanja, aku tak lagi diperhatikan, aku demam pun hanya diberi obat bertablet-tablet agar bisa cepat sembuh, tak ada lagi gendongan, bantuan, dan dongengan sebelum tidur. Aku benci! Mungkin jika Dino tidak pernah lahir saja, hidupku tak akan semenderita ini. Ah, andai saja.
Hinggal lama kelamaan suasana rumah semakin berubah. Kamarku diambil alih oleh Dino, semua hiasannya diganti dari berbie-berbian jadi mobil-mobilan. Karena semua orang pun tahu betapa rewelnya anak itu.
“Dino itu anak laki-laki, butuh ruang yang lebih besar. Dia juga suka sama kamarmu, jadi mengalah saja,” kata Bunda waktu itu. Lagi-lagi aku ingin menyuarakan kekesalanku, tapi tak bisa. Aku terlalu takut.
Hingga pada akhirnya kamar itu jatuh ke tangan Dino, sedang aku tinggal di kamar yang lebih kecil. Aku merasa keadilan semakin hilang dan kasih sayang mereka semakin padam.
Pernah suatu waktu, aku sangat ingin bermain dengan Dino, dia juga setuju, tapi, di tengah permainan, Dino jatuh dan lututnya terluka. Sepanjang hari aku jadi pusat kemarahan Ayah dan Bunda, mereka sangat tak ingin mendengar penjelasanku. Bukan hanya kali ini, tapi berkali-kali Ayah dan Bunda menjadikanku tokoh antagonis di setiap kali Dino terluka, walau sebenarnya aku tak terlibat sama sekali.
“Kamu itu kakaknya, seharusnya bisa menjaga adikmu dengan baik. Lihat sekarang, lututnya jadi lecet begini, kamu kira ini tidak bahaya?!”
“Dia saja yang terlalu manja. Cuma lecet segitu juga.”
“Kamu ini, ya. Di mana etika kamu sekarang? Saat orangtua bicara jangan malah dibantah. Lihatlah adikmu, dia sangat kesakitan.”
“Dia bukan adikku! Kalian jahat, semuanya jahat, tidak ada yang sayang pada Nina!”
“Nina! Ayah belum selesai bicara, ayo kembali!”
“Tidak mau!”
Hari itu aku pergi, pergi meninggalkan rumah. Aku sudah terlalu muak dengan ketidakadilan yang ada. Apakah aku harus jadi laki-laki dulu baru dianggap sama? Kenapa selalu aku yang salah, apakah seorang kakak memang selalu salah? Jawablah, tolong jawab! Kenapa aku harus dibedakan seperti ini, aku tak rela.
Hingga di hari ketiga setelah pergi dari rumah, Ayah datang menjemputku di sekolah dan mengajakku pulang. Sebab tak bisa menolak di depan kepala sekolah, aku tunduk saja dan ikut pulang kembali ke rumah tanpa keadilan itu.
Saat datang Dino langsung menyambutku, dia berlari sambil membawa mobil-mobilannya. Aku menepisnya saat Dino langsung memeluk erat pinggangku. Bagaimana aku bisa lupa perkara tiga hari yang lalu? Sebab anak inilah aku jadi melarikan diri.
“Kakak jangan pergi lagi, Dino nggak punya temen di rumah,” katanya.
“Pergilah, aku capek. Dan jangan deketin aku lagi, aku muak jika selalu dijadikan penjahat utama di setiap kali kamu terluka!” Aku melangkah pergi, sedang Dino langsung berlari mengejarku, menaiki anak tangga yang memutar hingga lantai atas.
“Tapi Dino mau main sama Kakak, Dino janji nggak bakalan nakal. Nino cuma mau main sebentar, Kak.”
“Pergilah, Dino. Main saja sama Bunda, aku mau istirahat, paham tidak?!”
“Bunda lagi sakit, Kak. Ayah juga. Temenin Dino, ya?” Dino kembali meminta, tapi aku tak menanggapi, alasannya masih sama: aku tak ingin dicap sebagai penjahat lagi. Hingga pada akhirnya aku harus berbalik juga, ketika kudengar suara seperti sesuatu telah terjatuh dari arah tangga.
Aku membulatkan mata, mulutku kaku untuk berucap, di bawah sana, sudah ada adikku yang terbaring dengan kepala yang bersimpah darah.
“Dino!” Aku berteriak sekencang mungkin lalu berlari ke arahnya. Berharap aku masih bisa menyelamatkan adik yang sama sekali tak pernah kuanggap itu.
Namun sayang, harapanmu sirna, saat matanya tak lagi bisa terbuka, denyut jantung yang perlahan melemah, aku terisak, dadaku sesak. Seketika itu juga Ayah dan Bunda datang. Tanpa sempat menuduhku penjahat terkejam, mereka telah membawa Dino pergi. Menyisakan aku, mainan Dino, juga genangan darah yang berasal dari kepala mungilnya. Oh Dinoku. İnikah jawaban Tuhan untukku?
Beberapa hari Dino dirawat di rumah sakit dengan kemungkinan hidup yang sedikit. Sebenarnya aku ingin tertawa bahagia, dengan begini aku tak akan lagi melihat ketidakadilan, saat Dino dibelikan begitu banyak makanan sedang aku hanya diberi beberapa. Tapi, jauh dari lubuk hatiku yang paling dalam, sebagai seorang kakak, tentu aku pun tak rela melihat adikku terbaring lemah di dalam sana. Akankah dia masih bisa hidup? Walau dulu aku sangat ingin melihatnya mati agar aku disayang kembali, rasanya sekarang aku ingin menarik doaku itu. Dino tidak salah, tapi pantaskah aku menyalahkan Ayah dan Bunda? Aaah, aku bingung!
“Maafkan sikap Ayah dan Bunda, Nak.” Aku menoleh, itu suara Ayah yang datang menyapa. Aku tertunduk, masih setia duduk di kursi tunggu.
“Kami bukannya bersikap tidak adil. Kami sudah berusaha seadil mungkin, tapi kamu tak bisa mengerti, kamu selalu merasa dinomerduakan. Bagaimana kami bisa menjelaskannya, Nak? Kalian berdua anak kami, tak ada istilah anak lelaki dan perempuan, itu sama saja. Hanya saja, adikmu masih terlalu kecil, sama seperti kamu di usia yang sama, kami juga berusaha memberikan kasih sayang berlebih, agar adikmu bisa tumbuh dipenuhi cinta. Tapi ternyata sikap kami malah membuatmu tak nyaman, lagi-lagi merasakan kecemburuan. Padahal tujuan kami untuk tidak memperlakukanmu seperti dulu itu hanya satu: agar kamu tidak tumbuh menjadi anak yang manja, kamu harus mandiri, tidak boleh selalu bergantung pada orangtua. Sebab setelah kami tiada, di saat kamu masih mengandalkan kami, apakah kamu masih sanggup untuk hidup? Tak ada jaminan untuk itu, makanya kami mempersiapkanmu untuk menunggu datangnya hari itu. Maafkan kami yang mungkin salah persepsi dan tindakan.”
Saat itu aku seketika terisak, aku merasa begitu bersalah. Api cemburu menutupi segalanya. Kebaikan orangtuaku pun tak bisa kudapatkan poin pentingnya.
“Maaf.”
“Jadilah gadis yang kuat. Buat kami bangga.”
Aku langsung berhambur ke pelukan ayah. Tak lama Bunda datang, dia menatapku dengan mata berkaca-kaca, aku memeluknya sebelum butiran kristal itu terjatuh, dan mengucapkan maaf berkali-kali.
Hari itu aku mulai paham. Sebenarnya tak ada kata adil dan tidaknya dalam bersaudara, semuanya sama saja, dan semua ini tergantung bagaimana kita menanggapi. Maaf sekali lagi kuhaturkan untuk Ayah dan Bunda yang tak lagi bisa bersamaku saat ini. Kalian adalah orangtua yang hebat, terima kasih telah mengajarkanku banyak hal secara tidak langsung, juga cara hidup mandiri. Terima kasih. Sesaat aku jadi teringat percakapan saat Dinoku sudah dalam tahap penyembuhan. Dia berkata, “Ayah dan Bunda itu sayang banget sama Kak Nina. Ayah beli cemilan sebenarnya cuma untuk Kak Nina, Dino mah alergi makan begituan, tapi Ayah tak mau Kak Nina jadi orang boros, makanya pake nama Dino. Bunda juga, saat Kak Nina sakit, Bunda hanya memberi Kak Nina obat, supaya Kak Nina bisa belajar mengobati diri sendiri, walau saat itu Bunda tak pernah tidur semalaman karena mengkhawatirkan Kakak. Dan, saat Kak Nina pergi, itu adalah hari paling sedih yang dialami Ayah dan Bunda, mereka tak mau makan dan minum, Bunda bahkan sempat sakit karena menangis terus, dan Ayah sampai tak bisa fokus bekerja karena mikirin Kakak. Untunglah Kakak mau pulang, dan keluarga kita bisa utuh kembali.”
“Hanya untuk beberapa saat.”
Makassar, 29 April 2020.
Aisyahir, gadis kelahiran 2001 yang gemar mengkhayal dan menulis. Hari-harinya diisi dengan bekerja sepanjang hari dan berkarya dimalam hari. Jika ingin menemukannya, silakan buka akun: Aisyahir_25.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata