Negeri Para Cecunguk
Oleh : Krismanto Atamou
Terbaik ke-22 Tantangan Lokit 15 (tema: Karantina)
Senja semakin tua, ketika mobil berisi setas uang itu kuhidupkan di garasi rumah tua yang di depannya terdapat papan bertuliskan “YAYASAN KEMANUSIAAN”. Beberapa anak gelandangan tertampung di rumah ini. Mereka digaji, meski tak seberapa. Paling tidak, kata “gaji” itu sudah menaikkan harga diri mereka jika dibanding duit hasil copet atau upah ngamen. Mencuri dan mengamen sudah susah dilakukan di kota dengan sejuta CCTV ini.
Setelah mobil panas, aku segera berangkat. Waktuku terbatas. Aku harus cepat. Sang oknum petinggi penegak hukum akan lewat di perempatan dengan lampu merah terlama karena sibuknya kota. Bukan hanya dalam perang saja, perhitungan waktu yang tepat, sangat dibutuhkan dalam duniaku. Itu peraturan nomor satu.
Dalam sepersekian detik, senja akan ditelan malam. Waktu inilah, segala peralihan kehidupan segera dimulai dan diakhiri. Ada pergantian aktivitas siang ke malam. Pun hewan nokturnal akan menggantikan hewan diurnal yang segera beristirahat. Tidak hanya satpam, penjual kaki lima, sopir, pencopet, polisi, tentara, guru, dan dosen, serta presiden pun bergilir untuk siang dan malam.
Di negeri ini, ada presiden siang untuk menguasai kebaikan. Ada presiden malam untuk menguasai segala jenis kejahatan yang tidak biasa. Kejahatan yang tidak melawan hukum, atau paling tidak, kejahatan yang tidak bisa tersentuh hukum. Presiden malam sangat ahli dalam bidang hukum, politik, dan bisnis.
Hukum dimainkan demi politik. Politik dimainkan demi hukum yang bisa dimainkan. Politik dan hukum dimainkan demi bisnis. Bisnis dimainkan demi hukum dan politik. Pusing, bukan? Meskipun begitu, presiden malam tak pernah pusing memainkan berbagai permainannya itu.
Seandainya dibuat irisan pada bisnis, politik, dan hukum, maka ada sang presiden malam di dalamnya. Ia berkuasa di sana. Ia ahli dalam membuat kekacauan yang teratur, atau sebaliknya, membuat keteraturan menjadi kacau balau.
Begitulah permainannya hingga membawaku ke atas mobil tua produksi Jerman yang dilarang beredar di negeri ini. Alasannya karena mobil ini memiliki daya pacu kecepatan melebihi standar lokal. Namun, bukankah mengoleksi barang antik adalah hobi para borjuis? Meski dengan cara tak resmi, yang penting prestise-nya terjaga dan ia terkenal di antara para pengenalnya.
Aku cecunguk sialan yang ditunjuk menjadi ketua yayasan.
Katanya, “Kau akan menjadi pejabat penting jika menjadi ketua yayasan kemanusiaan. Kau akan diundang ke acara talkshow ternama sebagai pejuang kemanusiaan. Kau adalah pahlawan yang mengubah nasib anak jalanan ini menjadi orang-orang bergajian.”
Ya, gaji karena telah menjaga marwah sang ketua yayasan, terutama sang pemilik yayasan sebagai penerima manfaat terbesarnya. Namanya pasti akan dikenang sebagai pahlawan kemanusiaan. Ia pahlawan bagi sebagian anak jalanan.
“Cepat buka gerbangnya!” seruku. Para anak jalanan itu telah berubah menjadi cecunguk di bawah kekuasaanku.
Belum semenit, mobilku, eh, mobil si tua parlente itu, sudah berada di jalan raya. Kembali aku menginjak pedal gas sekuat-kuatnya.
Aku tak takut ditilang polisi lalu lintas sebab mereka sudah bosan menilangku. Aku malas berdebat panjang lebar jika ditilang. Bagiku, berdebat dengan anak buah Mayor Agus—kongsiku itu—hanya akan mencari sensasi dan mengejar ke-viral-an di media sosial. Kecuali aku ingin menjadi YouTuber yang terkadang jadi kaya dari duit halal, tetapi dengan cara yang haram.
Kalau saja aku ditilang polisi—mungkin oleh yang baru bertugas, aku akan dengan santainya melenggang pergi. Tak sampai sejam, polisi itu pasti akan datang mengantarkan mobil.
Sambil tersenyum malu-malu, menunjukkan rasa pakewuh, dan berkata, “Maaf, Pak, saya petugas baru. Saya belum tahu.”
Kemudian dia akan minta diri. Pergi. Tak akan pernah berani menilangku lagi.
Apabila di negeri kalian, pernah mendengar istilah pengakuan dosa para pendosa, tidak demikian di negeriku. Di negeriku, justru para kudus yang harus mengaku dosa. Ya, karena mereka telah menghambat pergerakan para pendosa. Apalagi jika para kudus itu sampai berkumpul, berserikat, dan melakukan gerakan perlawanan. Itu dilarang keras! Bila para kudus melawan, akan ada cecunguk yang disuruh memberangus dan membungkam mereka.
“Kami hanya menjalankan perintah! Silakan kalian membubarkan diri. Jangan anarkis, kecuali kami. Yang kami lakukan adalah untuk kepentingan umum. Jangan melawan petugas!” kata cecunguk itu meneror.
Kalimat yang diucapkannya seakan menjadi pemantik semangat anak buah untuk beringas membubarkan massa para kudus.
Di negeriku, pendosa nilainya sangat-sangat berharga dibanding para kudus. Pendosa harus dibela, bukan saja karena mereka kaya raya, tetapi juga keberadaan merekalah yang menggerakkan perekonomian negara. Katanya. Mereka masuk kategori VVIP. Orang yang sangat-sangat penting atau orang yang sangat-sangat berkepentingan. Aku tak tahu membedakannya. Sama saja.
Nah, kali ini yang akan kutemui adalah Pak Tegar, cecunguk VVIP juga, sama seperti diriku. Hal yang membedakan hanyalah posisi dan legalitasnya di kantor. Posisinya ialah kepala kejaksaan yang ia peroleh karena berpendidikan tinggi—tak mungkin diperoleh oleh orang malas berpikir, seperti diriku. Mungkin, jabatannya itu juga cuma titipan dari sang penitip. Gajinya yang tak resmi di tempat resmi itu, tentu lebih besar. Kerjanya yang tak resmi di tempat resmi itu, tentu lebih menjadi prioritas utama—jika tak ingin dipecat dan dicap pengkhianat, dibungkam, atau dibunuh.
Dibanding dirinya, aku juga ketua. Ya, aku ketua yayasan. Jabatan yang kuperoleh dari sang penitip. Mungkin penitipnya adalah orang yang sama. Aku tak tahu. Sang penitip selalu menitip segala sesuatu, melalui penitip yang lain.
Secara ilmu manajemen hierarki, penitip 1 punya penitip 2, penitip 2 punya penitip 3, dan seterusnya agar menghilangkan jejak penitip semula. Ya, mirip kurir narkoba, atau yang lebih canggih, mentereng, dan berkelas ialah perusahaan A memiliki anak perusahaan B, anak perusahaan B memiliki anak perusahaan C, dan seterusnya.
Jika anak perusahaan C melakukan usaha secara ilegal atau setengah ilegal, maka anak perusahaan C yang akan menanggung segala konsekuensi hukum—yang mungkin bisa dibeli atau ditawar proses atau putusan hukumnya. Sementara itu, perusahaan A dan pemilik aslinya, yang kadang identitasnya disamarkan, sebagai penerima manfaat, berpangku tangan sambil mentertawakan drama di media dan persidangan.
“Hahaha … para cecunguk sedang memainkan perannya.” Mereka tertawa sambil mengisap ganja yang diselundupkan menggunakan mobil dinasnya Pak Tino, seorang petinggi aparat keamanan. “Agar bebas dari pemeriksaan,” katanya.
Desas-desus tentang pola kerja para cecunguk, sudah menjadi rahasia umum di antara para cecunguk. Termasuk diriku yang menjadi ketua yayasan secara ajaib.
Aku diambil dari rumah bordil sebagai penjaga keamanan. Dengan cerita bahwa aku berempati terhadap anak jalanan dan akhirnya mendirikan yayasan dari menyisihkan gajiku. Aku tak sanggup membangun atau membeli gedung baru hingga akhirnya seorang dermawan memberikan rumah tua warisan keluarganya. Tentu semua itu bohong belaka. Rumah itu adalah aset pemerintah yang diputihkan secara sepihak. Sedangkan aku diambil karena dipercaya sering mengamankan identitas para pejabat saat ngamar di hotel mewah bersama “bintang”—begitu kami mengistilahkan para penjaja kelas atas—yaitu para artis yang tak pernah puas mengejar prestise dan menghalalkan kemesuman sebagai caranya.
Dua bulan kemudian aku mendapatkan gelar S.Sos. Katanya, agar namaku lebih mentereng, lebih sesuai dengan jabatanku. Entah dari kampus mana ijazah itu, aku tak peduli. Bodoh amat, yang penting sekarang aku ketua yayasan.
Bukankah jual-beli ijazah, skripsi, tulisan ilmiah adalah lumrah di negeri ini? Apa sih, yang tidak diperjualbelikan? Bahkan, idealisme pun dijual demi dukung-mendukung saat pemilihan umum, bukan?
Perhitungan waktuku hampir saja meleset, ketika seorang polisi akan menghentikan mobil yang kupacu terlalu laju. Niatnya urung setelah melihat mobil dari dekat. Ada pemeriksaan gabungan. Aku terpaksa mengerem, berhenti sesaat, dan berbasa-basi dengan sesama cecunguk.
“Oh, Pak Garon. Silakan lewat, Pak. Kami ada pemeriksaan rutin. Ada perintah dari atas. Katanya ada anak petinggi yang mau pelesir ke kota wisata ini. Kami mengejar setoran untuk biaya pelesirnya. Biasalah, Pak, kalau tak mau digeser, ya gini,” ujar Pak Martin sesumbar.
Tiba di persimpangan berikutnya, kulihat mobil Porsche berwarna hitam dengan jendela kiri terbuka di bagian belakang sudah parkir di sana. Sesuai perintah, aku merapat dan melemparkan tas uang tadi ke jendela yang terbuka, tepat sedetik sebelum lampu hijau menyala.
Koran hari berikutnya memberitakan bebasnya Pak Noven, seorang pimpinan partai politik yang menjadi terduga kasus korupsi. Sidang praperadilan memenangkan gugatannya terhadap komisi antirasuah. Pak Noven diduga menjual pengaruhnya di DPR untuk memuluskan kebijakan impor bawang dan garam yang menyebabkan petani lokal gulung tikar.(*)
Kupang, 24 April 2020
Tentang Penulis:
Krismanto Atamou, penulis menyukai sastra perlawanan, tinggal di pelosok pulau Timor, NTT. Bisa dihubungi melalui Facebook: Krismanto Atamou atau IG: krismanto_atamou.
Komentar juri:
Cerita yang memberi warna baru di Tantangan Lokit. Terjebaknya tokoh di suatu negeri yang bobrok—di mana para “cecunguk” memainkan perannya, baik di ranah politik maupun hukum—adalah sesuatu yang segar, namun tak lepas dari tema yang sudah kami tentukan. Bagi saya sebagai pembaca, cerita ini juga merupakan “suara” yang jujur dari seorang penulis. Great!
-Triandira
Tantangan Lokit adalah perlombaan menulis cerpen yang diselenggarakn di grup KCLK.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata