L’histoirese Répété: Maut Hitam (Terbaik ke-23 TL15)

L’histoirese Répété: Maut Hitam (Terbaik ke-23 TL15)

L’histoirese Répété: Maut Hitam

Oleh: Vianda Alshafaq

Terbaik ke-23 Tantangan Lokit 15 (tema: Karantina)

 

Sejak sebulan lalu, aku menghabiskan waktu di rumah. Tak banyak yang bisa dilakukan untuk menghilangkan kebosanan. Paling aku hanya akan membaca sebuah buku, mengerjakan tugas-tugas yang menggunung, atau sesekali berselancar di internet, mencari sesuatu yang mungkin bisa menghabisi kebosananku. Selaku seorang mahasiswa yang tak banyak mengambil SKS semester ini, aku memiliki banyak waktu luang. Dan, semua ini sangat menguntungkan bagiku untuk menyelami kisah-kisah yang tak kudengar ketika dosen mendongeng di depan kelas—saat perkuliahan tatap muka.

Sebagai salah satu manusia yang hidup di  generasi ini, tentu tak semua yang bisa kuketahui tentang generasi sebelumnya. Misalnya, tentang cerita-cerita berabad-abad lalu yang tenggelam dalam buku-buku usang dan dongeng yang jarang diceritakan sebagai pengantar tidur, atau tenggelam dalam benak yang jarang diluncurkan dari mulut. Kalaupun pernah diceritakan, tak banyak yang ingin mendengar. Barangkali karena beberapa kisah memang terlalu menakutkan untuk didengar. Atau mungkin, memang minat untuk mempelajari sejarah yang semakin pudar. Banyak yang bilang padaku bahwa sejarah itu membosankan.

Saat ini, dunia sedang gempar karena sebuah virus. Covid-19, sebuah virus berbahaya yang sedang mewabah di seluruh dunia. Virus ini sudah menjangkit sejak beberapa bulan lalu. Namun, sampai hari ini masih belum usai. Kupikir kali ini daerahku tidak akan terkena virus seperti beberapa tahun lalu saat Mers menjangkit di salah satu negara tetangga–Singapura—negeriku. Tapi, nyatanya tidak begitu. Meski Padang merupakan kota yang jauh dari tempat asal virus ini, tidak menutup kemungkinan juga akan terkena penyebarannya. Buktinya, dua minggu lalu, seseorang dinyatakan positif terjangkit Covid-19. Karenanya, semua orang dilarang berkegiatan di luar untuk mencegah penyebaran virus ini. Dan, waktu karantinaku—kuliah online—diperpanjang hingga akhir semester.

L’histoireserépété, sebuah pepatah Perancis yang berarti sejarah selalu seperti berulang. Aku melihat pepatah itu ketika berselancar di internet dua hari lalu. Sebagai seseorang yang menyukai sejarah, tentu aku langsung tertarik saat membacanya. Sejarah seperti selalu berulang, sesuatu yang benar-benar menarik dan membuatku teringat sesuatu, sebuah kisah yang pernah kubaca beberapa bulan lalu di internet.

Apa kau penasaran dengan “sesuatu” yang kuingat itu?

***

Dulu, pada awal abad ke-20, lebih tepatnya tahun 1905, dua orang ditemukan tewas di Deli, Pantai Timur Sumatra. Saat itu, negara ini masih dikuasai oleh pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Kematian mereka mengejutkan masyarakat sekitar. Ternyata setelah diperiksa, kematian mereka disebabkan oleh virus Pes, atau lebih dikenal dengan Black Death (Maut Hitam).

“Anda harus melakukan antisipasi untuk penyebaran virus ini, Pak.”

Begitu kata dokter yang memeriksa mayat itu pada pemerintah Kolonial Hindia Belanda karena di saat yang bersamaan wabah Maut Hitam ini juga menjangkit di Cina, Myanmar, hingga Arab.

“Hanya ada dua kasus, tidak perlu berlebihan. Cukup tutup mulut saja.”

Kasus itu benar-benar diabaikan, tidak ada langkah yang dilakukan untuk pencegahan penyebaran Maut Hitam itu. Dan, memang untuk beberapa tahun tidak ada penambahan kasus.

Pada tahun 1911, terjadi gagal panen besar-besaran. Hal ini menyebabkan pemerintah Kolonial Hindia Belanda memilih untuk mengimpor beras dari Myanmar dan Cina.

Kau tahu apa yang terjadi selanjutnya?

Jawa kembali digemparkan oleh Maut Hitam yang mewabah. Dalam beras yang diimpor dari Cina dan Myanmar itu, terdapat tikus-tikus yang kutunya terinfeksi Maut Hitam. Tikus-tikus itu mati, sehingga kutu-kutu yang ada mencari inang lain untuk ditempati.

Malang, adalah tempat pertama yang membuka penyebaran virus ini. Entah bagaimana, tapi begitulah yang kutahu dari sejarah. Saat itu, rumah-rumah warga terbuat dari bambu-bambu yang dapat menjadi sarang tikus. Kutu-kutu dari tikus yang ada dalam beras impor tersebut pindah ke tikus lokal—yang bersarang di rumah masyarakat. Tak hanya berpindah ke tikus lain, kutu-kutu itu juga menyelinap di tanah yang menjadi lantai rumah warga saat itu.

Karena Maut Hitam semakin menyebar, satu per satu korban mulai berjatuhan. Randu, misalnya. Ia dinyatakan mati karena terjangkit Maut Hitam. Malam itu, ketika bulan terlihat seperti lingkaran penuh, seorang warga mendapati Randu tergeletak di jalan.

Keesokan harinya, ketika mentari berada tepat di atas ubun-ubun, pemerintah Kolonial Hindia Belanda melakukan disinfeksi di Malang dengan mengasapi rumah warga atau mengarungi rumah itu dengan kain besar. Namun, sebagian masyarakat malah mencurigai aksi ini.

“Ini hanya permainan sihir dari pemerintah. Tidak bisa dibiarkan!”

Kalimat seorang laki-laki itu memicu amarah masyarakat lainnya. Mereka percaya begitu saja sehingga menolak untuk melakukan disinfeksi. Sejak saat itu, saat pemerintah Kolonial Hindia Belanda hendak melakukan disinfeksi, baik dengan cara mengasapi rumah maupun dengan mengurung rumah itu menggunakan kain besar, mereka selalu mendapat penolakan. Mirisnya, saat tim medis ingin melakukan pendeteksian kasus kematian yang terjadi, masyarakat juga menolak.

Tetapi, di Jawa Barat, masyarakat mulai ketakutan karena penyebaran Maut Hitam semakin cepat. Mereka memagari desa dengan bambu setinggi atap rumah. Seseorang mengatakan hal itu dilakukan agar tidak ada warga desa tetangga yang terjangkit Maut Hitam pindah ke desa mereka.

Kau tahu, sepertinya memang benar bahwa sejarah selalu berulang. Saat itu, saat masa karantina—yang mereka lakukan dengan memagari rumah dengan bambu serta melarang bepergian ke desa lain—masih juga ada yang tidak menurut, seperti saat ini. Mereka tetap menyelinap ke desa lain melalui daerah-daerah yang tak dipagari, seperti sungai, kebun, dan beberapa tempat lainnya.

Semakin hari, semakin banyak korban yang berjatuhan. Seribu, dua ribu, lima ribu, sepuluh ribu, atau entah berapa. Seperti saat ini juga, pemerintah Kolonial Hindia Belanda membuat peraturan yang membuat sanksi bagi masyarakatyang terjangkit Maut Hitam  dan tidak mau dikarantina. Mulai saat itu, setiap desa dijaga oleh beberapa orang petugas. Karantina lebih diperketat. Bahkan dilakukan di satu tempat yang bisa diawasi secara langsung oleh petugas. Saat pagi menjelang, mereka akan pergi ke tempat karantina. Sementara ketika malam melahap bumi, mereka akan kembali ke rumah masing-masing untuk menjaganya agar tidak kemalingan.

Apa kau berpikir karantina ini diterima baik oleh masyarakat?

Tidak, mereka masih menolaknya. Seperti siang itu, ketika jam menunjukkan pukul satu, para petugas akan memberi mereka makan. Joko, salah satu petugas itu, melemparkan makanan dari luar.

“Kalian ambillah makanan itu. Aku tidak ingin ikut tertular virusnya,” katanya sembari melemparkan makanan ke dalam tempat karantina.

Perlakuan Joko itu mengundang amarah masyarakat. Namun sayang, mereka tidak bisa melakukan apa-apa.

Sebagai akibat dari perlakuan tidak layak itu, banyak masyarakat yang memilih untuk menyembunyikan bila ada keluarganya yang terjangkit Maut Hitam. Mereka lebih memilih untuk berobat ke dukun-dukun desa. Namun sayangnya, hal itu tidak berhasil. Pada akhirnya, mereka tetap diobati oleh tenaga medis dari pemerintah.

***

“Apa sejarah benar-benar akan berulang?” tanyaku pada diriku sendiri.

Angin berembus, membuat kerudung biruku berkibar seperti bendera. Aku melihat ke depan, ke hamparan ladang yang baru ditanami cabai beberapa hari lalu. Aku berpikir ulang, apa benar sejarah selalu terulang? Jika pepatah Perancis itu—L’histoireserépété—benar, apakah karantina yang saat ini digadang-gadangkan akan berakhir seperti kasus di Jawa itu?

Ah, entahlah. Kuharap, tak semua sejarah terulang sama di setiap bagiannya.

Tapi sebentar, aku kembali mengingat sesuatu. Dulu, pada pertengahan abad ke-14, Maut Hitam juga pernah mewabah di Eropa. Waktu itu, jutaan masyarakat mati karenanya.

Ya Tuhan, apa sejarah memang selalu berulang?[*]

 

Agam, 23 April 2020.

 

Vianda Alshafaq, seorang mahasiswa yang sedang lelah dengan tugas-tugasnya. Bisa dihubungi melalui akun Facebook: Vianda Alshafaq.

 

Komentar juri:

Salut sama penulis satu ini karena dia mampu mengemas sejarah yang berulang menjadi satu karya yang epic. Belum lagi dengan mengangkat tema karantina kali ini, yang pastinya butuh riset yang lumayan panjang.

Semoga sejarah tak lagi terulang untuk kasus kali ini 😀

-Vero

 

Tantangan Lokit adalah perlombaan menulis cerpen yang diselenggarakn di grup KCLK.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply