Death (Part 4)
Oleh : Sinta Dewi S.
Kejadian malam itu sangat memukul harga diri Fahmi. Dia tidak menyangka jika istri yang sangat dia percaya tega mengkhianatinya, terlebih Anita berselingkuh dengan Danu. Fahmi begitu terkejut. Dia tidak tahu sudah berapa lama mereka berhubungan.
Kondisi kamar hancur berantakan akibat murka Fahmi. Danu langsung pergi mengetahui Fahmi datang. Bahkan, dia pun terkejut karena ternyata Anita adalah istri Fahmi. Danu tidak pernah menyangka sebelumnya jika semua akan berakhir kacau.
Anita dan Fahmi bertengkar hebat di malam itu. Bagaikan singa yang telanjur marah, Fahmi tidak memberikan sedikit pun cela untuk Anita membela diri. Selama ini, Fahmi berpikir bahwa hubungannya dengan Anita baik-baik saja. Namun pada kenyataannya tidak. Malam itu berakhir dengan Fahmi membanting keras pintu kamar hingga nyaris terlepas—saking kerasnya getaran itu. Dia memutuskah untuk mencari Danu, meminta pertanggungjawaban atas semua perbuatannya. Fahmi sengaja mengirimkan pesan singkat kepada Danu atas nama Anita. Dia meminta Danu datang untuk menjemput Anita. Dia juga menuliskan bahwa Fahmi telah pergi meninggalkannya.
Danu langsung merespons dan mengatakan akan menemui Anita di rumahnya. Danu pun bergegas menuju rumah Anita. Sementara di tempat lain, Fahmi telah bersiap menunggu kedatangan Danu. Gurat amarah semakin memancar ketika mengetahui Danu telah sampai di depan rumahnya.
***
Ahtar sudah bersiap menuju kampus tempatnya kuliah. Dia memutuskan untuk mendaftar ulang hari itu juga. Dia mengeluarkan sepeda motor sport kesayangannya. Mengenakan pakaian rapi dan sopan. Sampai tiba-tiba handphone di sakunya berdering. Entah dari siapa panggilan itu berasal.
“Hallo,” Sahut Ahtar.
“Maaf, ini dengan saudara Ahtar?” Seseorang dari ujung telepon pun menjawabnya.
“Iya. Saya sendiri. Anda siapa?”
“Kami dari kepolisian. Ingin memberitahukan bahwa ayah Anda telah tewas gantung diri di rumahnya sendiri.”
“Apa? Bagaimana mungkin? Bagaimana dengan ibu saya?”
“Beliau sendiri tidak apa-apa. Justru beliau yang melaporkan bahwa telah menemuan ayah Anda yang mati bunuh diri.”
“Tidak mungkin Pak!”
Ahtar mematikan telepon. Dia mengurungkan niatnya untuk pergi ke kampus, memutuskan kembali ke Bandung pagi itu juga dengan menaiki kereta expres. Pikiran Ahtar mulai tidak karuan. Dia tidak menyangka jika ayahnya akan melakukan tindakan bunuh diri.
“Apa yang membuat Ayah nekat mengakhiri hidupnya secara tragis?”
***
Di tempat kejadian perkara. Rumah Fahmi sudah diberi garis polisi. Tim forensik mengamati serta melakukan autopsi terhadap jasad Fahmi. Anita beserta ayah dan ibu Fahmi tampak bersedih atas kejadian ini. Anita juga diminta untuk memberikan kesaksian di kantor polisi atas kematian Fahmi. Anita tampak terpukul dan syok mengetahui suaminya tewas bunuh diri.
Polisi dan tim forensik sedang mendalami kasus ini supaya bisa mengungkap motif dan permasalahan yang dihadapi Fahmi. Keadaan Fahmi yang sungguh tragis membuat seluruh keluarga terpukul. Dia masih mengenakan baju yang terakhir dipakai saat bertemu Anita dan memutuskan untuk pergi meninggalkannya. Anita merasa sangat bersalah atas apa yang telah terjadi kepada Fahmi. Dia yang telah membuat Fahmi menderita dan memilih menghabisi hidupnya sendiri.
***
Beberapa jam berlalu. Tim forensik baru saja selesai mengambil sampel Fahmi untuk diautopsi. Semua barang bukti dan segala macam yang patut dicurigai oleh penyidik langsung dibawa untuk keperluan penyelidikan lebih lanjut. Sementara itu, seluruh keluarga mempersiapkan pemakaman Fahmi. Anita tidak berhenti meneteskan air mata, dia sama sekali tidak pernah berpikir akan berakhir seperti ini.
Ahtar yang sedari pagi telah memutuskan untuk pulang, tiba di Bandung saat tengah malam. Fahmi telah dikebumikan. Ahtar tidak sempat melihat ayahnya untuk yang terakhir kalinya. Dia menyesali hal itu, namun memang begitu adanya. Dia harus ikhlas melepas kepergian ayahnya.
***
Beberapa hari telah berlalu, tetapi rumah duka masih diselimuti oleh tangis. Terutama ibu dan istri Fahmi, Anita. Kedua wanita ini sangat terpukul oleh kematian Fahmi yang mendadak. Begitu pun dengan Ahtar, dia lebih banyak diam. Malas untuk bertegur sapa dengan orang lain. Dia hanya bisa memandang foto ayahnya yang berada di tembok, bermandikan bunga di sekelilingnya.
Pusara Fahmi masih tampak merah, bunga silih berganti saling bertumpuk di atas gundukan tanah yang masih basah. Peziarah dari keluarga Juragan Tarso tiada henti mengunjungi makam putranya yang telah berpulang. Sesekali lelehan air mata itu jatuh mengalir di pipi Juragan Tarso. Dia harus bisa menerima dengan lapang kepergian Fahmi.
***
Setelah tujuh hari kematian Fahmi akibat bunuh diri, sikap Anita kian hari kian berubah. Tampak pada wajahnya raut duka yang begitu mendalam. Entah sadar atau tidak, kini Anita sering sekali berbicara sendiri, tersenyum, atau bahkan menari sendiri di kamarnya. Bu Tarso dan Ahtar yang mengetahui semuanya merasa ada yang tidak beres pada diri Anita.
Anita seperti wanita yang tidak terurus, bajunya kusut karena tidak pernah berganti sejak tiga hari pascakematian Fahmi. Rambutnya berantakan, tidak ada lagi bau harum pada tubuh Anita. Matanya bengkak, bibirnya pun mulai kering, mungkin terlalu banyak menangis. Tatapannya pun kosong. Hanya nama Fahmi yang mampu dia sebut.
Setiap kali diminta untuk mandi dan membersihkan diri, Anita selalu saja marah. Sepertinya karena terlalu merasa terpukul sehingga dia enggan menuruti permintaan orang lain.
“Aku mau ikut Mas!” ucapnya tiba-tiba.
Mendengar suara itu, Ahtar bergegas masuk ke kamar Anita. Dia mendapati ibunya sedang berdiri di pinggir balkon. Sontak, Ahtar langsung berlari menuju tempat Anita berdiri. Dia menarik ibunya menjauh dari pinggir balkon.
“Bu. Ibu kenapa? Apa yang terjadi sama Ibu?”
“Siapa kamu? Jangan halangi aku untuk pergi dengan suamiku!” teriaknya.
“Bu, ini Ahtar anak Ibu. Kenapa Ibu jadi berubah?”
“Ahtar?” tanya Anita penuh bingung. “Siapa Ahtar?”
Seketika tubuh Anita jatuh di pelukan Ahtar. Ahtar semakin bingung dengan keadaan ibunya yang dirasa kian buruk. Kematian Fahmi menjadi pukulan terberat bagi seorang Anita. Mau tidak mau, Ahtar dan seluruh keluarganya mengasingkan Anita di sebuah kamar, demi menghindari hal-hal buruk yang mungkin akan terjadi pada Anita. Mengingat hari ini Anita nekat mengakhiri hidupnya karena ketidakwarasan pikirannya.
***
“Tar, bagaimana ibumu?” tanya Bu Tarso.
“Eh, Eyang Uti. Heeem … entahlah, Eyang. Akhir-akhir ini, semenjak Ayah meninggal, Ibu semakin berubah. Pikirannya kacau. Ahtar takut jika Ibu semakin merasa depresi menghadapi semua kenyataan ini,” jawab Ahtar sembari memandang ibunya yang duduk sendiri di dalam kamar yang terbuka. Matanya sedih dan kosong. Tampak gurat kesedihan masih memenuhi wajah wanita itu.
“Apa sebaiknya kita …?” Bu Tarso menghentikan ucapannya. Ahtar menyipitkan mata, menunggu ucapan eyang utinya diperjelas.
“Sebaiknya kita apa Eyang?”
“Kita kirim saja ibumu berobat di rumah sakit jiwa.”
Ucapan Bu Tarso membuat Ahtar terkejut. Di satu sisi dia ingin ibunya sembuh. Di sisi lain, dia tidak ingin menganggap ibunya gila. Dia memandang foto ayahnya yang masih tetap terbingkai rapi di tembok, mencoba mencari jawaban atas kegundahan hatinya memutuskan sebuah pilihan.
Bersambung ….
Sinta Dewi, seorang ibu rumah tangga yang sejak kecil memimpikan menjadi seorang penulis. Lahir di sebuah kota kecil di Jawa Timur, tepatnya di Probolinggo. Penyuka warna pink dan dance ini sejak kelas 5 SD sudah menyukai dunia menulis, meski bukan hobi. Namun separuh waktunya dimanfaatkan untuk mengasah kejeliannya memainkan kata-kata.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata