Lewat Tengah Malam
Oleh: Cahaya Fadillah
Rintihan itu terdengar menyedihkan, kali ini sayup-sayup karena lebih banyak ditahan. Wanita paruh baya di sampingnya hanya bisa menatap dengan linangan air mata tanpa bisa berbuat apa-apa.
Wanita itu tidak punya kuasa untuk melarang, membantu, bahkan melindungi gadis kecil yang terus menerus menangis menahan sakit setiap pukulan yang entah kapan berhenti menghantam tubuh mungilnya. Pernah ia hanya berkata, “Sudah, Bu, Kasihan Aisha.” Namun, yang ada pukulan itu semakin membabi buta.
Puas ia menyalurkan amarahnya, kini ia berteriak lantang. “Paksa dia berpakaian anggun hari ini atau tanganku ini akan melukainya lagi!”
“Baik, Nyonya.” Dengan cepat Bibi Tari menggendong Aisha dan mendekapnya hati-hati.
Bibi Tari segera pergi membawa Aisha tanpa memandang sedikit pun pada majikannya. Perempuan yang dipanggil nyonya kini telah menjauh, terdengar dari langkah high hell yang bersentuhan dengan lantai keramik mahal. Langkahnya begitu anggun, tubuh sintalnya memang sangat enak dipandang. Siapa pun lelaki yang melihat pasti akan tertarik, wajahnya yang cantik terlihat sempurna dengan mata yang besar, hidung mancung, bibir yang selalu berwarna ranum. Namun, sayangnya sifat perempuan itu bagaikan ular. Penampilan fisik dan rupanya sangat bertolak belakang dengan sifatnya yang sangat kejam.
Tidak lama, deru mesin mobilnya terdengar meraung menjauh. Bi Tari akhirnya menangis sejadi-jadinya. Perasaan sesak yang ditahannya kini sudah tidak bisa lagi dikendalikan. Degan cepat Bi Tari menarik tubuh Aisha dan membuka pakaiannya perlahan untuk diganti sesuai perintah majikannya. Betapa hancur hati Bi Tari saat menyaksikan tubuh mungil itu dipenuhi goresan luka yang mengalirkan darah. Lebam kebiruan ada di mana-mana. Namun, anak lima tahun itu tidak mengeluarkan suara tangis yang berarti walau sudah dihantam oleh sepatu yang runcing itu berkali-kali.
Rintihan kesakitan sudah cukup menggambarkan ia sangat menderita, tapi Aisha ini sama sekali tidak mengeluarkan air mata. Setiap kesakitan yang mendera selalu diresponsnya dengan menutup mata dan menggigit bibir bawahnya sekuat tenaga.
Bi Tari melangkah pelan menuju kamar yang temaram. Bau anyir langsung menyeruak menusuk hidung. Bagaimana tidak, darah berserakan di mana-mana, darah yang lama belum kering kini bau darah segar kembali memberikan aroma anyir yang lebih kuat.
Bi Tari hanya bisa memeluk Asiha sambil menangis. Mendekap erat tubuh mungil itu dan mengusap rambut hitam legam milik Aisha yang biasanya terurai indah kini harus berbau busuk anyir darah yang belum sempat kering.
“Aisha, menangislah, Nak. Jika kamu merasa sakit, menangislah. Teriakan isi hatimu, lalu balas perlakuannya agar mereka tahu apa yang kamu rasakan.”
Gadis mungil itu tidak menjawab, ia hanya menatap sayu Bi Tari dan mengusap kedua pipi wanita paruh baya yang merawatnya sejak bayi.
Tubuh mungil itu kini diangkat perlahan, terseok-seok Bi Tari menggendong Aisha karena gadis ini tidak kuat berdiri. Luka sayatan dan lebam yang ada kini diobati dengan obat sederhana, Bi Tari tidak pernah diizinkan membawa Aisha berobat ke rumah sakit.
“Aisha, tolong dengar Bibi. Menangislah, Nak. Di mana yang sakit? Bilang sama Bibi. Menangislah yang keras, jangan diam saja. Balas perlakuan ibumu itu atau adukan pada ayahmu, Nak.”
Sekali lagi Aisha hanya menatap datar pada wanita tua yang mengkhawatirkan dan menyayanginya. Kemudian dengan tangan kecilnya yang ringkih Aisha menunjuk dadanya pelan dengan tatapan sayu yang menyedihkan.
“Sakitnya di sini? Apa ada yang luka atau lebam karena tendangan ibumu? Sini Bibi periksa.”
Aisha mengangguk pelan. Dengan sigap Bi Tari segera memeriksa lebam yang menyedihkan di dada Aisha dengan mata yang basah lagi. Setelah semua selesai dibersihkan, luka-luka itu diobati. Kini Aisha didandani seperti perintah majikannya. Seakan tidak terjadi apa-apa, Aisha kini tersenyum manis saat ibunya kembali datang bersama ayahnya. Mereka akan mendatangi malam malam istimewa dengan rekan kerja ayahnya yang selalu sibuk.
***
Lewat pukul dua belas malam, suara Aisha terdengar riang sambil memeluk boneka kesayangan pemberian ibunya yang selalu dibawa ke mana-mana.
“Dia jahat, tidak seperti Ibu yang selalu memelukku. Ayah juga jahat, tidak pernah menciumku seperti dulu. Aku ingin menangis,” ucapnya sambil mengusap mata yang tidak basah. “Aku ingin ikut Ibu saja ke surga. Rumah ini terlalu mengerikan, Doli,” ucapnya pada boneka kusam yang selalu tampak tersenyum.
Bi Tari sering mencuri dengar apa yang dikatakan oleh Aisha jika malam datang. Pukul dua belas malam, gadis itu sering bicara apa saja dengan boneka kesayangannya.
Di kamar yang pengap dan gelap Aisha dibiarkan sendiri, bahkan Bi Tari pun tidak diizinkan untuk menemani. Hingga suatu hari Bi Tari tak kuasa mendengar kesedihan Aisha karena selalu sendiri. Bi Tari masuk perlahan, alangkah terkejutnya melihat Aisha memeluk mayat yang disembunyikan di bawah ranjang yang tidak diketahuinya selama ini. Bau anyir itu menyeruak semakin kuat. Namun, Bi Tari semakin terkejut saat Aisha berkata, “Bibi sudah tahu aku tidak sendiri, ‘kan? Aku selalu bersama Ibu. Karena itu aku tidak mau menangis. Ibu akan sedih dan terbangun jika mendengar suara tangisku nanti.”
Cahaya Fadillah, perempuan keturunan Minang yang menyukai dunia literasi sejak kecil ini baru aktif pada tahun 2017. Karyanya sudah ada di beberapa antologi cerpen dan puisi. Tulisan lain bisa ditemukan di blog dan page pribadi atau wattpad @CahayaFadillahStory dan IG @catatancahayafadillah.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata