Laut Menyimpan Ceritanya
Oleh : Halimah Banani
Sudah sebulan lamanya aku datang ke tempat ini di setiap sore, bertanya lagi dan lagi kepada lautan tentang apa yang diceritakan gadis itu? Namun, lautan seolah-olah telah bersepakat dengan gadis itu untuk tidak mengungkapkan apa pun. Masih membisu. Menghanyutkan setiap cerita pada ayunan-ayunan lembutnya yang tampak menenangkan.
Itu … gadisku, yang aku tahu kalau dia lebih banyak menceritakan hidupnya kepada laut. Berpamit setiap kali purnama, dia mengenakan sweter merah jambu, rok payung hitam, dan rambutnya yang panjang akan dikucir separuh dengan pita merah. Dia bilang akan bertemu putri duyung di pantai dekat rumah kami.
“Putri duyung itu hanya ada dalam dongeng.”
“Tidak, Mama. Putri duyung itu sungguh ada.”
“Benarkah?”
Dia mengangguk kuat-kuat, membuat poninya berantakan.
“Kalau begitu, biar Mama ikut dan melihatnya juga.”
“Tidak.” Dia merentangkan tangannya lebar-lebar, menghalangi pintu. “Putri duyung tidak suka jika ada yang tahu tentang keberadaannya. Aku sudah berjanji untuk merahasiakan ini dari siapa pun.”
“Lalu, kenapa kamu menceritakannya kepada Mama?”
“Agar Mama memberiku izin untuk pergi ke pantai.”
Aku menghela napas saat mendapatinya membuat alasan tak masuk akal untuk bisa pergi. Barangkali dia menyukai suasana pantai atau dengan melihat pantai, maka rasa rindu yang terpendam untuk papanya akan hanyut berbarengan dengan surat yang selalu dia tulis sebelum pergi dan dimasukkannya ke botol plastik. Atau mungkin, dia punya teman kencan. Baiklah, aku takkan menanyakan apa-apa atau melarangnya. Aku hanya mengangguk, memberi izin dan memintanya untuk pulang tak lewat dari pukul 21.30.
***
Matahari merayap semakin tinggi, tetapi gadisku tetap tak mau beringsut dari kasurnya, malah menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut. Aku ingatkan dia kalau hari ini ada ulangan Matematika, siapa tahu saja dia lupa. Dia suka Matematika dan tidak mungkin bisa tidur dengan tenang, apalagi masih bermalas-malasan di kasurnya jika tahu kalau ada ulangan. Namun, kali ini dia tidak merespons.
“Apa kamu sungguh-sungguh tidak ingin pergi ke sekolah?”
Dia diam saja dan aku menganggapnya telah menjawab “ya”. Oleh karena itu aku meninggalkan kamarnya. Membiarkannya melanjutkan sesuatu yang disebut tidur, meski aku tahu kalau dia tak sungguh-sungguh tidur.
Tiga bulan terakhir ini dia terus merengek kepadaku, minta pindah sekolah. Tak ada sekolah yang dekat dari rumah kami selain sekolahnya yang sekarang, aku juga tidak punya cukup uang dalam tabungan jika harus memindahkannya ke sekolah baru, karena itu berarti aku harus mengirimnya untuk mengekos. Dan karena itu aku tidak menanggapi rengekannya. Barangkali dia belum kerasan dengan sekolahnya yang sekarang. Dia baru masuk SMA dan harus beradaptasi dengan lingkungan baru juga teman-teman baru.
“Apa kamu tidak pernah bertanya seperti apa teman-temannya di sekolah?” tanya adikku saat kuceritakan masalah ini dalam satu kesempatan bertelepon.
“Dia bilang dia tidak suka dengan teman-temannya. Mereka usil.”
“Usil yang bagaimana?”
“Entahlah. Dia tidak pernah mengatakan hal lain selain kata usil.”
“Apa dia biasa begitu setiap kali masuk sekolah baru?”
“Tidak juga.”
“Mungkin teman-temannya memang bermasalah, dan sebaiknya pindah sekolah saja.”
Aku mengernyitkan kening. Tak perlu adikku yang mengatakan demikian agar aku paham. Aku tahu kalau pindah sekolah mungkin bisa menjadi solusi, atau gadisku hanya perlu sedikit waktu lagi untuk bisa berbaur dengan teman-temannya yang dianggapnya usil itu. Namun mau bagaimana, lagi-lagi aku harus menjadikan uang sebagai alasan. Sejak suamiku meninggal, aku yang menjadi kepala rumah tangga. Bekerja juga mengurus kedua anakku, yang mana si kecil belum genap berusia 2 tahun.
***
Malam ini gadisku tak pergi ke pantai. Dia tidur di sampingku seraya bercerita tentang putri duyung. Katanya, suatu hari dia ingin menjadi putri duyung. Hidup bebas. Menyatu dengan lautan.
“Kamu pernah mendengar atau membaca kisah putri duyung?” tanyaku.
“Iya. Putri duyung jatuh cinta kepada pangeran. Dia menukar suaranya yang indah untuk sepasang kaki. Sayangnya pangeran jatuh cinta kepada gadis lain dan menikahi gadis itu. Untuk bisa bertahan hidup, putri duyung harus membunuh pangeran. Tapi putri duyung malah memilih menjadi buih di lautan.”
“Apa putri duyungmu memiliki kisah seperti itu?”
“Tidak. Putri duyungku tepenjara. Setiap hari dia bermimpi untuk bisa mengarungi lautan luas atau setidaknya hidup dengan layak. Tapi orang-orang selalu mencekiknya dengan hal-hal yang dia benci. Hal-hal yang tidak dia sukai.”
Aku mengernyitkan kening. “Benarkah?”
“Orang-orang memang begitu, sepertinya. Dan aku pikir, aku harus menyelamatkan putri duyungku. Biar kami bisa hidup bebas dan mengarungi lautan yang luas.”
Aku tersenyum, mengusap lembut kepalanya.
“Kalau begitu, kamu perlu belajar berenang agar kalian bisa berenang bersama-sama.”
***
Gadisku memang gadis yang baik. Dia hanya sedikit pendiam, pemalu, juga penakut. Namun entah dari mana datangnya keberanian itu, hingga di suatu purnama yang aku pikir dia baik-baik saja, gadisku berpamit hendak ke pantai. Mengenakan sweter merah jambu, rok payung hitam, dan rambutnya yang panjang akan dikucir separuh dengan pita merah, dia bilang akan menyelamatkan putri duyungnya.
Aku tertawa pelan. Sungguh, fantasinya amat lucu. Wajahnya juga dibuat-buat agar terlihat meyakinkan. Dia pergi. Benar-benar pergi dan tak kembali. Menyisakan sepatu talinya di bibir pantai. Menyisakan ceritanya yang disimpan laut dan tak pernah sampai secuil pun kepadaku.
Malam ini, sembari menanyakan kepada lautan tentang apa yang dikisahkan gadisku, aku membayangkannya berenang jauh di dalam sana bersama seekor putri duyung, mengarungi lautan yang luas. Menyatu dengan lautan.(*)
Jakarta, 14 Juni 2019
Halimah Banani. Penulis yang hobi tidur.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata