The Last Chispa
Oleh: Dyah Diputri
Pandanganku fokus pada Chispa, bunga percik api ajaib terakhir yang diberikan Dewa Api, dua puluh tahun lalu. Setiap tahunnya, satu Chispa akan tumbuh dan memberikan nyala api bagi Frimstopia. Orang-orang bilang, dahulu–sebelum bunuh diri–Raja Jemrick mengutus seorang ksatria untuk membunuh seorang wanita keturunan bangsa api, sehingga datang kutukan bagi kami. Setelah bunga ke-20 ini, tidak akan ada lagi bunga percik api yang menghangatkan negeri ini.
Perlahan, tenaga dalam yang kukerahkan memercikkan api dari kelopak bunga itu. Aku terlahir sendiri tanpa asal-usul yang jelas, disebut orang-orang sebagai gadis dengan energi campuran–perpaduan antara tanah dan api. Itulah sebabnya, aku satu-satunya yang bisa menyalakan Chispa terakhir. Lepas nyala membesar, aku ditugaskan masuk menembus api untuk menemui Dewa Api, lalu membuat permohonan agar menghentikan kutukan 20 Chispa. Semoga Dewa Api mengembalikan api untuk Firmstopia.
“Aku akan ikut dengan Grine,” ucap seorang pria di belakang, tepat saat kakiku akan menginjak nyala api.
Aku berbalik badan dan menatap pria itu. Adlor, pangeran Firmstopia. Dia mau menemaniku, bagaimana bisa?
Ratu Emrys mencekal tangan Adlor seraya berkata, “Apa yang akan kau lakukan, Ad! Dari mana kau temukan mantel itu?” Mata ratu itu berkilat-kilat. “Kau tidak perlu ikut Peregrine. Sudah tugas gadis itu menemui Dewa Api. Kau penerus negeri ini, jangan membahayakan diri!” tegasnya.
“Kenapa Ibu menyembunyikan mantel besi tahan api ini? Tidak, Ibu! Aku tidak akan membiarkan Grine pergi sendiri!”
Aku tidak peduli pada pertengkaran mereka. Apa yang harus kulakukan, akan kuselesaikan. Nyala api Chispa semakin membesar, dengan pasti kulangkahkan kaki menembusnya. Entah apa yang akan kulalui dan bagaimana caranya. Yang kutahu, aku ingin segera pergi.
Tubuhku seakan-akan bersahabat dengan api saat melewati sebuah lorong panjang. Darah dalam tubuh seperti bersorak akan kepulanganku menuju dunia api. Jiwa bergelora menembus kilatan api yang sambar-menyambar, tapi tidak menghanguskan. Beberapa saat kemudian, aku keluar dari lorong panas dan mendarat di sebuah dataran berwarna hitam pekat.
Aku memindai sekeliling. Tempat ini seperti hutan, dipenuhi pepohonan yang seperti habis diberangus api. Namun, pohon-pohon itu tetap menjulang tinggi dan kokoh. Langit semerah darah, padahal tidak ada matahari di sana. Malrish–pengasuhku–pernah bilang, tempat ini bernama The Death Forest. Aku harus berjalan lurus saja sampai melihat bukit yang bercahaya.
“Grine, tunggu! Berjalanlah lebih pelan.”
Aku terenyak. “Adlor, ouh maksudku Pangeran Ad. Kenapa kau ikut kemari?”
“Tentu. Mana bisa aku membiarkanmu mengemban tugas seberat ini sendiri?” Dia berucap riang. Memangnya dia pikir perjalanan ini menyenangkan? Bodoh!
“Jadi, mantel itu benar-benar bisa menembus dan tahan api?” tanyaku penasaran.
Aku kembali berjalan sembari menunggu jawaban Adlor. Adlor pun mengiringi langkahku. Sekilas ekor mataku menangkap senyumnya.
“Ya, begitulah menurut buku yang kubaca di perpustakaan. Kutemukan mantel ini di gudang. Mungkin, ayahku pernah memakainya.”
“Bodoh! Mantel itu mungkin bisa menembus api, tapi tubuhmu tidak akan mampu menahan hawa panas di sini!” ketusku.
Adlor hanya tertawa menanggapiku. Kami memang akrab sejak kecil, dan aku terbiasa bersikap keras padanya. Namun, aku tidak sedang bergurau. Ucapanku terbukti pada saat kami semakin masuk ke The Death Forest. Tidak ada air di sini. Aku masih kuat melewati belukar dan akar-akar pohon raksasa, sementara pria yang suka bergurau itu menunjukkan keletihannya. Keringat sebesar bulir jagung berjatuhan membasahi wajahnya. Bagiku, hawanya tidaklah panas, tapi entah bagi Ad ….
“Kau benar, Grine. Aku mulai kepanasan di sini.”
Sial, menyusahkan saja!
“Harusnya kau turuti perkataan ibumu untuk tidak mengikutiku. Bodoh, dasar bodoh!”
Perasaanku tiba-tiba jadi tak menentu. Aku merasa sebal dan marah yang kemudian berangsur-angsur menjadi benci. Namun, masih kubantu memapah tubuh limbung Adlor. Sebentar lagi kami pasti keluar dari hutan ini, yakin batinku.
Benar saja, beberapa saat kemudian kami sampai di ujung hutan. Hawa tidak sepanas di hutan mati tadi. Kuperintahkan Adlor untuk memainkan energi tanah sebisanya, demi kelangsungan tenaganya sendiri. Di depan sana terlihat bukit bercahaya: Merida Hill. Bukit yang cukup tinggi untuk didaki. Perjalanan ini masih akan berlanjut.
Perasaan kembali tidak menentu. Kupejamkan mata karena menahan nyeri di kepala yang tiba-tiba mendera. Dadaku terasa panas, terlebih saat muncul beberapa kepingan puzzle masa lalu di otakku. Beberapa bayangan kejadian yang menyesakkan hati, menyulut energi api dalam diriku.
“Jadi, bagaimana kita bisa sampai ke bukit itu?” Adlor menepuk bahuku. Rupanya dia telah selesai mengumpulkan energinya.
Tanpa alasan, aku berteriak kasar dan menepis tangan Adlor. Untuk hal sepele pun aku merasa marah, tanpa alasan jelas. Belum habis keterkejutan pria berambut pirang itu akan perangaiku, dari atas Merida Hill muncul sesosok naga yang kemudian terbang mengitari langit. Aku pun tak kalah kaget.
“Apa itu?” gumamku. Dengan cemas aku melangkah mundur, sebab naga sepanjang lima meter yang menyemburkan api berkali-kali itu sedang meluncur ke arah kami berdua.
“Awas, itu Uraga, Grine! Naga Dewa Api yang membenci bangsa Firmstopia. Terakhir dia membuat hangus bangunan dapur kerajaan!” Adlor mengingatkan.
Namun, terlambat untuk lari. Aku berdiri terpaku saat makhluk bernama Uraga itu menyemburkan api pada Adlor.
“Oh, tidak!” pekikku.
Semburan pertama, meski Adlor sudah berusaha menghindar, tapi api Uraga berhasil membuat mantel besi pria itu sedikit koyak. Adlor terjatuh ke belakang, kepalanya membentur batang pohon.
Uraga meliuk-liuk dan bersiap lagi menyemburkan api pada Adlor. Kali ini aku tidak bisa tinggal diam! Aku melesat secepatnya dan menjadi tameng Adlor. Api Uraga tersembur dan ….
“Wow! Ajaib, Grine!”
Api menyatu dalam tubuh. Hampir-hampir aku menjadi manusia api. Kemudian Uraga mengendus-endus diriku. Kusentuh kepalanya, dia pun mengangguk-angguk.
Ah, aku mengerti! “Kita bisa mendaki Merida Hill bersama Uraga, Ad.”
***
Menakjubkan! Ini pertama kalinya aku menunggangi seekor naga, bersama pangeran Firmstopia pula. Berkali-kali Uraga menyemburkan api ke langit yang merah. Adlor mencengkeram pinggangku, karena dia bilang sangat takut. Astaga, mana ada calon raja sepenakut dia!
Sesampainya di Merida Hill, Uraga kembali terbang dan menghilang. Kami berjalan lagi menyusuri bebatuan terjal. Rupanya batu-batu ini yang bercahaya, sehingga sinarnya menyilaukan saat memandang dari bawah tadi. Adlor mengungkapkan kegembiraan atas pengalaman ini dengan celotehan riang, sedangkan aku fokus untuk menemukan Madoc Cave–sebuah gua tempat Dewa Api bersemayam.
Di tengah jalan, lagi-lagi kepalaku terasa pening. Bayangan masa lalu kembali tercetak di ingatan. Seperti sebuah pencerahan, dan kali ini lebih jelas. Mendapati itu, tubuhku bergetar hebat. Tenaga api keluar begitu saja dari tangan, begitu besar dan bertubi-tubi tanpa sasaran yang jelas. Kuarahkan ke sembarang arah. Tidak, apa yang terjadi padaku? Kenapa aku begitu ingin marah? Aku tidak mampu menahan gejolak dalam hati sendiri. Setelah kehabisan energi, aku terduduk di bebatuan. Lelah.
“Grine, apa yang terjadi? Grine!” Adlor mengguncangkan badanku.
Apa yang bisa kukatakan padanya? Haruskah kubilang bahwa aku tidak ingin melanjutkan perjalanan ini?
“Hei, lihat! Di sana ada gua. Grine, kuatlah! Sebentar lagi kita bisa menemui Dewa Api dan memohonkan api bagi Firmstopia.”
Mataku terbuka lebar. Aku bangkit dan berlari menuju Madoc Cave yang ditunjuk Adlor. Mulut gua yang kecil diselimuti warna merah menyala. Sebuah tongkat emas sepanjang dua meter terbentang menutupinya.
“Peregrine Mora! Putri Api yang kembali.” Suara seorang pria tua mengagetkanku. Aku dan Adlor menoleh ke arah sumber suara.
“Si–siapa kau?” tanya Adlor.
Pria tua jangkung berjubah hitam itu malah menatapku. “Shada. Aku Shada, penjaga Madoc Cave. Masuklah, Dewa Api menunggumu.”
“Bagaimana aku bisa–“
“Ambil Caltima, tongkat emas itu milikmu. Hanya keturunan api yang bisa mengajukan permintaan pada Dewa Api.”
Semudah itu? Baiklah. Setelah Shada menghilang, kupastikan Adlor mengangguk pasti untuk ikut masuk ke gua. Dia siap. Kuambil Caltima yang melekat di pintu gua. Cukup sulit dan butuh beberapa waktu, tapi akhirnya aku berhasil. Kami pun mulai memasuki gua.
Ini tidak seperti dugaanku. Madoc Cave bukan gua biasa, melainkan gua neraka. Jalannya yang lebar dan panjang serta berkelak-kelok dipenuhi bara yang meletupkan api mahadahsyat. Hawa di sini panas, sangat panas. Bahkan, aku hampir tak tahan mencium aroma bara–seperti bara membakar daging busuk–yang menyengat hidung. Adlor pun demikian. Dia bilang mulai kepanasan dan memilih berhenti di sebuah ruangan gua yang agak luas. “Kita istirahat dulu,” ucapnya.
“Dasar lemah!” seruku.
“Grine, apa maksudmu? Tentu saja aku lelah dan kepanasan, aku bukan manusia api sepertimu!”
“Ya, kalian memang tidak berguna!” Olokan itu keluar begitu saja dari mulutku. Lagi, energi api keluar cukup banyak dari tubuhku. Aku tidak ingin, tapi … entahlah! Semakin aku mengingat kilasan peristiwa yang muncul di kepalaku berkali-kali, semakin besar amarah yang memuncak di ubun-ubun.
Hingga akhirnya keluar sebuah ucapan yang kuyakini membuat Adlor geram. “Aku tidak akan memohon untuk kalian. Firmstopia telah membunuh wanita keturunan api. Dia, wanita itu … mencintai ayahmu. Tapi, ibumu telah membunuhnya. Ratu Emrys telah membunuhnya! Kalian tidak pantas mendapatkan nyala api maupun Chispa sepanjang hidup!”
“Bedebah kau, Grine! Mustahil, omong kosong! Kenapa kau jadi begini!” Adlor berteriak, tangannya mencengkeram lenganku.
Dengan sekuat hati kutahan agar energi api tidak keluar dan melukainya. Namun, Adlor tidak tahu terima kasih. Dia mengambil paksa Caltima dariku dan dilemparkan ke tengah ruangan hingga menyuarakan bunyi ‘Boooom!‘
Terjadi gempa selama beberapa detik di dalam Madoc Cave, membuat cahaya api melindap dengan cepat. Gelap. Aku dan Adlor sama-sama terjatuh. Kemudian, terbentuklah sebuah lubang merah menganga di tengah ruangan itu. Hawa panas yang berkali-kali lipat dari dalam lubang itu menguap ke permukaan. Seperti ada sesuatu yang mendidih di bawah sana.
“Lebih baik aku mati, daripada memohon untuk kalian.” Mataku berair, bukan hanya karena menatap lubang panas itu, melainkan karena hatiku merasakan sakit.
Adlor bangkit dan berseru, “Benar kata orang-orang, walau sepercik, api tetaplah sebuah api! Kau memang api yang kejam, Grine!”
Air mataku tak terbendung lagi. Adlor begitu tega mengatakan hal itu, padahal selama ini aku hidup hanya untuk mereka, demi menghidupkan Chispa terakhir, hingga bertualang demi menemui Dewa Api–yang tidak jelas seperti apa wujudnya. Salahkah aku, bila dendam yang membara dalam jiwaku membuat aku mengambil keputusan yang tidak memihak kepadanya?
Gegas aku melesat mendekati lubang merah menganga dan mengambil Caltima yang tergeletak di tepiannya. Kalaupun aku harus mati, setidaknya mereka akan mati pula! “Meskipun hanya sepercik, api tetaplah memiliki hati, Ad. Itu jika kalian berani menghargai, bukan menyulutnya sampai menjadi nyala yang besar!”
Aku melompat ke dalam lubang. Teriakan Adlor terdengar menggaung. Aku tak peduli! Tubuhku tersedot semakin ke bawah, lalu tercebur dalam air berwarna merah yang meletup-letup. Untuk sesaat, kupikir tubuhku akan segera berganti menjadi daging rebus matang. Namun, ternyata aku masih berenang di sebuah kolam air hangat yang tidak terlalu luas dan dalam.
Adlor tidak menyusul. Aku mendongak dan menanti, tapi dia tak kunjung datang. Perasaan kecewa dan sakit hati menyergap bersamaan. Air mataku kembali meleleh. Sialan!
“Peregrine Mora!”
Badanku gemetar mendengar suara tanpa sosok yang menyerukan namaku. Kutoleh setiap sudut tempat yang masih dikelilingi api itu, tapi tidak kutemukan siapa pun.
“Dewa Api. Kaukah itu?” Aku menebak asal. Beruntungnya, tebakanku benar.
“Kau putri yang kembali untuk membuat permohonan! Katakan, apa yang kau inginkan?”
Suara berat itu membuat bulu kudukku berdiri. Aku memejam mata, berpikir dengan baik. Hatiku menyerukan kebencian pada Firmstopia, Raja Jemrick, Ratu Emrys, juga pada Adlor dan kenangan kami. Api di sekeliling menyatu dan menyelimuti tubuhku. Dengan tongkat emas di genggaman, aku mengucapkan sesuatu. “Aku membenci mereka, aku ingin mereka mati tanpa api ….”
***
Setahun kemudian.
Ratusan Chispa terhampar di setiap sudut rumah. Setiap kali mereka membutuhkan, bunga percik api selalu tersedia. Di tengah kota, Pangeran Adlor menaiki kereta kuda bersama pengantinnya. Dia tersenyum di antara keriuhan rakyat yang mengelu-elukan namanya. Semua orang berbaur dan berbahagia.
Aku merapatkan tudung kepala dan menepi dari keramaian. Kupandang satu Chispa yang kupetik di sebuah taman, tadi. Ingatanku melayang pada masa pengajuan permohonan pada Dewa Api, kala itu.
“Aku membenci mereka, aku ingin mereka mati tanpa api. Tapi, aku tidak mau menjadi api yang membakar apa pun karena dendam yang kubawa. Maka, kumohon … berikan api yang cukup untuk kebahagiaan mereka.”
Dewa Api mengabulkan permintaanku. Dalam sekejap, api yang menyelimuti tubuhku padam dan merupa abu, kemudian luruh. Kakiku … tidak lagi menapaki air merah yang meletup-letup, melainkan aliran air jernih setinggi lutut. Air itu mengalir menuju pintu gua yang berkabut.
Aku berjalan mengikuti aliran air. Di situ, di balik kabut air terjun, kulihat sosok wanita berambut kemerahan–sepertiku–tersenyum hangat. Wajahnya mirip denganku. Sangat mirip. Hal itu membuatku kembali menangis. Dengan suaranya yang lembut dia berkata, “Bukankah api masih memiliki hati? Terima kasih, karena telah menjadi Chispa yang manis dan berani.”
Setelah mengatakan itu, dia menghilang. Aku termangu melepas kepergiannya. Hatiku tidak lagi meradang, walau kuakui sedikit terluka. Mungkin ini terlambat, tapi aku berharap dia masih mendengarkan suaraku. “Ibu ….”(*)
Malang, 2 Maret 2020.
Dyah Diputri. Pecinta diksi yang tidak sempurna. bisa dihubungi di dyahdiputri@gmail.com atau akun Fb: Semutnya Al El
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata.