Sepatu untuk Hanura

Sepatu untuk Hanura

Sepatu Untuk Hanura

Oleh: Dyah Diputri

 

Seandainya kisah sepatu kaca Cinderella itu benar-benar ada, mungkin keadaan Hanura tidak semenyedihkan ini. Jika saja sepatu dari pangeran tampan yang dicobakan di kaki perempuan dua puluh empat tahun itu melekat pas di kakinya, tentu detik ini dia akan bahagia. Namun, sayang. Hanura tidak mendapat takdir seindah itu.

Berawal dari kisah sang ibu, yang diceritakan dengan mimik cemas, beberapa hari sebelum Hanura menikah. Gadis itu mendengarkan dengan saksama. Begitu tenang, seakan-akan perkataan ibunya tidak patut dikhawatirkan.

“Kamu berusia satu tahun saat itu, Nura. Bapak mengajak kita menghadiri acara ulang tahun bosnya di sebuah restoran ternama di pusat kota. Kita berangkat sore hari, sebab perjalanan memang cukup jauh.” Ibu Hanura mulai bercerita.

Tidak ada yang istimewa dalam kilas balik masa kecil Hanura tersebut. Si ibu mendadani Hanura dengan setelan celana dan baju motif bunga-bunga, kemudian melapisi lagi dengan jaket hangat dan topi rajut warna merah jambu. Tak lupa kaus kaki dan sepatu berbahan karet warna putih membuat penampilan Hanura kecil semakin menggemaskan. Sebenarnya ibu Hanura enggan ikut, tetapi suaminya tetap memaksa. Maka, sebisa mungkin wanita dengan paras selembut kapas itu membuat perjalanan putrinya nyaman, agar bocah itu tidak rewel apalagi sampai tantrum.

Namun, Hanura bukan balita yang biasa diajak bepergian jauh. Baru setengah perjalanan, dia mulai gelisah dalam gendongan ibunya. Dari merajuk, menendang-nendang kaki sambil melonjakkan tubuh kecilnya, hingga akhirnya menangis tanpa alasan jelas. Bapak Hanura tidak bisa menyetir dengan baik akibat guncangan di belakang punggungnya, dia sewot dan menepikan motor dengan segera.

“Bu, nggak bisa tenang Hanuranya, kenapa, sih?”

“Nggak tahu juga, Pak.” Ibu Hanura menenangkan putrinya dengan botol susu, tetapi Hanura menolak. Hanura tetap menendang-nendangkan kaki kanannya, dan barulah detik itu sang ibu menyadari sesuatu. Sepatu bagian kanan sudah tidak tampak di kaki mungil Hanura.

“Pantas dia rewel. Coba balik arah dulu, Pak. Siapa tahu sepatunya ketemu. Masa iya Nura pakai satu sepatu.” Wanita itu masih berusaha menenangkan anaknya.

Dengan perasaan dongkol, pria tiga puluh tahun menghidupkan kembali motor, lantas berbalik arah, berharap bisa menemukan sepatu Hanura. Namun, sepanjang jalan—di mana Hanura mulai rewel—tidak ada tanda-tanda keberadaan sepatu kecil itu. Lagi, ditepikan motor di dekat trotoar. Dia mendengkus seraya berkacak pinggang. Pikirnya, buang saja sepatu yang masih ada, besok-besok beli lagi!

Ketika berada dalam kebimbangan—meneruskan perjalanan atau tidak, kedua orang tua itu dikagetkan kedatangan seorang wanita tua. Orang asing yang entah dari mana datangnya. Katanya, “Kehilangan sepatu di jalan, ya, Nak? Itu pertanda buruk. Sampai kapan pun dia akan mengalami kehilangan. Berkali-kali.”

Baik bapak mapun ibu Hanura hanya memahami kalimat itu sebagai ramalan omong kosong. Dibiarkannya wanita tua itu bicara sesukanya dan menghilang di antara lalu-lalang kendaraan di jalan raya. Namun, yang terjadi setelah hari itu adalah kebenaran yang sesungguhnya.

Setiap kali diajak bepergian, sepatu Hanura akan lepas satu di tengah perjalanan. Padahal, ukuran sepatu yang dibeli ibunya sudah pas di kaki Hanura, tidak kekecilan ataupun kebesaran. Meski bukan masalah besar, lama-kelamaan bapak Hanura muak juga, sebab ke mana-mana selalu kehilangan sepatu. Bahkan, hal itu terjadi hingga Hanura berusia lima belas tahun. Kalau bukan sepatu, ya sandal! Entah apa yang terjadi pada gadis itu, sampai terkesan susah sekali akrab dengan alas kakinya sendiri.

“Ibu takut kalau omongan wanita tua itu benar.” Ibu Hanura mengakhiri cerita dengan suara lirih.

Hanura menggenggam tangan halus ibunya, kemudian mengusap-usap sebentar. “Itu, kan, cuma perihal sepatu, Bu. Kalau hilang, ya sudah! Tinggal beli lagi.”

“Bukan itu maksud Ibu. Sepatu itu selalu sepasang, Nak. Tidak bisa digunakan kalau hanya satu. Ibu takut, kalau kehilangan itu berarti luas dalam hidupmu.”

Hanura tersenyum simpul. Dia tidak bisa berpikir sejauh itu, seperti ibunya. Jika “pasangan” yang dimaksud adalah tentang kelanggengan hubungan rumah tangga yang akan dibangun dengan Musa, kekasihnya, itu bisa diusahakan dengan segala cara. Baik Hanura maupun Musa sama-sama tipe pasangan setia. Orang bisa dengan mudah kehilangan sepatu, tetapi tidak untuk sebuah ikatan.

“Seperti ukuran sepatu bagi setiap kaki, takdir yang dimiliki manusia itu punya ukuran yang tepat, Bu. Rezeki, pasangan, harta, semua pasti sesuai ukuran kemampuan masing-masing orang.”

Hanura mengakhiri kecemasan ibunya dengan pelukan dan kecupan hangat. Kemudian, dia berbaur bersama keluarga yang lain untuk memastikan persiapan pernikahannya dengan putra usahawan ternama di kotanya.

***

Seandainya kisah sepatu kaca Cinderella itu benar-benar ada, mungkin keadaan Hanura tidak semenyedihkan ini. Jika saja sepatu dari pangeran tampan yang dicobakan di kaki perempuan dua puluh tahun itu melekat pas di kakinya, tentu detik ini dia akan bahagia. Namun, sayang. Hanura tidak mendapat takdir seindah itu.

Hanura berteriak kesetanan dengan derai air mata yang seketika menghapus dempul tebal di wajah. Dia tidak peduli dengan roncean melati di sanggul yang tercerai-berai di lantai. Diguncang-guncangkan bahu calon suami yang ada di hadapannya. Namun, lelaki yang memacarinya selama tiga tahun itu tetap pulas berselimut kain kafan. Hati Hanura yang sudah koyak ketika mendengar kabar kecelakaan Musa, kini semakin hancur tak berbentuk. Raungan histeris mengangkasa, tetapi tidak berdaya mengembalikan nyawa yang sudah menggantung di udara.

“Sabar, Nak.” Ibu Hanura merengkuh jiwa depresi itu. Sama seperti saat anak gadisnya berkali-kali kehilangan sepatu pada masa kecilnya. Namun, dahulu tubuh Hanura tidak semeronta ini. Bibir mungilnya juga butuh beberapa saat untuk terdiam dengan sumbatan botol susu.

Wanita itu terus memeluk putrinya selama satu tahun, sampai pada saat yang Tuhan tetapkan untuk berhenti. Saat Hanura kembali tegar dan mampu berdiri tanpa genggaman tangannya, justru wanita itu yang memompa tangis Hanura. Dia pergi. Bukan karena ingin, melainkan karena itulah waktunya. Waktu yang mengharuskan Hanura kembali merana sebab kehilangan salah satu sepatunya.

Tersisa pria terkasih yang dipanggil “bapak” oleh Hanura. Pria yang banyak menyimpan kasih dalam hening, mengubur kecemasan dalam kepul asap rokok, tetapi justru meledak-ledak saat tidak mampu lagi mengubah kenyataan. Beberapa bulan setelah istrinya meninggal, beban di pundak akan masa depan Hanura kembali mendidih. Bagaimanapun tak acuhnya seorang ayah, dia tetaplah seorang yang berpikir dan terus berpikir.

“Menikah sama Kang Aji, ya, Nur. Itu … anak Haji Latif. Jangan selalu memandang ke belakang. Sudah saatnya kamu bahagia.” Bapak Hanura bicara sambil terus mengunyah sarapan yang dibuat anak semata wayangnya.

Kontradiksi dengan bapaknya, Hanura malah berhenti mengunyah. Nasi goreng yang belum terlumat halus oleh gigi ditelan bersama air liur yang mengintimidasi rasa gelisahnya. “Nura takut, Pak. Takut kehilangan lagi.”

“Ada saatnya kamu kehilangan. Ada saatnya juga kamu memiliki. Buang jauh-jauh kisah sepatu dan tangisan yang pernah diceritakan ibumu. Tidak ada hubungan antara semua itu dengan masa depanmu. Percaya sama Bapak.”

Hanura menimbang-nimbang dengan penuh rasa, tetapi hati memang sudah dikunci kata pasrah. Jika boleh jujur, cintanya hanya untuk mendiang Musa. Namun, ucapan bapaknya memang benar. Bukankah dia pun meyakini bahwa tidak ada sangkut pautnya antara kehilangan sepatu dan kehilangan orang terkasih?

Awal bulan Syawal, dia pun menjadi pengantin Kang Aji. Kecemasan yang sempat melintas saat mengingat hari kematian Musa, lebur oleh lancarnya akad nikah dan resepsi mewah. Dari panggung tempat mempelai duduk berdampingan, ekor mata Hanura melirik senyum puas sang bapak. Dia menghela napas lega, barangkali inilah saat untuk memiliki.

Pandangan Hanura kini beralih pada Kang Aji. Pria itu melengkungkan senyum manis sekali. Hanura mengucapkan terima kasih atas lamaran yang diajukan Kang Aji. Suaranya lembut di antara riuh suara penyanyi dangdut di atas panggung orkes. Semburat malu menyebar ke seluruh bagian wajah, entah kenapa Hanura mendadak terkesima.

Tidak butuh waktu lama, Hanura diboyong ke luar kota oleh Kang Aji. Bertempat tinggal di sebuah apartemen mewah, dia berusaha menjadi istri yang baik. Dijalani hari-hari dengan suka cita dan rasa syukur tak terhingga, walau Kang Aji selalu lebih banyak bekerja dibanding santai di rumah.

***

Seandainya kisah sepatu kaca Cinderella itu benar-benar ada, mungkin keadaan Hanura tidak semenyedihkan ini. Jika saja sepatu dari pangeran tampan yang dicobakan di kaki perempuan dua puluh tahun itu melekat pas di kakinya, tentu detik ini dia akan bahagia. Namun, sayang. Hanura tidak mendapat takdir seindah itu.

Hanura tertawa cekikikan sepanjang hari. Ia bersenandung menyanyikan lagu “Nina Bobo” seraya mengelus perut dan satu tangan menjambaki rambutnya sendiri. Sesekali dia mengamuk, lantas menggedor-gedor pintu kamar. Sudah dua bulan ini dia dikurung oleh bapaknya.

Inilah nasib yang diterimanya sebab ulah sepatu. Ya, orang bilang: Beli sepatu itu langsung ke tokonya! Cari nomor yang pas, dicoba, baru beli! Kang Aji bukanlah pasangan yang pantas dimiliki. Dia lebih tepat dihilangkan, jauh-jauh hari.

Berlatar belakang anak seorang haji, bukan jaminan perilaku seseorang. Hanura bisa tersenyum satu-dua bulan pasca pernikahan, bahkan tertawa riang setelah tes urin di pagi buta. Pria yang mulai dicintai, telah menanamkan benih di rahimnya. Namun, kata kehilangan itu sudah ada dalam takdir Hanura.

“Bajingan, Aji! Kamu membawa wanita lain di ranjang kita!”

Hanura—dengan perut sebulat bola basket—menjambak rambut wanita bergincu merah muda yang berbaring di singgasananya. Tidak peduli tubuh wanita itu hanya berlapis selimut, Hanura mengamuk mengeluarkan cakar.

Kang Aji yang baru keluar dari kamar mandi tidak menyangka kepulangan Hanura secepat itu. Dikiranya dua hari lagi sang istri selesai melepas kangen di rumah sang bapak. Melihat wanita simpanannya diseruduk tanduk Hanura, Kang Aji mencoba melerai.

“Hentikan, Nura! Kamu pikir kamu siapa? Seenaknya melarangku begini-begitu!” hardik Kang Aji, selepas tamparannya mendarat di pipi Hanura.

Hanura terkesiap. Ingin membantah, tetapi tak punya daya. Mendadak perut buncitnya berkontraksi dan membuat dia menjerit kesakitan. Dia meminta tolong, memegangi perut sambil terengah-engah mengatur napas. Sementara wanita yang bugil itu selesai berpakaian, Kang Aji tergopoh-gopoh mengantarnya keluar. Tidak. Tidak hanya mengantar, bahkan mungkin mencari tilam baru sebagai penuntasan libidonya.

Hanura menangis, kemudian tertawa. Tidak ada yang menolong sampai ia harus kehilangan bayinya. Dia pulang ke rumah bapaknya dengan air mata yang mulai menyusut, berganti tawa-tawa miris yang ditanggapi gelengan kepala para warga.

“Hanura sudah gila! Kenapa tidak dibawa ke rumah sakit jiwa, Badrun?” tanya salah seorang karib.

Bapak Hanura hanya melengos dan berlalu pulang jika mendengar suara sumbang di sekitarnya. Tentu bukan tanpa alasan dia mengurung Hanura di dalam kamar. Sudah tiba waktu anak perempuan itu memiliki sepatunya.

Bapak lima puluh lima tahun bernama Badrun itu mengusap kaki Hanura. Kelihatan sekali, Cinderella yang tidak pernah menemukan sepatu itu letih mengamuk sekaligus bernyanyi. Kasihan kamu, Nak. Selalu kehilangan dan kehilangan. Tapi, Bapak tidak akan membiarkanmu seperti ini terus, batin pria itu. Titik-titik air jatuh susul-menyusul mengikuti sesak dadanya.

Kemudian dia menggenggam tangan Hanura yang telah pulas. Beberapa saat kemudian, dia mulai merasa gerah. Lalu, panas! Panas yang membakar segala letihnya dalam menemukan sepatu untuk Hanura. Api sambar-menyambar seiring teriakan orang-orang di luar rumah, tetapi dia mulai tertidur seperti anaknya.

Sepatu kita tidak hanya ada di dunia, Nak. (*)

 

Dyah Diputri, Pecinta diksi yang tak sempurna.
FB: Dyah Maya Diputri

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply