Cerita Cinta Basi
Oleh: Cahaya Fadillah
Aku bisa apa, saat melihatnya lalu lalang di depan mata. Sesekali ia menoleh, memperhatikan sekeliling. Namun, yang kulakukan hanya sembunyi di antara tumpukan kardus-kardus tempatku menaruh barang untuk dijual. Biar apa? Biar tidak terlihat olehnya. Karena jika dia melihatku dengan tatapan itu, badanku seketika terasa kaku, pikiranku buntu, niat untuk senyum pun segera berlalu. Jadi, kupikir lebih baik aku bersembunyi di balik tumpukan kardus dan sesekali menatapnya dengan senyum paling manis yang aku punya. Walau kutahu itu percuma.
***
“Hai, boleh bantu aku?”
Suara itu mengejutkanku. Wanita dengan tinggi badan yang tidak seberapa di hadapanku itu, kukira cocok dan pas jika berada di pelukanku. Ah, bahkan aku berimajinasi lagi tentangnya. Garis bibirnya melengkung ke atas, ia tersenyum menatapku dengan deretan gigi besar ala kelinci. Tidak ada yang berubah pada senyumnya, masih saja si cantik kelinci kecil seperti dulu. Panggilan kesayanganku untuknya dan hanya aku yang tahu nama itu.
“Ah. Ya, Apa?” Tubuhku kaku, walau mataku masih bisa berputar, memperhatikan belanjaannya yang tumpah berserakan tepat di kakiku.
Seseorang memungut sayur mayur yang berserakan itu, mengambil kantong plastik besar di hadapanku. Lelaki itu memasukan bawang merah, kentang, cabai keriting, ikan, udang, ayam dan entah apalagi. Cekatan ia memberikan pada wanita itu dan menyerahkannya sambil tersenyum. Sekian menit berlalu, semua beres dan ia pergi begitu saja. Si wanita tersenyum dan mengucapkan terima kasih di belakang punggung lelaki yang tidak memberi kesempatan pada wanitu itu untuk bicara, bahkan tersenyum barang sedikit untuknya.
Kini, wanita itu menatapku dan mengembuskan napas. “Maaf, tidak jadi, udah dibantu. Berapa harga plastiknya?”
“Su-sudah dibayar tadi sama ….”
“Ohh, yaudah. Aku pulang.”
Kini aku hanya bisa menatap wanita itu dengan rasa bersalah. Ia meminta bantuanku, tapi apa yang kulakukan. Diam seperti mumi yang belum dibangkitkan. Bodoh, seperti patung pancoran yang hanya bisa diam. Menyebalkan.
***
Senyumnya terlihat manis hari ini. Gamis hijau dengan jilbab hitam panjang menutupi tubuhnya. Sederhana, tapi tampak memukau di mataku. Ia menatapku kali ini, tersenyum dan mengangguk seperti biasa. Lalu, pergi ke tengah pasar dan menghilang di balik tubuh pembeli lainnya.
“Kau menunggunya lagi?”
Suara itu tenang bertanya dengan hati-hati. Tapi, terdengar mencemooh di telingaku. Dia kakakku.
“Tidak, aku hanya berpikir.”
“Berpikir tentang dia lagi?”
“Dia siapa?”
“Dia yang mambuatmu melamun. Dia yang pakai baju hijau tadi. Dia yang sudah milik orang lain. Aih, bodoh!”
Aku tersentak oleh kata-kata terakhir yang sadar kalau ia memang tidak bisa kumiliki. Wanita yang kupuja sejak duduk di bangku sekolah dasar itu kini sudah dimiliki suaminya. Bodoh memang. Untukku yang belum bisa bicara tentang hati pada dia wanita yang selalu dicintai setengah mati.
***
Pagi ini, wanita itu mengenakan gamis kuning dan jilbab senada. Bibir mungil berwarna merah menyala itu terlihat kontras dengan penampilannya hari ini. Otakku mulai berpikir yang tidak-tidak. Lalu, untuk kesekian kali aku sembunyi di antara kardus yang ditumpuk tinggi. Semoga saja dia tidak melihatku kini.
“Assalamuallaikum, Idris ada?” Darahku terasa mengalir lebih cepat saat namaku ditanya.
“Ya-ya. Aku di sini.” Gagap aku mencoba menjawab dengan sikap yang selalu salah tingkah. Dua hari ini sudah kusetel tubuh ini untuk mencoba menampakan diri dan tersenyum padanya. Walau hasilnya selalu saja mengecewakan, aku sembunyi, gagap bicara dan wajah kaku tanpa senyum seperti menemukan mangsa.
“Ini, ada undangan reuni. Ikut, ya,” ucapnya menyerahkan sebuah kertas putih yang dilipat rapi.
“Ah, ya. Inshaallah.”
Yes. aku bisa menjawab kali ini. Senyumku tiba-tiba hadir di wajah ini, membuat dia tersenyum kembali dan hatiku seketika menghangat.
“Oke. Aku pergi. Assalamualaikum,” ucapnya mengatup tangan di dada. Permisi.
“A-aku ingin bicara.”
“Ya, ada apa?”
“Kamu mau menikah denganku?”
Mata sipit itu tiba-tiba melotot menatapku. Entah apa yang bisa diartikan dari tatapan itu. Yang pasti mata itu seakan ingin melahapku mentah-mentah.
“Kamu gila!”
Tidak pernah lagi ada senyum sejak saat itu. Bahkan, setiap berpapasan pun dia menatap lurus seakan tidak ada aku. Bajingan memang.
Cahaya Fadillah, Ibu satu anak yang hobi menulis sejak sekolah dasar. Karyanya sudah ada di beberapa antologi. Ingin kenal lebih dekat bisa hubungi : IG @catatancahayafadillah dan Wattpad : @CahayaFadillahStory
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata.