Wejangan Seterang Rembulan

Wejangan Seterang Rembulan

Wejangan Seterang Rembulan
Oleh : Zufarie Mariyanto

Tak kusadari, aku telah meninggalkan berbagai kenanganku bersama Ibu. Bak rembulan yang ditelan awan mendung, sang rembulan berusaha memunculkan diri. Tampaknya dia tak mau tersekap oleh kegelapan. Meski awan mendung adalah pertanda akan turunnya hujan, namun rembulan itu merasa dirinya berperan besar sebagai penghibur pada suramnya malam.

Bagi Ibu, aku adalah kakuatannya. Hidupnya amat rapuh semenjak ditinggal oleh Ayah menikah dengan wanita lain. Di saat dia berjuang mempertahankan hidupku yang terancam lahir dengan keadaan tak bernyawa, keajaiban dari Tuhan benar-benar mendatangiku.

Akhirnya, aku lahir dengan selamat tanpa keberadaan seorang ayah yang menyambut kehadiranku ke dunia. Usai berjuang melahirkanku—dengan wajah yang berurai air mata sembari mengelus-elus lembut kepala mungilku—Ibu memberiku nama Leona Karla yang artinya singa betina yang kuat.

Aku berasal dari keluarga miskin. Sekarang aku bekerja sebagai manajer pemasaran di sebuah perusahaan properti milik temanku. Memang sebuah keberuntungan sekaligus kebahagiaan untukku ketika mendapatkan pekerjaan yang sangat membanggakan itu.
Roni, seorang pengusaha kaya. Dia temanku, lebih tepatnya teman sewaktu SMA. Ketika dia mengetahui aku menyelesaikan program S2-ku di sebuah universitas di kota Jogja dengan jalur beasiswa, dia bergegas menguhubungiku. Dia memintaku untuk mengisi posisi manajer pemasaran di perusahaannya.

Muka kusutku berubah cerah seketika. Di sisi lain, aku heran dengan penawarannya. Di saat banyak fresh graduated yang tentunya dari jenjang pendidikan yang sama denganku mengajukan surat lamaran ke perusahaannya, dia menolak seluruhnya. Dan tanpa berpikir panjang, memutuskan akulah yang harus mengisi posisi itu. Itu sekilas cerita tentang pekerjaanku yang mengejutkan namun juga menggembirakan.

Sekarang hidupku terbilang makmur. Segalanya telah aku kantongi. Apartemen pribadi yang cukup besar, mobil mewah, dan tabunganku yang setiap bulan bertambah gendut saja. Memang itulah kehidupan yang aku dambakan dari dulu yang bercita-cita menjadi wanita karier.

Aku juga selalu berusaha tak melupakan kewajibanku sebagai seorang hamba. Aku tak mau lupa diri dengan apa yang telah kudapatkan. Hingga saat ini banyak dari temanku yang kesulitan mencari kerja. Sedangkan diriku? Hanya tinggal terima telepon dari seorang teman, kemudian mulai bekerja dengan sebaik-baiknya.

Hanya satu yang kurang.

Aku berpendidikan tinggi. Aku belajar dengan sangat keras demi memperoleh nilai yang memuaskan. Diterima kerja di perusahaan besar adalah impianku. Kekuarangan itu membuat jiwaku kehausan. Aku haus akan pendidikan dari Ibu. Sebuah pendidikan yang tak kuterima dari tempat menimba ilmu mana pun. Di sekolah, di bangku kuliah, bahkan di majlis taklim yang biasa kuikuti satu minggu sekali. Sebuah pelajaran hidup yang lama tak kudengar, kurasakan dan kurenungi. Sebab, aku jauh dari Ibu.

Lama sekali aku berpisah dengannya. Sejak beliau memutuskan untuk menjadi TKW di negeri Gajah Putih ketika aku menerima beasiswa S1, dan belum kembali sampai sekarang. Beliau menganggap bahwa dengan beasiswa itu, aku akan lebih mandiri. Bisa memenuhi kebutuhanku sendiri. Mungkin aku bisa bekerja paruh waktu. Dan itu yg kujalani selama menjadi mahasiswi.

Tiada kabar sama sekali darinya. Dan aku rindu. Aku rindu wejangan seterang rembulan. Rembulan yang kugenggam saat ini semakin redup. Tiada yang memberinya semangat untuk terus menyala. Rembulan yang kuibaratkan sebagai kedamaian jiwaku. Ketika wejangan Ibu memasuki pendengaranku, maka rembulanku akan bersinar terang.

Bagiku, wejangan Ibu adalah pendidikan yang tak bisa dibandingkan oleh apa pun, bahkan pendidikan S2-ku sekalipun. Atau juga kemewahan yang diberikan oleh hasil kerjaku saat ini.

Bagiku, pendidikan gratis yang tak pernah pamrih dan tak pernah kenal lelah dari Ibu lebih membanggakan dari perusahaan yang dibangun oleh Roni, yang dengan segala perjuangan dia membesarkannya hingga bisa seperti saat ini.

Bagiku, pelukan dari Ibu dan belaian tangannya jauh lebih nyaman dari apartemen mewah yang sekarang kutempati.

Bagiku, lahir dari rahim Ibu adalah keajaiban terindah dari Tuhan yang pernah kumiliki. Segalanya yang kupunya tak bisa menandingi wejangan dari Ibu. Wejangan seterang rembulan adalah pendidikan paling bermakna yang kuterima selama hidupku.

Di suatu malam, aku terpaksa berjalan dari lokasi kantor tempatku bekerja menuju apartemen. Tak tahu kenapa, aku hanya ingin melakukannya saja.

Ketika seorang teman menanyaiku mengapa melakukan hal itu, cukup senyum simpul yang kuperlihatkan di penglihatannya. Tak perlu kujawab panjang lebar. Itu caraku mengekpresikan kesunyian jiwaku yang sekarang amat hampa.

Aku terus berjalan sembari berpikir betapa jahatnya aku selama ini yang sempat tak mau tahu bagaimana keadaan Ibu. Mungkin gara-gara Ibu yang tak pernah sama sekali menghubungiku.

Ya, sejak aku menjalani hidup sebagai seorang mahasiswi, aku merasa bahwa Ibu terlampau tega padaku. Dengan meninggalkanku seorang diri dan lebih memilih merantau ke luar negeri.

Kata Ibu, aku adalah kekuatannya. Akan tetapi, ketika dia meninggalkanku, aku sempat berpikir bahwa dia tak lagi memerlukan kekuatan. Ibu sudah kuat, dan memang Ibu adalah wanita yang kuat.

Baru kusadari sekarang, bahwa Ibu pasti ada alasan tertentu. Sebab, aku sangat mengenal ibu. Aku tahu persis sifat Ibu. Dalam hati terdalamnya pasti menangis dan menangis sejadi-jadinya. Meski tangisan itu tak dia tampakkan di wajahnya yang teduh itu.

Betapa rindunya aku dengan Ibu. Kulacak akun Facebook Ibu, dan akhirnya aku berhasil menemukannya. Kemudian kukirim pesan kepadanya sembari berdoa dalam hati semoga beliau mau membalasnya.

Aku menyapanya dan berkata bahwa aku sangat rindu padanya. Aku rindu pelukannya. Aku rindu wejangannya yang mampu menuntun ke jalan yang benar.
Kesaktian wejangan Ibu telah mengalahkan canggihnya kepandaian yang aku dapatkan yang sekarang mampu mengubah hidupku menjadi wanita kaya.

Suatu hari, aku hampir saja terjerumus ke dalam pergaulan bebas. Setiap aku ingin menuruti ajakan teman-temanku, wajah Ibu selalu tampak di hadapanku seraya mengatakan, “Jangan lakukan itu, Nak. Kau satu-satunya putri Ibu yang berharga. Kau kekuatan Ibu.”

Aku tak jadi melakukannya. Kata mereka aku kuno, tak mampu bergaul dengan baik, dan sok suci. Tapi, wejangan Ibu membuatku kuat menghadapi semua cemooh dari mereka.

Beberapa hari kemudian, Tuhan mengabulkann doaku. Pesanku dibalas oleh Ibu. Air mataku jatuh. Aku bahagia. Kesunyian jiwaku sirna seketika. Ibu masih mengingatku.

Ya, Ibu tak mungkin melupakanku. Pikiran kotorku itu perlahan hancur bak jejak yang lebur oleh guyuran air hujan.

Rembulanku kembali terang. Tawa di wajahku semakin mengembang layaknya bunga yang sedang mekar.

“Kapan Ibu pulang?” tanyaku ragu.

“Tunggu seminggu lagi, jemput Ibu di bandara Juanda, ya. Kita pulang ke rumah bibimu.”

Aku kegirangan. Malam itu aku seperti kembali menjadi gadis kecil yang menanti kepulangan ibunya setelah lama tak berjumpa.

Langsung saja aku menghubungi Roni untuk mengambil cuti kerja. Sebagai teman, Roni mengerti keadaanku. Dia memberiku cuti selama satu minggu dari hari kedatangan Ibu ke Surabaya.

Dan kuucapkan selamat datang kembali wejangan seterang rembulan.(*)

 

Zufarie Mariyanto adalah penulis yang dilahirkan di Tuban, Jawa Timur. Saat ini dia menempuh pendidikannya di Universitas PGRI Ronggolawe Tuban program studi Ilmu Komunikasi, dan aktif sebagai anggota dalam organisasi KSR PMI UNIROW Tuban.

Menulis sudah menjadi aktivitas yang menyenangkan baginya sejak masih belajar di Madrasah Aliyah Al-Musthofawiyah, Palang, sekaligus dia ingin menebar kebaikan kepada sesama manusia melalui kata-kata yang dia goreskan dalam karya-karyanya. Karya yang sudah terbit adalah Kau Seumpama Bintang Fajar (novel), Kado Cinta untuk Zahra (kumpulan cerpen), dan Diannova (novel).

Jika ingin mengenal lebih dekat dengan penulis, bisa dihubungi melalui akun Facebook: Zufarie Mariyanto atau Instagram: zufarie_mariyanto.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata.

Leave a Reply