Ratih

Ratih

Ratih
Oleh : Siti Nuraliyah

Pengumuman kelulusan sudah ditempel di mading sekolah. Satu per satu siswa Permata kelas XII saling ingin melihat lebih dulu, berdesakkan. Tidak lupa, Sella dan Ratih ada di antara kerumunan siswa tersebut. Rahma ada di urutan pertama dengan nilai UN paling tinggi, kemudian Ratih di urutan kelima. Ya, siapa sangka Ratih memang termasuk siswa yang cerdas. Dia hanya salah dalam bergaul dan memilih teman.

“Pa, Ratih lulus. Nilai Ratih bagus. Papa nggak ada rencana mau pulang, ya?”

“Syukurlah …. Papa belum bisa pulang dalam waktu dekat ini, Tih! Tapi, uang bulan ini sudah papa transfer. Kerjaan di sini masih belum bisa papa tinggalin.”

“Nggak bisa ninggalin kerjaan, apa nggak bisa ninggalin Tante Rika?” sindir Ratih ketus.

“Sampai kapan kamu mau manggil mama kamu dengan sebutan tante, Tih? Dia itu sekarang mama kamu.”

“Mama Ratih udah nggak ada, Pa. Ratih cuma punya mama sampe kelas 2 SMP. Sejak papa menikah lagi sama perempuan itu, papa udah nggak pernah lagi perhatian sama Ratih.”

“Nggak perhatian bagaimana maksud kamu? Uang tiap bulan papa selalu kirim, papa bebasin kamu pilih sekolah yang kamu mau. Sekarang, papa bebasin juga kamu pilih kampus di mana pun. Papa nggak pernah ngekang. Kurang apa lagi coba?” Suara di ujung telepon itu meninggi, sedangkan Ratih berusaha menekan nyeri di dada.

Segala yang dia punya tidak memberi bahagia. Itulah sebabnya, mengapa dia selalu bertingkah beda di sekolah. Seorang anak yang kurang mendapat perhatian batin dari orangtuanya, dia akan mencari perhatian lain. Tiba-tiba, seseorang menepuk pundaknya dari belakang.

“Ya ampun … dicariin dari tadi, ternyata di sini! Ngapain sih, di belakang sekolah sendirian? Nggak takut hantu, Tih?” Sella ikut duduk di sampingnya meluruskan kaki sambil ngos-ngosan. “capek juga gue!”

“Abis telepon Papa, Sell!” Dia berkedip beberapa kali dengan cepat, menahan air matanya yang menggenang agar tidak tumpah.

“Ditungguin temen-temen, tuh. Kita have fun, yuk!”

***

Hari sudah malam, Bu Lastri bolak-balik di teras rumahnya sambil beberapa kali melihat ke arah rumah Ratih yang hanya berjarak beberapa meter dari rumahnya dengan cemas. Hari ini anak itu pergi tidak membawa mobil, sepertinya dijemput temannya.

Anak itu sungguh keras kepala. Berkali-kali Bu Lastri menawarkan agar tinggal di rumahnya saja, dia selalu menolak. Alasannya dia tidak mau merepotkan.

Tiba-tiba sebuah mobil berwarna hitam berhenti tepat di depan rumah Ratih. Seseorang mendorong Ratih keluar, kemudian mobil itu melesat kembali dengan cepat.

Melihat keponakannya pulang dalam keadaan mabok dan baju sobek di sana-sini, Bu Lastri histeris. Dia kemudian berlari menghampiri Ratih yang terseok-seok hendak meraih gagang pintu.

“Ratih! Ratih, apa-apaan kamu ini, hah?” Bu Lastri panik mendapati Ratih yang tiba-tiba pingsan.

Aroma alkohol menyeruak menusuk hidung, lebam serta luka di ujung bibirnya membuat Bu Lastri naik pitam. Marah? Iya. Dia tahu kepada siapa dia harus luapkan kemarahannya.

“Pak … Pak! Ratih, Pak.” Bu lastri memanggil suaminya. Pak Surya keluar sambil membetulkan sarungnya.

“Astaghfirullah … Ratih kenapa, Bu?” Setengah berlari Pak Surya menghampiri Bu Lastri yang kesusahan menahan tubuh Ratih. “Kita bawa masuk dulu. Sebaiknya kita bawa ke rumah kita saja, Bu. Di sini nggak ada siapa-siapa. Mbok Darmi sepertinya sudah pulang sejak sore tadi.”

“Ya udah, ayo!”

“Biar Bapak aja yang gendong, Ibu bawa tas Ratih.”

***

Setengah jam, Ratih baru siuman. Dia merasakan perih pada luka di ujung bibirnya. Bu Lastri menghampiri dengan semangkuk bubur ayam di tangannya.

“Makan dulu, Tih. Tante suapin. Lukanya sudah tante obatin tadi.”

Mata Ratih berkaca-kaca, dia tidak bisa menahannya, tangisnya pecah. Dipeluknya Bu Lastri dengan erat.

“Maafin Ratih, Tante. Ratih sudah hancur. Ratih udah nggak punya harapan lagi di masa depan. Tante nggak usah peduliin Ratih, Ratih pengen mati aja!”

Di antara isak tangis, suara Ratih timbul tenggelam. Setelah Bu Lastri menenangkan, dia menceritakan semua yang dialaminya. Mata Bu Lastri membulat, ditahannya amarah yang menggebu kepada kakaknya, papa Ratih.

“Semua ini karena papa kamu, Ratih. Dari dulu tante nggak setuju papamu menerima proyek di luar kota, nikah sama perempuan yang haus uang itu, dan ninggalin anak perempuan sendirian di rumah.” Bu Lastri menarik tubuh Ratih ke pangkuannya, dibelainya lembut rambutnya yang pirang. Ratih terus terisak, menyesali perbuatannya.

“Maafin tante, ya, Tih. Tante juga banyak salah, kadang terlalu sibuk sama urusan sendiri.” Ratih menggeleng, isak tangisnya terdengar pilu.

Seketika hening, hanya terdengar helaan napas yang berat dan suara cairan yang dihirup dari hidung.

“Tante janji akan menyimpan rapat-rapat semuanya.” Bu Lastri menghela napas sesaat, kemudian melanjutkan kalimatnya. “Itulah sebabnya, kenapa dalam Islam perempuan mesti pandai menjaga diri dan wajib menutup aurat.”

Matanya menatap kosong entah ke mana.
Kemudian Bu Lastri beranjak dari tempat duduknya, menyiapkan air panas untuk Ratih mandi dan mengambil beberapa potong baju dari rumah Ratih serta berkas-berkas untuk persyaratan masuk kuliah agar diurus oleh suaminya.

Tidak sabar, Bu Lastri segera menelepon kakaknya mengabarkan keadaan Ratih. Alih-alih mendapat respons baik atau berterima kasih karena anaknya sudah dirawat, dia malah disalah-salahkan.

“Bang, ini salah kamu terlalu memanjakan Ratih. Aku tidak bisa 24 jam memantau Ratih. Harusnya Abang sebagai orangtuanya! Apa gunanya menikah lagi, Bang? Ratih itu butuh sosok orangtua yang perhatian, bukan cuma uang. Ratih itu butuh kalian.”

Suara Bu Lastri sedikit ditahan agar Ratih tidak mendengar. Tubuhnya gemetar akibat amarah yang tak tuntas. Meski Ratih tidur di kamar anaknya di depan, namun hening jam satu pagi ini membuat suara sehalus apa pun dapat didengar. Pak Surya duduk di sampingnya mengusap pundak Bu Lastri menenangkan.

“Tanggung jawab orangtua itu bukan hanya memberi nafkah makan untuk anaknya, Bang. Tapi juga memberi pendidikan dan menanamkan iman agar bila sudah dewasa nanti anak tidak salah jalan dan mencari perhatian di luar keluarganya. Kita semua bakal mati, Bang. Anak itu aset kita menuju akhirat. Yang mendoakan kita setalah kehidupan ini siapa kalau bukan anak yang ….” Suara Bu Lastri terhenti, berganti dengan isak tangis. Air matanya menderas.

“Kamu ini terlalu banyak ikut pengajian, Lastri. Sudahlah, nggak usah terlalu dibesar-besarkan. Namanya juga anak muda, kalau ada apa-apa tinggal panggil polisi aja. Beres. Ya udah, aku titip Ratih di rumah kamu dulu. Sudah ya, aku ngantuk. Malam-malam telepon dikira ada apa.”

Lantas sambungan telepon dimatikan. Bu Lastri meradang, hatinya sakit mendengar ucapan kakaknya yang sama sekali tidak ada rasa peduli kepada anaknya sendiri.

“Sudah … sudah ya, Bu. Istighfar.” Pak Surya terus memeluk istrinya, menguatkan.

“Besok Bapak urus berkas-berkas Ratih. Di kampus tempat teman bapak mengajar ada asramanya. Kita bujuk Ratih supaya masuk kampus Islam biar dia bisa belajar agama dengan baik. Kalau orangtuanya tidak mampu memberi pendidikan agama kepada anaknya, sekarang banyak lembaga yang menyediakan. Kita berdosa bila zaman sekarang anak tidak tau aturan agama hanya karena orangtuanya nol pendidikan agamanya.”

***

Bertahun-tahun Ratih berusaha melupakan masa-masa gelap yang pernah dialaminya. Dia tidak tahu di mana teman-temannya yang dulu dengan sengaja ikut melecehkannya, yang hanya menonton saat dirinya digerayangi teman laki-lakinya. Bila teringat itu, Ratih selalu terisak di sepertiga malam. Dia merasa Allah begitu luas karunia-Nya.

Sekarang, dia satu kamar dengan seseorang yang dulu dia tidak suka, yang dulu dia benci karena merasa tersaingi. Bukan, bukan karna dia lebih cantik, melainkan karna dia lebih dihormati oleh teman-temannya dan dihargai oleh banyak guru. Dia adalah Rahma. Ya, siapa sangka Rahma-lah sekarang yang menjadi penguat bagi Ratih. Rahma sempat kaget ketika Ratih menyampaikan keputusannya untuk menggunakan cadar.

“Akhir-akhir ini aku merasa malu kalau wajah aku ditatap orang, Ma.”

“Masya Allah, berarti itu suatu kemudahan. Aku aja masih belum bisa, Tih. Aku seneng banget. Mudah-mudahan kamu istiqomah.”

Rahma memeluk Ratih. Air mata haru menggenang dari pelupuk matanya, membasahi punggung Ratih. Semoga kita bersahabat sampai surga, bisiknya.

***

Malam ini, Ratih merasa belum siap. Dia merasa tidak pantas. Bukankah dua bulan yang lalu, Rahma memberi kabar jika dirinya diajak ta’aruf oleh Pak Adam. Mengapa dia yang sekarang menjadi istrinya. Bayangan kebaikan Rahma terus berputar di kepalanya. Tiba-tiba, bulir bening meluncur membasahi pipinya.

“Sayang ….” Adam merasa bersalah, apa dia menyakitinya? Apa Ratih terpaksa menikah dengannya? Diusapnya pipi Ratih yang basah. Desir halus menjalar di sekujur tubuhnya, saat jari kokohnya menyentuh lembut pipi Ratih yang halus.

“Pak Adam ….” Ratih beringsut menjauhkan tubuhnya, hendak memakai kembali cadar yang tadi sempat dilepas. Adam tersenyum, dia merasa gemas murid centilnya berubah seanggun merpati.

“Apa Pak Adam tidak jijik sama Ratih, sama kelakuan Ratih dulu, sama masa lalu Ratih?” Dia memilin ujung jilbab. Diraihnya tangan Ratih oleh Adam membuatnya semakin gemetaran.

“Seburuk apa pun seseorang di masa lalunya, masa depannya masih belum terjamah.” Adam membawa tangan Ratih dan meletakkannya di dada. Ratih masih menunduk, bulu mata lentiknya berkedip indah.

“Bila ternyata Ratih sudah tidak perawan, bagaimana?”

Ratih memberanikan diri membalas menatap wajah Adam, mencari kejujuran di kedua bola matanya. Mata Ratih semakin berkaca-kaca, hidung minimalisnya semakin memerah. Dia menggigit bibirnya menahan tangis. Adam bergeming, kemudian menghela napas dengan berat.

Tiba-tiba, Ratih menjatuhkan tubuhnya di lantai, mencium kaki Adam yang menjuntai di sisi ranjang. Berkali-kali mengucap maaf. Hati Adam terenyuh, dia tidak tega. Dipeluknya Ratih yang sudah lemas akibat tangisannya.

“Aku memaafkan semua buruknya masa lalumu. Ratihku, sejak ijab qabul dilafalkan, sejak tanganku digenggam oleh tangan papamu, aku bertanggung jawab atas semua air matamu serta semua bahagiamu.”

Ratih semakin terharu, isaknya mulai reda. Dia tidak sadar, kepalanya bersandar di dada bidang Adam. Sebagai lelaki dewasa, Adam semakin gelisah menyaksikan pemandangan indah di pelukannya. Mata Ratih terpejam, Adam perlahan menurunkan kepalanya hendak mencium kening Ratih. Ratih tersentak, matanya membulat.

“Bang, kita belum salat, eh maksudku Pak Adam, eh ….” Ratih gelagapan, grogi. Senyumnya mengembang.

Senyuman pertama yang dilihat Adam sejak beberapa jam Ratih sah menjadi istrinya.

Genderang di dadanya seperti ditabuh, bersahutan dengan debaran yang tidak bisa lagi ditahan.

“Sekarang panggil aku dengan sebutan Abang, Sayang!” Adam mengedipkan sebelah matanya ke arah Ratih, membuat rona merah di pipinya semakin indah.(*)

Siti Nuraliyah. Perempuan sederhana yang punya hobi membaca, suka menulis apa saja yang disebutnya sebagai puisi.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata.

Leave a Reply