Death (Part 3)
Oleh : Sinta Dewi S.
Setelah beberapa waktu perjalanan, Fahmi pun sampai di Kota Surabaya. Macet masih menjadi tradisi di kota itu. Panas menyengat mulai dirasakan Fahmi, keringat pun tak henti bercucuran di tengkuknya. Sesekali dia seka lehernya yang mulai berair.
Jam tangan yang melingkar di pergelangannya terus dia perhatikan, berharap agar segera sampai di tempat tujuan. Pengap dan sesak Fahmi rasakan ketika memandang keluar jendela mobil. Asap knalpot dari bermacam kendaraan seolah menari ria di atas udara.
“Sudah sampai, Pak,” ucap Pak Ruslan.
Fahmi yang tengah sibuk memainkan handphone-nya pun berhenti ketika mendengar Pak Ruslan memberitahukannya bahwasannya mereka telah sampai.
“Oh iya. Terima kasih, Pak!!” ucap Fahmi lalu membuka pintu mobil.
Dipandangnya mess yang disediakan oleh perusahaannya. Tidak terlalu kecil untuk ukuran sebuah tempat tinggal sementara. Bangunannya masih tampak kukuh meskipun sedikit kotor karena memang selama ini tidak pernah ditempati.
Pak Ruslan membantu mengangkatkan koper-koper milik Fahmi hingga ke depan rumah.
“Pak, apa Bapak masih perlu bantuan saya?” tanya Pak Ruslan.
“Ah tidak usah, Pak. Hanya, lebih baik Bapak istirahat dan menginap di sini saja. Karena perjalanan jauh, Pak Ruslan juga harus istirahat,” tawar Fahmi kepada sopirnya.
Pak Ruslan mengangguk menerima tawaran Fahmi, karena sebenarnya dia pun sudah lelah menempuh perjalanan jauh Bandung-Surabaya.
“Assalamualaikum,” ucap seseorang yang tiba-tiba datang.
“Waalaikumsalam,” jawab Fahmi dan Pak Ruslan bersama.
“Bapak siapa?” tanya Fahmi kepada seorang bapak paruh baya itu. Dari pakaiannya, dia sepertinya seorang tukang kebun.
“Saya yang menjaga mess ini, Pak. Apakah Bapak ini Pak Fahmi?” Dia balik bertanya.
“Iya, saya Fahmi. Dan ini Pak Ruslan. Sopir perusahaan. Oh … jadi bapak yang menjaga mess ini. Dengan bapak siapa, ya?”
“Iya, Pak. Saya Pak Warman. Mari, silakan masuk. Saya bukakan pintunya,” Ajak Pak Warman kepada Fahmi dan Pak Ruslan.
Mereka pun berbincang sebentar sebelum akhirnya istirahat.
***
Esok harinya Fahmi mulai aktif di kantor cabang Surabaya. Dia memperkenalkan diri sebagai manager baru di perusahaan.
Suasana kantor tampak begitu lengang pagi ini. Aktivitas karyawan hanya sekadar biasa saja. Mereka bingung dengan kedatangan Fahmi di kantor itu. Tampak beberapa dari mereka berbisik, mempertanyakan siapakah Fahmi. Ada pula yang tersenyum ragu menyapa ketika tak sengaja berpapasan dengan Fahmi.
“Pak …,” sapa seseorang dari belakang Fahmi. Fahmi pun berhenti dari aktivitasnya yang memperhatikan kantor. Dia berbalik.
“Iya.”
“Perkenalkan, saya Danu. Saya diutus Pak Gibran untuk membantu Bapak di sini,” ucap seseorang yang bernama Danu, lalu mengulurkan tangannya untuk berjabatan.
“Oh ya. Saya Fahmi. Pak Gibran juga yang mengutus saya untuk menangani perusahaan di sini,” jawab Fahmi sembari membalas uluran tangan Danu.
Kemudian Danu mulai memberitahukan kepada Fahmi bagaimana keadaan perusahaan. Mereka saling membantu satu sama lain. Meskipun posisi Fahmi lebih tinggi dibandingkan Danu, namun mereka tidak menjadikan hal itu sebagai penghalang pertemanan mereka.
***
Di Bandung, Ahtar yang sudah bersiap menghadapi ujian nasional pun terus berpacu mengasah otaknya. Dia ingin cita-citanya berkuliah di universitas ternama di Surabaya bisa terwujud.
Segala upaya dia lakukan agar bisa menjadi siswa terbaik di sekolah. Semua materi pelajaran dia terima dengan baik.
“Hai, Tar. Mau ke kantin?” tanya Zhea. Gadis yang selama ini dikenal angkuh dan sombong. Dia sangat menyukai Ahtar, sampai-sampai dia rela meninggalkan Hendra yang sudah bersamanya semenjak SMP.
Itu tidak mengherankan, karena Ahtar memang memiliki paras yang tampan. Sehingga banyak gadis, termasuk Zhea, yang menginginkannya.
“Nggak, Zhe. Gue masih ada tugas!” Ahtar menolak dan kembali mengerjakan tugasnya.
“Yah, Tar, sebentar aja. Mau, yaa?” bujuk Zhea sekali lagi. Sekarang dia mulai bergelayut manja di lengan Ahtar.
Ahtar merasa risi dengan tindakan Zhea yang manja kepadanya. “Nggak, Zhe. Kalo elo mau ke kantin, pergi aja. Gue lagi nggak pengen pergi ke kantin,” jawab Ahtar, berusaha melepaskan tangan Zhea yang melingkar di lengannya, kemudian kembali fokus pada bukunya.
“Ih, begini amat, sih. Gak peka jadi cowok!” kata Zhea, ketus. Dia kecewa lalu pergi meninggalkan Ahtar yang masih tetap fokus mengerjakan tugas.
Ahtar pun menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah Zhea.
***
Anita masih sibuk di butik miliknya. Hari ini pelanggan lumayan banyak sehingga dia kewalahan. Mira dan Wanda—pegawainya—juga terlihat lelah, sesekali mereka tampak mengelap keringat di dahinya, kemudian berulang kali menghampiri pelanggan. Rafael pun sama, karyawan laki-laki yang bertugas mengangkut paketan busana juga tampak sibuk, bolak-balik keluar-masuk toko. Hingga jam sudah menunjukkan pukul dua siang, mereka masih belum selesai melayani pelanggan.
Tiba-tiba handphone Anita berdering. Tertera nama Fahmi dalam panggilan masuk itu. Anita tersenyum, dia pun segera mengangkat panggilan.
“Hallo, Mas!” seru Anita.
“Sibuk, An?” Terdengar suara sahutan dari seberang sana.
Anita tersenyum. “Lumayan. Ada apa, Mas?”
“Nggak. Cuma kangen aja. Kamu masih di butik?”
Sambil melihat jam tangan, Anita menjawab, “Iya, Mas. Belum kelar ini.”
“Ya sudah, jangan lupa makan, An. Jaga kesehatan,” pesan Fahmi.
“Iya, Mas. Tenang. Kamu juga jangan lupa makan.”
“Udah, kok. Jam makan siang tadi aku udah makan. Ya udah, An, aku lanjutin kerja dulu. Kamu baik-baik di sana.”
“Iya, Mas. Kamu juga,” ucap Anita, lalu menutup pembicaraan.
***
Sekitar pukul lima sore, Anita baru sampai di rumah. Dia merapikan diri dan bersih-bersih. Ahtar yang juga tampak sibuk karena ujian sudah tinggal beberapa minggu lagi, akhirnya dia banyak menghabiskan waktu di kamar untuk sekadar mengerjakan soal-soal latihan.
***
Di Surabaya, Danu berkunjung ke rumah Fahmi. Mereka saling berbincang soal pekerjaan. Sesekali mereka juga membahas hal pribadi.
“Dan, keluargamu tinggal di mana?” tanya Fahmi di sela-sela mengobrolnya.
“Saya belum menikah, Pak. Semenjak berpisah dengan pacar saya dulu, sampai sekarang saya masih belum ada niat untuk mencari pengganti, apalagi menikah, Pak,” jawab Danu.
“Loh, kenapa? Sebegitu cintanya kamu sampai nggak bisa move on!”
“Ya … gitu deh, Pak,” sahut Danu malu.
Mereka pun lalu membahas kembali soal pekerjaan.
***
Beberapa bulan berlalu, semenjak kepindahan Fahmi ke Surabaya, Fahmi belum sama sekali pulang menemui keluarganya. Bukan karena tidak kangen, hanya saja belum ada waktu untuk pulang karena pekerjaan di Surabaya juga menumpuk—mengingat anak perusahaan itu hampir saja terbengkalai. Lagi pula waktu yang ditempuh juga tidak sebentar, jadi Fahmi menunggu waktu cutinya terkumpul agak banyak, lalu pulang menemui keluarganya. Untuk sementara, biarlah rasa rindu ini menggerogoti jiwanya, agar jika waktunya nanti, dia bisa melebur puas bertemu anak, istri, serta orangtuanya.
***
Ujian nasional Ahtar sudah selesai terlaksana beberapa hari yang lalu. Kini dia santai, mengisi waktu luangnya dengan bermain musik kesukaannya. Memetik gitar dan sesekali bersenandung.
Tiba-tiba handphone-nya berbunyi, menandakan ada notifikasi. Dia pun berhenti dan meraih ponselnya yang tergeletak di samping tempatnya duduk.
Ternyata notif itu dari web sebuah universitas di Surabaya. Di sana dijelaskan bahwa SBMPTN yang dia ikuti ternyata lolos dan membawanya masuk dan diterima di universitas tersebut. Ahtar melompat bahagia menerima pemberitahuan itu.
“Bu … Ahtar lulus seleksi!” ucapnya gembira, ketika menemui Anita yang sedang duduk memeriksa sebagian buku catatan butiknya. Anita sedikit terkejut mendengar teriakan Ahtar.
“Benarkah? Alhamdulilah. Jadi sebentar lagi kamu akan meninggalkan Ibu seperti ayahmu?” ucap Anita sedikit sedih.
“Bu, kalau Ahtar sukses, Ibu juga kan yang bangga? Ahtar ingin kuliah di sana. Selain ingin mengejar cita-cita Ahtar, Ahtar juga ingin mandiri,” jelas pemuda tampan itu, meyakinkan ibunya.
Anita pun tersenyum, meskipun dirasa berat, namun itulah impian putranya. Dia tidak mau egois hanya karena kebahagiaannya dan mengorbankan impian anaknya. Tidak. Dia tidak setega itu.
***
Pagi ini Anita dikejutkan dengan kedatangan seseorang yang tidak dia sangka. Sosoknya sudah lama tidak Anita temui. Reyhan. Ya, Reyhan. Setelah 18 tahun berlalu, Reyhan tiba-tiba muncul kembali ke dalam kehidupan Anita.
Pertemuan mereka pun tidak disengaja. Saat Anita hendak pergi ke butik, di tengah perjalanan dia tidak sengaja hampir menabrak seseorang dan ternyata itu adalah Reyhan.
“Reyhan!”
“Anita!”
Mereka agak canggung, namun benih-benih cinta yang sudah lama mati, perlahan tumbuh kembali. Bersemi. Seolah mendapat siraman air dan keajaiban sinar matahari yang membuat cinta itu bersemi kembali.
Semenjak saat itu, Anita mulai sering bertemu dengan Reyhan. Mengobrol sambil sesekali minum kopi bersama di kedai. Pertemuan itu semakin sering terjadi dan terus terjadi. Sampai cinta lama itu benar-benar tumbuh dan berbunga.
Anita mulai tak acuh kepada Fahmi. Bahkan kepergian Ahtar ke Surabaya pun menjadi tidak berarti lagi untuk Anita. Kesibukannya dengan Reyhan mengalahkan segalanya. Bahkan telepon dari Fahmi pun sering dia abaikan.
***
“Bu … besok Ahtar berangkat ke Surabaya,” ucap Ahtar.
Namun, Anita terus sibuk memperhatikan handphone-nya. Dia sama sekali tidak memperhatikan Ahtar berbicara. Dia tersenyum membaca pesan WhatsApp yang masuk di ponselnya.
“Bu!” panggil Ahtar.
Kali ini panggilan Ahtar berhasil membuat Anita terkejut. Anita berusaha menutupi sebuah pesan di ponselnya. Menyeka keringat dingin yang tiba-tiba saja keluar dari wajahnya.
“Ibu kenapa, sih? Aneh banget senyum-senyum sendiri!” sergah Ahtar dan duduk di kursi samping ibunya.
“Ah, enggak. Ini cuma lagi chatting sama ayahmu.” Anita mengeles, pesan itu bukan dari Fahmi, melainkan Reyhan, mantan kekasihnya. Anita berusaha menutupi semuanya dari Ahtar.
“Oh iya, tadi kamu mau bilang apa?”
“Oh!? Ahtar besok mau ke Surabaya, Bu. Selain mau menemui Ayah, juga mau melakukan daftar ulang.”
“Kenapa mendadak? Kuliah kan masih jauh.”
“Iya. Ahtar juga kangen sama Ayah!”
Anita menghela napas. Dia tidak bisa melarang keinginan anaknya untuk menemui ayahnya. “Baiklah. Apa Ayah menjemputmu?”
“Nggak, Bu. Biar Ahtar naik KRL aja. Motor Ahtar juga akan dikirim dengan KRL, jadi sampai di sana, Ahtar langsung naik motor.”
“Oh, begitu. Ya sudah, besok Ibu akan mengantarmu ke stasiun. Motormu bagaimana?”
“Nanti malam ada kurir yang akan mengambil motor Ahtar untuk diangkut lebih dulu.”
“Ya sudah, kalau begitu Ibu akan menyiapkan keperluanmu untuk besok,” ucap Anita, mengakhiri pembicaraan.
***
Keesokan harinya, Ahtar pun sudah bersiap menunggu kereta. Beberapa menit sebelum kereta berangkat, Ahtar menelepon ayahnya, memberitahukan akan kedatangannya.
Suara dari pusat informasi pun mengumumkan adanya keberangkatan kereta menuju Kota Surabaya. Ahtar segera berpamitan kepada ibunya. Dia mencium punggung tangan ibunya, kemudian bergegas naik ke dalam kereta. Sesekali pemuda tampan itu melambaikan tangan. Suara sirene kereta telah berbunyi, perlahan kereta mulai bergerak, melaju menjauh dari tempat Anita berdiri.
***
Fahmi yang hari ini pulang kerja lebih awal menyempatkan diri untuk membeli makanan untuk Ahtar, agar sesampainya Ahtar di Surabaya, dia bisa langsung menemukan makanan. Beberapa jam menunggu Ahtar, akhirnya menjelang senja, Ahtar pun sampai di Surabaya. Dia disambut gembira oleh ayahnya. Pelukan dan ucapan syukur tak henti diucapkan oleh Fahmi.
***
Di Bandung, Anita semakin leluasa bertemu dengan Reyhan. Sekarang tidak ada yang perlu disembunyikan karena Fahmi dan Ahtar sedang tidak ada di rumah. Rumah Anita pun lengang. Reyhan bebas keluar masuk sesuka hatinya. Cinta terlarang itu pun kini tumbuh dan terus terjadi tanpa mereka pikir akan merusak hubungan rumah tangga Anita dan Fahmi.
***
Entah kenapa hari itu Fahmi sangat merindukan Anita, dia izin cuti selama 4 hari untuk pulang ke Bandung. Karena mess juga sudah tidak kosong, Ahtar bisa mengajak teman kuliahnya yang baru untuk menginap, menemaninya di mess.
Fahmi pun memutuskan pulang untuk menemui Anita. Dia sudah tidak sabar ingin menemui istri tercintanya. Menyiapkan sebuah kado manis yang akan membuat Anita begitu bahagia. Kepulangannya kali ini sengaja tidak diberitahukannya lebih dulu kepada Anita. Fahmi ingin menjadikan ini sebuah kejutan.
***
Beberapa jam berlalu, jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Suasana rumah tampak masih hidup, dengan nyala lampu yang masih terang. Fahmi melangkah. Senyumnya mengembang membayangkan wajah istrinya yang akan terlihat kaget dengan kedatangannya.
Sejenak, Fahmi berhenti di depan pintu. Mendapati sepasang sepatu seorang laki-laki tertata di pinggir alas kesetnya.
“Sepatu siapa ini?” tanya Fahmi pelan. Dia pun mengintip ke dalam jendela. Tak didapatinya seseorang. Pintu ruang tamu pun tidak terkunci, membuat Fahmi semakin curiga. Dia mengendap masuk, mencari tahu. Dia terkejut mendengar suara tawa kecil dari dalam kamarnya. Dibukanya pintu itu perpelan karena memang tidak tertutup rapat. Fahmi terkejut mendapati istrinya sedang main gila dengan laki-laki lain di kamarnya. Fahmi murka dan melabrak Anita beserta selingkuhannya.
“Apa-apaan ini?” ucap Fahmi. Matanya merah menyala. Mengisyaratkan sebuah kemarahan dan kecewa.
Sontak Anita dan selingkuhannya terkejut mengetahui Fahmi memergoki perselingkuhan mereka.
Bersambung ….
Sinta Dewi, seorang ibu rumah tangga yang sejak kecil memimpikan menjadi seorang penulis. Lahir di sebuah kota kecil di Jawa Timur, tepatnya di Probolinggo. Penyuka warna pink dan dance ini sejak kelas 5 SD sudah menyukai dunia menulis, meski bukan hobi. Namun separuh waktunya dimanfaatkan untuk mengasah kejeliannya memainkan kata-kata.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata