Anisah dan Lelaki yang Datang di Penghujung Senja

Anisah dan Lelaki yang Datang di Penghujung Senja

Anisah dan Lelaki yang Datang di Penghujung Senja
Oleh : Aisyahir

Senja. Ah, lagi-lagi mengenai senja. Ya, senja. Yang banyak dinanti kehadirannya namun sangat cepat masa berakhirnya.

Ini tentang Anisah. Ya, Anisah. Gadis berwajah ayu dengan tatapan meneduhkan. Yang bisa membuat para lelaki tak bisa berpaling saat menatapnya lebih dari sedetik. Postur tubuhnya cukup ideal. Tinggi semampai, kulitnya putih, tidak gemuk juga kurus-kurus amat. Wajahnya putih bersih, berlesung pipit, berhidung mancung. Mungkin teramat sempurna sebagai tokoh utama, tapi itulah kenyataan.

Setiap sore menjelang senja. Anisah kerap kali datang berkunjung ke pantai. Pantai yang tak begitu ramai, namun tak terlalu sepi juga.

Pinggiran pantai diberi pematang besar, istilahnya tanggul bagi masyarakat di daerahnya.

Di pinggiran laut sana, banyak dikunjungi saat menjelang senja. Seakan para penduduk telah menjadikan kebiasaan itu sebagai tradisi tersendiri. Mulai yang paling muda–mereka yang masih imut-imut, hingga mereka yang berumur senja. Dan, Anisah tak ingin ketinggalan. Dia juga tak pernah lupa untuk datang berkunjung (kecuali sedang hujan lebat, itu beda lagi ceritanya).

Hingga di suatu hari. Anisah baru menyadari satu hal, tentang lelaki yang selalu datang di penghujung senja. Dia tidak datang bersama para penduduk lain. Dia sendiri. Pulang pun seorang diri.

Anisah mulai mengamati di hari kesekian. Wajahnya terlihat asing. Anisah merasa tak pernah melihat lelaki itu. Matanya sipit, menyempit. Hidungnya mancung ke dalam. Kulitnya sawo matang. Tubuhnya tak terlalu tinggi, jika diukur, mungkin setara dengan tinggi Anisah. Tubuhnya pun tak gemuk dan kurus-kurus amat.

Namun ada satu hal yang membuat lelaki itu sedikit mencolok. Dan itu perihal kakinya. Sebab lelaki itu selalu datang tanpa memakai alas kaki. Kedua kakinya juga kadang dipenuhi debu atau lumpur. Jika musim penghujan, kakinya bakal dipenuhi lumpur. Jika sedang masa terik, maka kaki lelaki itu hanya dipenuhi kepulan debu. Putih.

Karena sudah kelewat penasaran. Ketika lelaki itu kembali datang berkunjung. Anisah datang menghampiri. Ikut duduk bersila di atas pematangan sembari memandang ke laut lepas.

Awalnya Anisah hanya berbasa-basi. Menanyakan apa saja yang bisa ditanyakan. Hingga terus berlanjut menjadi perbincangan yang cukup menarik. Bahkan, mereka telah menjadi sepasang manusia yang kerap kali menghabiskan waktu senja bersama. Duduk bersila di atas tanggul, menunjuk-nunjuk sinar keemasan itu, juga ikan yang melompat-lompat.

“Kenapa kau tak pernah memakai sendal saat datang kemari?” tanya Anisah di suatu hari.

“Saya ini anak gunung. Tinggalnya di atas gunung. Naiknya luar biasa susah, sedang turunnya teramat berbahaya. Jika pakai sandal, bisa-bisa kami punya gudang penyimpanan sandal putus saking seringnya gonta-ganti sandal. Kau tahu kan betapa sulitnya mendaki dengan menggunakan sendal? Makanya kami putuskan untuk tidak memakainya sama sekali.” Anisah serasa ingin tertawa, tapi takut dicap sedang menertertawai.

“Kenapa tidak sekalian pake sepatu?”

“Iya juga, ya. Ah, tidak-tidak. Kami memang sudah terbiasa pakai kaki saja. Sudah jadi ciri khas kami.” Lelaki itu menjelaskan dengan serius.

“Bukankah di gunung juga bisa menikmati senja? Bahkan mungkin akan lebih indah lagi di sana.”

“Inilah yang kami sebut dengan tantangan. Jika hanya memandang dari atas pengunungan, maka kami akan semakin jarang menuruni bukit. Membuat kami makin tertinggal. Sedang kami suka tantangan, makanya suka mampir ke tempat ini.” Mentari sudah sempurna tenggelam saat lelaki itu berhenti berbicara. Menyisakan keheningan, juga kelengangan.

“Apa saja yang kalian kerjakan di atas pegunungan sana? Rasanya saya teramat penasaran,” kata Anisah sembari menatap lelaki itu.

“Tak banyak yang kami lakukan. Sebagai anak petani, saya biasanya hanya membantu bapak saya menanam, merawat, dan menjaga lahan jagung kami. Siang malam dijaga ketat, jangan sampai ada babi hutan yang datang menghancurkan. Makanya saya selalu datang telat, saya harus cari alasan yang pasti dulu agar bisa pergi dari pengawasan bapak saya. Dan itu teramat susah. Untungnya saya bujang, bisa dimaklumi kepergiannya setiap sore.” Anisah mendengarkan dengan khidmat. Cukup tertarik.

“Apa lagi yang biasa kau lakukan?”

“Tak ada.”

“Tapi jika nanti saya telah menikah, saya ingin membangun rumah di pinggiran pantai saja. Agar saya selalu bisa menatap senja hingga di usia senja. Bersama istri, juga anak-anak saya.”

Di hari itu, pembicaraan mereka hanya sampai di situ. Anisah juga memutuskan pulang lebih dulu, meninggalkan lelaki itu seorang diri.

Hari ini para penduduk sudah kembali menyesaki pinggiran pantai. Berbondong-bondong. Ada yang membawa serta kacang rebus, jagung rebus, ada juga yang membawa pisang rebus dengan sambal terasi. Seperti ingin membuat acara besar saja. Mungkin terasa berlebihan, tapi inilah cara mereka untuk menghilangkan kelelahan juga untuk berkumpul bersama.

Dan, lelaki itu kembali datang. Sama seperti hari kemarin dan kemarin-kemarinnya lagi. Dia datang ketika mentari sudah hampir tenggelam sempurna.

Segera dia duduk bersila di samping Anisah. Di atas tanggul dengan kaki yang dipenuhi lumpur. Itu artinya sedang musim penghujan.

“Kau tahu, Annisa?”

“Anisah, bukan Annisa!” sargahnya sedikit kesal. Entah kenapa nama itu selalu saja salah diucapkan oleh lelaki berambut gimbal ini.

“Ya, itulah. Coba kau perhatikan. Bukankah saat ini langitnya tampak kemerah-merahan?”

Anisah mengikuti arah telunjuk lelaki itu, menatap langit. “Ya. Kau benar. Memang apa maknanya jika seperti itu?”

“Kata ibu saya, di atas sana, tepatnya di neraka, mereka sedang membakar orang-orang yang berdosa. Kejam sekali, bukan? Ada juga yang mengatakan jikalau langit terlihat memerah, itu berarti ikan lumba-lumba sedang naik.” Lelaki itu berkata serius, namun malah ditanggapi dengan gelak tawa oleh Anisah.

“Kau lucu sekali.” Anisah masih tertawa. Bahkan sampai menyamai riuhnya suara ombak yang menggulung-gulung ke tepian.

“Saya serius.”

“Ah, sudahlah. Saya ingin pulang. Senja telah berakhir.”

“Apakah hubungan kita juga akan berakhir, Annisa?” Anisah berhenti melangkah. Berbalik menatap lelaki itu.

“Apakah kita memang pernah memulainya?” Singkat namun penuh arti. Membuat lelaki itu bungkam.

“Lupakan saja.” Lelaki itu terdiam. Hari makin mengelap. Malam telah tiba.

“Kau aneh,” kata Anisah.

“Kau yang tak mengerti.”

Keduanya terdiam. Membiarkan desiran ombak mengisi keheningan.

“Anisah! Ayo pulang!” Sentak, keduanya berbalik. Mendapati sosok tinggi gagah dengan sorot mata yang tajam.

“Penjemput saya sudah datang. Kau sendiri belum ingin pulang?” kata Anisah memastikan. Lelaki itu menggeleng pelan. Menatap Anisah dengan senyum yang merekah.

“Saya ini orang gunung. Harus menunggu hari benar-benar gelap dulu baru bisa berpulang. Kalau tidak, kami bisa dikejar-kejar monyet yang kurang kerjaan itu.” Anisah kembali tertawa menanggapi.

“Kalaupun pulang larut, harus hati-hati juga. Terkadang, saat kami pertama kali menyalakan senter, yang pertama terkena cahaya itu adalah sepasang mata merah yang menatap tajam. Bukan main seramnya, kan? Aih, penuh tantangan betul kami pergi dan pulang dari tempat ini. Tempat indah yang begitu menakjubkan. Bukan hanya panoramanya yang indah, gadis-gadisnya juga. Terlebih lagi ayunya gadis yang selalu menjadi rekan saya menatap senja, bukan main.” Lelaki itu terkekeh. Sedang Anisah, di awal kalimat dia merasa merinding sekaligus takjub sendiri, sedang di bagian akhir, dia jadi tersipu.

“Saya pulang dulu. Sampai jumpa di senja berikutnya,” pamit Anisah masih malu-malu. Untung saja sudah gelap, hingga wajahnya yang memerah jadi tak terlihat.

“Tentu. Jikalau boleh, saya selalu ingin menikmati senja bersamamu, hingga di usia senja.”

Anisah tak menanggapi. Langsung berlari menuju lelaki bertubuh gagah itu. Sudah pasti dia makin tersipu.

Dan ternyata, itu adalah hari terakhir mereka bertemu. Esok dan esoknya lagi, bahkan ketika senja sudah hendak tenggelam sempurna, dia tetap tak datang. Anisah mulai merasa khawatir. Padahal di saat perpisahan mereka di kala itu berjalan baik-baik saja.

Hingga hari mulai berganti minggu. Dia tetap tak datang. Anisah mulai dilanda kerinduan. Rindu dengan lelaki juga segala cerita-ceritanya tentang pengunungan. Lantas, di manakah dia berada? Apakah dia sudah kena tangkap monyet-monyet kurang kerjaan itu? Atau barangkali dia sudah tak berani menatap mata merah yang menyeramkan itu?

Hingga kabar itu mulai terdengar. Kabar yang sangat tak ingin dia dengar. Kabar tentang pegunungan di desa seberang yang mengalami kelongsoran. Yang menewaskan beberapa korban jiwa, bahkan ada juga tak lagi bisa ditemukan. Anisah mati rasa, tak tahu harus apa. Percakapannya di kala itu kembali teringat, dan mungkin akan selalu teringat setiap kali Anisah datang berkunjung ke pantai itu. Menikmati senja, juga desiran ombak.

“Apa yang kau sukai, Anisah?”

“Saya? Saya suka Dev Joshi. Yang pemeran Ballveer dulu. Kau sendiri?”

“Saya sedang menatapnya.” Lelaki itu berkata sembari menatap senja, juga Anisah.

“Ah, andai kau juga mengatakan bahwa yang kau sukai itu adalah saya, sudah pasti nama kita akan tertulis indah di buku nikah dua minggu yang akan datang. Membangun rumah di tepian pantai, menikmati senja juga desiran ombak. Ah, pasti luar biasa sekali. Sayang, karena terlalu mengidolakan yang jauh, kau jadi mengabaikan yang dekat. Tidak seperti saya, yang selalu menomorduakan senja sebagai alasan untuk berkunjung, sedang alasan utamanya itu adalah kau. Gadis ayu yang sungguh memikat hati. Sayang sekali.”

Makassar, 12 April 2020.

Aisyahir, gadis kelahiran 2001 yang gemar menulis. Saat ini tinggal dan bekerja di Makassar. Dapat dihubungi lewat akun medsosnya. Ig: Aisyahir_25.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply