Sebentar Dan Tak Terlupakan

Sebentar Dan Tak Terlupakan

Sebentar dan Tak Terlupakan
Oleh : Rachmawati Ash

Setiap kali aku merindukanmu, kubuka jendela kamar lebar-lebar. Penuh harap aku dapat memanggilmu masuk ke dalam kamarku. Lalu bercerita tentang hari-harimu. Aku berjanji akan diam dan mendengarkan semua ceritamu, rasa sakit atau bahagiamu. Aku juga berjanji  akan tertawa saat kamu bertingkah lucu. Setidaknya hanya itu yang bisa kulakukan untuk membuatmu berharga.

**

Kamu meneleponku pagi-pagi sekali. Dari seberang suaramu  terdengar ceria dan penuh semangat, mengajakku untuk jogging di pagi buta. Aku yang masih belum bisa membuka mata, mendadak ikut semangat dan segera menata diri.

Tidak perlu mandi dan ditambah winyak wangi. Untuk menemuimu cukup dengan mencuci muka dan gosok gigi, Karena dalam hitungan menit kamu sudah berdiri di depan rumahku. Dengan gaya khas menyambutku dengan senyum manis, disusul senyum lebar yang memperlihatkan gigi indahmu. Berlari kecil meninggalkanku, membuatku semangat dan segera menyusulmu berlari menuju lapangan komplek. Ditemani sinar matahari yang muncul perlahan-lahan membuka hari, kamu tak hentinya berbicara. Aku hanya mengangguk-angguk atau tersenyum kecil. Semua yang kamu lakukan selalu terlihat indah.

**

“Mar, nanti sore anterin aku ke toko buku, ya?”

“Boleh, tapi aku ada latihan musik dulu dengan teman-teman, mau nunggu?”  Jawabku segera sebelum kamu menutup pintu pagar rumahmu.

“Oke, aku tunggu, ya?” senyummu mengakhiri pertemuan kita siang itu.

**

Sepanjang perjalanan ke toko buku, bibirmu tak pernah sebentar saja berhenti bicara. Semua hal yang kamu lihat kamu beri komentar, tertawa dan sesekali mencubit pinggangku. Aku hanya menimpali dengan beberapa kalimat. Aku tidak keberatan mendengar mulutmu terus bercerita, tentang apa saja.

Langit sore semakin tua, tapi mulutmu masih saja terus bicara. Di atas roda dua aku dan kamu terus bercanda tanpa peduli beberapa pasang mata memperhatikan kita. Pengemudi lain membunyikan klakson memberi tanda supaya kita tidak bercanda, seketika kita diam, lalu tertawa lagi saat mereka sudah menjauh dan meninggalkan kita di belakangnya.

**

Aku menemanimu memilih buku, ikut membolak-balikkan setiap buku yang ada di deretan ilmu perbankan. Semua buku yang kamu pilih selalu kamu tunjukkan padaku, masih saja minta aku menentukan pilihan yang tepat.

“Menurutmu bagus yang mana, Mar? yang ini atau yang ini?” Kamu mengangkat dua buku bersamaan tepat di depan wajahku. Aku mengangkat bahu, tidak bisa membantumu memberi pilihan yang baik.

“Aku anak musik, mana tahu buku perbankan yang baik, Rin.” Kuturunkan tangannya dari depan wajahku.

“Terus, ngapain aku ajak kamu ke sini? Kan, aku minta pendapatmu, payah.” Bibirmu monyong, aku tertawa.

“Sebagai tukang ojek, biar dapat makan malam gratisan dari tuan putri, hahaha.” Aku tertawa, disusul tawamu yang khas berderai di antara lorong barisan buku-buku perbankan.

“Oke, kita makan, yuk, aku juga sudah lapar, Mar.” kamu letakkan satu buku bersampul hijau, berjalan membawa buku bersampul ungu sebagai pilihan terakhirmu. Aku mengikutimu berjalan menuju kasir.

Antrean di kasir lumayan panjang, jadi Aku memutuskan menunggumu agak jauh. Tanganmu melambai-lambai padaku seolah aku takut meninggalkanmu. Aku tersenyum, membalas melambaikan tanganmu. Kamu memang lucu, tetanggaku sekaligus sahabatku.

“Ayo, Amar, aku sudah dapat bukunya, sekarang kita makan.” Wajahmu ceria penuh semangat.

“Mau makan di mana?” Aku bertanya, berjalan di sampingmu.

“Terserah!” Jawabmu tidak perduli.

“Lah, terserah gimana maksudnya, nih?” Aku keberatan dengan jawabanmu.

“Terserah kamu mau makan apa, mau makan di mana, aku nurut, aja.” Senyummu manis, matamu menjadi lebih sipit.

“Enggak, kamu yang harus nentuin, aku enggak paham begituan.” Jawabku penuh protes.

“Eh, Amar, kamu masih ingat tidak? Terakhir hawa memberi pilihan, Adam masuk neraka? Mau?” tawamu pecah di parkiran, aku melongo mencoba mencerna candaanmu.

**

Meskipun kita bukan sepasang kekasih, tapi aku sangat menyayangimu. Aku bisa dan mau melakukan apapun untuk kebahagiaanmu. Sampai suatu hari Ayahmu datang kepadaku, memintaku menjadi suamimu. Aku tidak tahu tanggapan apa yang harus kuberikan kepada Ayahmu sore itu. Jelas saja ada rasa yang aneh. Aku dan kamu tak pernah membahas urusan cinta, apalagi pernikahan.

Ayahmu menjelaskan kepadaku tentang permintaannya. Aku terkejut, ada rasa bersalah yang menyelubung di hatiku. Bersama Ayahmu aku segera pergi ke rumah sakit, dengan langkah cepat aku ingin menemuimu. Kupeluk tubuhmu kuat-kuat. Berbagai alat medis menempel di tubuhmu. Ruangan hening, hanya bunyi alat detektor menyayat hati terdengar dari monitor komputer di sampingmu. Kanker Rahim stadium akhir menggerogoti tubuhmu yang ramping, kulitmu yang sekuning langsat mulai berkerut karena obat-obatan yang dimasukkan ke tubuhmu.

Ayahmu bertanya kepadaku tentang perasaanku padamu, aku menjawab dengan anggukan. Aku mencintaimu, aku ingin kamu bertahan dan hidup bahagia denganku-Rina Syifalia. Aku menyesal tidak bisa menjagamu selama ini. Beberapa kesempatan kulihat wajahmu pucat, setiap kali kutanya, kamu hanya menjawab karena lelah dan butuh istirahat. Aku mengiyakan, aku meninggalkanmu sendirian, kupikir dengan menyendiri akan memberimu banyak waktu untuk bersitirahat. Aku pernah bilang juga, bahwa aku tidak suka melihatmu diam, aku lebih senang melihatmu cerewet-Kamu jadi aneh saat diam.

**

Aku masih menatap keluar jendela, pucuk-pucuk daun akasia bergoyang diterpa angin sore. Aku masih setia membayangkan wajahmu yang ceria. Aku memandang kembali jendela kamarmu, lekat-lekat sambil tersenyum. Ingatanku sungguh bahagia saat mengucapkan janji suci untukmu, hingga senyummu hanyut bersama embusan nafas untuk terakhir kalinya. Bau alkohol menguar di ruang perawatanmu, bunyi alat detektor mengilang tepat saat kalimat “Sah” diucapkan oleh saksi dan keluargaku dan keluargamu.

 

Rachmawati Ash. Wanita scorpio yang Suka membaca cerita romance.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply