Gareth
Oleh : Imas Hanifah N.
Orang-orang penakut mengemis kebebasan. Sedangkan orang-orang cerdas, menciptakannya.
***
Galih sedang menata kertas-kertas berisi data penting pekerjaan ketika Rudi menghampirinya dengan wajah yang kusut.
“Ada apa?” tanya Galih.
“Aku mau mati saja, Lih.”
“Heh, jangan bilang begitu.”
Rudi kembali menghadap layar komputernya. Ia duduk tepat di sebelah Galih yang masih fokus dengan kertas dan kertas.
“Aku bosen, Lih. Bosen kerja begini. Capek.”
Galih tersenyum. “Kalau kamu capek, ya istirahat.”
“Pengennya, sih. Tapi, kan masih banyak kerjaan, Lih.”
“Ya, sudah. Kalau gitu kerjakan dulu. Baru istirahat.”
Rudi mencebik. Ia jelas merasa tidak mendapatkan solusi dari Galih.
“Kalau gitu, kamu cari saja pekerjaan lain.”
Rudi antusias. Sejurus kemudian, kembali murung.
Galih yang melihatnya seperti itu, kembali menawarkan solusi. “Gimana kalau kamu jadi wirausaha saja? Menciptakan pekerjaan.”
“Iya, sih. Daripada kerja di bawah kaki orang. Gak enak. Mending aku ciptain kerjaanku sendiri. Masalahnya, modalnya itu, lho.”
“Ya, ngumpulin dulu.”
“Ah, ribet.”
Galih hanya tersenyum. Sebenarnya, entah sudah berapa kali Rudi mengeluh tentang pekerjaan. Ada saja yang membuatnya selalu merasa tidak sanggup menghabiskan hari di kantor. Akan tetapi, semua saran yang disampaikan oleh Galih, nyatanya tak pernah benar-benar diamini. Lelaki bertubuh kurus itu selalu saja menganggap segala sesuatunya sulit, ribet, dan masih banyak lagi.
Menurut Galih, Rudi hanya jenuh. Toh, ia masih datang setiap pagi ke kantor. Ia masih membutuhkan uang, tapi terkungkung dalam pekerjaan yang tidak ingin dilakoninya. Dan ia enggan beranjak dari keadaan. Rudi tidak berusaha untuk pergi dan menciptakan keinginannya dengan sungguh-sungguh.
“Lih, emang kamu sendiri, gak bosen?” tanya Rudi. Ia kembali mengabaikan layar komputer di hadapannya dan melihat ke arah Galih.
“Enggak, karena aku punya cara agar tetap bertahan.”
“Apa?” tanya Rudi penuh telisik.
“Itu rahasia.”
***
Sepulang dari kantor, Galih mampir ke kafe. Seorang teman semasa SMA mengajak bertemu. Temannya yang bernama Rio itu sudah memesan dua cangkir kopi dingin dan duduk santai di pojok kafe.
“Rio? Pangling kamu!” Galih berucap antusias. Orang yang disapa hanya tersenyum tipis sembari meraih tangan yang disodorkan Galih.
“Biasa aja, Lih. Aku emang udah lebih maju, sih.”
“Gayamu, hehe. Kupikir, kamu sibuk.”
“Ya, memang. Aku sibuk.”
“Terus? Sengaja nyempetin buat ketemu sama aku?”
“Hehe, enggak sih. Gini, aku kan orang kepercayaan bosku, jadinya aku disuruh survei lokasi ke sini. Aku inget kamu kerja dan tinggal di sekitaran sini. Makanya, ya, sekalian aku ngajak ketemu. Aku mau tau aja kamu udah jadi apa.”
“Oh, iya. Aku masih jadi orang, kok. Hehe.”
“Nah, itu. Ngomong-ngomong, Lih. Kok kamu masih gitu-gitu aja, sih?”
Galih tersenyum. Ia memang sangat mengenal karakter Rio yang kadang-kadang menyebalkan.
“Gitu gimana?”
“Ya, masih kerja di kantor biasa. Gak naik jabatan, gajinya pasti kecil, kan? Masa gak ada kemajuan, sih?”
Galih sebenarnya tidak hanya sekali atau dua kali menemui orang seperti Rio ini. Aneh, kenapa beberapa orang selalu menilai penampilan? Mereka tidak tahu bagaimana keseharian setiap orang, tapi selalu berkomentar seolah tahu segalanya.
“Lih?”
“Eh, iya. Aku sih, bersyukur. Lagian, bukan cuma gajinya, tapi betahnya. Iya, kan?”
“Ya, kalo gaji dikit, mana betah.”
Rio meminum kopinya. Sesaat kemudian kembali bicara.
“Kalau kamu banyak uang, jabatan bagus, perempuan pasti suka di dekatmu. Perempuan pasti bahagia. Banyak teman juga. Kamu harus berubah, Lih.”
Galih masih tersenyum tipis. “Kebahagiaan tidak diukur dari banyaknya uang. Kamu tahu sendiri, ah pasti kamu sudah tahu sekali. Banyak kasus di dunia ini, orang-orang yang mati bunuh diri meskipun bergelimang harta, terkenal, dan punya tampang rupawan. Itu sepenggal bukti bahwa kekayaan bukan jaminan kebahagiaan.”
Rio tak mau kalah. Ia kembali mendebat pernyataan Galih.
“Kamu ngomong begitu, Lih. Itu karena kamu tidak mampu jadi kaya. Kamu tidak mampu jadi terkenal atau punya jabatan tinggi. Iri tanda tak mampu itu.”
Galih mulai jengah. Ia bertemu Rio dengan maksud ingin melepas kangen. Akan tetapi, suasananya malah jadi aneh.
Akhirnya, Galih memilih tak menanggapi. Ia hanya meminum kopinya, lantas memikirkan topik lain. Topik pembicaraan yang mungkin bisa membuat suasana yang menyelimuti mereka berdua, jadi sedikit enak.
“Sudah menikah?” tanya Galih sembari melempar senyum lagi. Berharap, jawabannya adalah iya. Jangan sampai lelaki di depannya ini ternyata masih jomlo dan malah jadi tersinggung.
“Sudah, Lih. Tapi, aku gak suka istriku. Dia tuh, cemburuan. Aku jadi gak bebas mau main sama cewek lain.”
Galih tak tahu harus menanggapi apa. Rupanya, pertanyaan yang baru saja ia lempar seperti korek gas yang menyalakan kertas HVS. Pasti akan merembet cepat.
“Dia tuh, bikin aku ngerasa jenuh. Udah mah banyak pekerjaan. Padahal, uang setoran bulanan tuh selalu aku lebihkan.”
“Ya, namanya perempuan. Ada saja yang gak kita ngerti, hehe.”
“Kamu mana ngerti, Lih. Emangnya gajimu gede kayak aku?”
Galih menarik napas panjang. Sudah cukup. Ia merasa percakapannya dengan Rio tak ada faedahnya sama sekali. Beda dengan dulu.
Galih menandaskan kopinya dan menawarkan diri untuk membayar minuman mereka. Tentu saja, Rio menolak. Bahkan, setelah mereka selesai ngopi dan Galih diajak pulang menggunakan mobil mewah milik Rio, lelaki itu terus saja menyombongkan diri. Galih memilih menatap jalanan dan sesekali tersenyum. Gejolak hatinya yang ia tahan, sudah ia rencanakan akan diluapkan nanti. Kalau sudah waktunya.
Ya, Galih punya ruang yang ia ciptakan. Selalu, di depan laptopnya jika malam telah tiba.
Lelaki itu akan menyalakan laptop dan mulai menggoreskan aksara. Huruf demi huruf menari dari jari-jarinya. Mengalir, bagai sungai panjang yang tak pernah kering.
Galih adalah seorang penulis. Di dunia yang ia ciptakan, ia menamakan dirinya sebagai ‘Gareth’. Nama pena itu menemaninya selama beberapa tahun. Sengaja ia tak memakai nama asli. Ya, memakai nama samaran dengan identitas yang misterius, malah menjadi daya tarik tersendiri. Orang-orang penasaran dan selalu suka dengan karya-karya Gareth.
Di awal ia terjun ke dunia literasi, buku pertamanya tak begitu laku. Akan tetapi, buku kedua dan seterusnya, selalu mendapat apresiasi yang cukup tinggi. Galih menyukai segala sesuatu tentang menulis. Ia seolah menciptakan dunia yang penuh kebebasan dalam setiap kisah yang ia buat.
“Sudah malam, belum mau tidur?” tanya Retha, istrinya.
Galih tersenyum. “Sedikit lagi, Sayang. Tulisanku hampir rampung.”
Retha hanya menguap. Perempuan itu menggeliat sebentar kemudian kembali terpejam.
***
Kebebasan bukan berarti jalan yang terbentang luas tanpa hambatan, tanpa persimpangan. Kebebasan adalah ketika seseorang melangkah begitu ringan menjalani setiap hari dan setiap takdir.
Kebebasan tidak didapatkan, tapi diciptakan.
*Gareth: Galih dan Retha
Tasikmalaya, 2020
Imas Hanifah Nurhasanah. Wanita kelahiran 23 tahun silam ini bercita-cita menjadi penulis sejak kecil.
Ia bisa dihubungi via sosial media di facebook: Imas Hanifah N atau Ig: @hanifah_bidam.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata