Cantik Ada Apanya

Cantik Ada Apanya

Cantik Ada Apanya
Oleh
: Fathia Rizkiah

Aku berlari secepat yang kubisa untuk menuju lift. Mata kuliah pertama sudah dimulai, seharusnya aku sudah duduk manis menyimak semua yang dosen jelaskan, namun fakta bahwa jalanan Jakarta yang tak pernah sepi membuatku harus berlomba-lomba menyela sepeda motor sebelum disela terlebih dahulu oleh pengendara sepeda motor lainnya. Dosen yang mengisi mata kuliah hari ini bukanlah dosen killer, yang mengharuskan setiap mahasiswa datang tepat waktu ke dalam kelas, tetapi aku termasuk salah satu mahasiswa yang tak pernah mau datang terlambat barang sedetik pun.

Ah, sial! Tanganku mengepal, memukul paha yang terbalut celana jeans. Lift sudah penuh. Itu artinya mau tak mau aku harus menaiki tangga yang entah berapa puluh jumlah anaknya untuk mencapai lantai tiga. Bukan jumlah yang banyak, tapi menaiki anak tangga sampai ke sana cukup mengundang peluh untuk bercucuran, terlebih saat sedang tergesa-gesa sepertiku sekarang ini.

Oke, nggak ada waktu lagi. Hurry up, Stephani!

Kutapakkan kaki menaiki tangga bersama beberapa mahasiswa lainnya. Dan tidak sampai sepuluh menit aku sudah sampai di lantai tiga.

Seperti yang kukatakan sebelumnya, begitu sampai di lantai tiga, tubuhku langsung bermandikan air keringat, wangi parfum yang kukenakan tadi pagi pun sudah lenyap, tergantikan dengan wangi keringat yang begitu lekat di badan. Iyuuuh.

Aku meraih tas, mencari botol minum berukuran mini yang selalu kubawa ke mana-mana. Setelah ketemu, kubuka tutup botolnya, menepi untuk duduk berjongkok, kemudian kuteguk air mineral itu hingga tersisa setengah botol. Ah, rasanya segar.

“Bodoh, bodoh, bodoh. Aku bodoh!” ujar seseorang, mencaci maki sesuatu sambil menangis. Aku celingukan, penasaran di mana letak orang yang sedang menangis tersebut.

“Seharusnya aku memakai baju biasa saja, nggak usah sok-sokan mau seperti mereka. Seharusnya aku tahu diri, aku dan mereka itu berbeda! Dasar aku bodoh, bodoh, bodoh!”

Semakin suara itu terdengar jelas dan semakin membuatku penasaran siapa pemiliknya.

“Eh, Step. Kok kamu masih di luar? Bukannya kelas sudah dimulai?” Nadine menepuk bahuku begitu turun dari lift.

Aku menepuk dahi. Astagfirullah, aku lupa!

“Kamu lagi nyari sesuatu, ya? Ekspresi wajahmu kelihatan bingung tadi.”

Aku menggeleng cepat. “Ah, enggak. Udah, yuk, masuk kelas, dari tadi aku nungguin teman sekelas datang biar bisa masuk kelas bareng,” dalihku yang dijawab kerutan dahi oleh Nadine. Oke, aku tahu jawabanku tidak masuk akal dengan sikapku yang selalu percaya diri. Jadi, maklum saja kalau Nadine terlihat aneh dengan jawabanku.

Suara tangis itu terdengar lagi. Sebenarnya aku penasaran, siapa yang menangis di kampus di pagi hari seperti ini? Tapi rasa penasaran itu kugeser dahulu. Masuk kelas lebih berfaedah ketimbang mencari pelaku suara tangis yang misterius. Aku memang menyukai hal-hal mistis, tapi bukan berarti aku mengutamakan hal yang kurang berfaedah seperti sekarang ini.

***

Mata kuliah pertama sudah selesai, sekeluarnya dosen dari kelas, aku langsung ngacir ke kamar mandi, akibat meneguk cukup banyak air sebelum masuk kelas.

Diane, sahabatku, ikut denganku. Ia tidak kebelet pipis, hanya ingin memeriksa tampilannya sekarang. Tidak hanya memeriksa, juga menambah sedikit dempulan bedak yang lima puluh persen sudah luntur termakan minyak.

“Nitip tas,” ujarku pada Diane yang langsung berdiri di depan cermin besar bersama mahasiswi lainnya.

“Oke,” sahut Diane tanpa menoleh sedikit pun dari pantulan bayangannya di cermin.

Aktivitasku terhenti, suara tangis itu terdengar lagi. Kumatikan keran air untuk memperjelas suaranya. Mungkin saja pendengaranku salah, bisa jadi tadi itu hanya suara candaan para mahasiswi yang sedang mengaca. Mungkin sambil bercerita film horor kesukaan mereka. Aku kembali menyalakan keran air dan melanjutkan aktivitas di dalam kamar mandi.

“Ih lemah banget sih, aku. Enggak, enggak boleh nangis. Kamu harus kelihatan ceria di depan mereka. HARUS!” Suara itu meracau lagi.

Kembali kumatikan keran air. Sepertinya aku tidak sedang berhalusinasi, suara yang kudengar dekat tangga sama persis dengan suara yang kudengar di kamar mandi.

“Step, udah belum?” panggil Diane.

“Belum, Di.”

Diane menghela napas. “Gue tunggu di luar, ya. Tas lu gue bawa.”

“Oke, Di.”

Suara berisik dari mahasiswi yang sedang bercermin sudah tidak terdengar lagi. Sepertinya mereka sudah pergi. Dan … suara misterius itu pun sudah tidak terdengar lagi. Ah, sepertinya si pemilik suara sedih itu sudah keluar dari kamar mandi.

Aku keluar, berjalan menuju wastafel dan menemukan seorang perempuan sedang membasuh wajahnya yang terlihat sembap. Begitu melihatku, buru-buru perempuan itu menyembunyikan wajahnya. Aku berdiri beberapa jengkal dari jaraknya berdiri. Sepertinya yang menangis tadi pagi hingga siang adalah perempuan ini.

Aku memberanikan diri bertanya, “Emm … maaf, Kak. Kakak nggak papa?”

Ia tak menjawab, terus melakukan aktivitasnya merias wajah. Justru makin dipercepat.

Agak takut, aku melanjutkan. “Soalnya … wajah Kakak kelihatan kayak habis nangis. Dan maaf, kalau boleh tahu, tadi yang nangis di kamar mandi Kakak, ya?”

Ia menoleh. “Kamu dengar suara tangisku?”

Aku mengangguk. “Yang di tangga juga dengar.”

Ia memasang mimik wajah terkejut. “Beneran? Mereka dengar juga, nggak?”

“Mereka siapa, Kak?”

“Nadine and the gang.”

Aku teringat peristiwa tadi pagi saat bertemu dengan Nadine di ujung tangga. Sepertinya Nadine sudah pasti dengar, toh, aku saja dengar. Tapi tidak mungkin kalau aku bilang, “Iya, Nadine dengar.” Bagaimana perasaannya? Apa namanya tidak kembali mematahkannya yang sudah mulai utuh? Akhirnya, aku memilih berbohong. “Yang dengar cuma aku, Kak.”

Ia mengembuskan napas lega. Kemudian menatapku sambil terus melanjutkan merias wajahnya yang sebentar lagi selesai. “Nadine itu cantik, ya? Nggak kayak aku, buluk rupa.”

Aku terkejut, sontak aku menoleh. “Maaf, Kak. Kakak nggak boleh bilang kayak gitu.”

Ia mengendikkan bahu. “Why? Aku bicara sesuai fakta, kok.”

“Semua perempuan itu cantik, Kak. Kakak juga cantik, kok. Cantik banget malah,” pujiku.

“Bohong,” cibirnya.

Aku terkekeh. “Ngapain aku bohong, Kak? Sekarang coba Kakak lihat ke cermin. Perhatikan setiap inci dari lekuk wajah Kakak. Kakak pasti akan mengiyakan pujianku barusan.”

Ia ikut terkekeh. “Kalimat penenangmu tak ampuh, justru membuatku semakin muak. Sudah, aku mau ke kelas. Terima kasih sudah mengguruiku.” Ia pergi meninggalkanku sendirian.

Aku mematung. What? Menggurui? Sepertinya aku menyesal bersimpati pada manusia sejenis dinding. Datar dan tentunya tak berhati. Ugh, jadinya ingin sekali aku mencelanya. Dasar jelek, dasar buluk, tak berguna! Tapi tidak, aku tidak boleh berkata kasar. Huh, sabar, sabar!

***

Malam ini aku keluar rumah, mengenakan baju santai dan tak lupa juga mengenakan masker. Mendadak Ibu ingin makan mi pedas yang baru dilihatnya di iklan TV. Berhubung jarak toko perbelanjaan dengan rumah sangat dekat, it’s okay, akan kupenuhi semua kemauan Ibu yang mendadak seperti perempuan yang sedang ngidam.

Pintu toko kudorong dengan lengan. Berbelas-belas orang sedang mengantre untuk membayar makanan yang dibelinya, tetapi tunggu … yang membuat mereka mengantre bukan karena yang paling depan sedang membayar makanan ke kasir, tapi karena barisan paling depan adalah seorang perempuan yang sedang mengemis pertolongan.

Berkali-kali ia mengucapkan, “Tolong terima saya bekerja di sini. Saya butuh uang untuk perawatan wajah. Tahun ini saya harus mengganti wajah dengan wajah yang baru. Tolong sayaaa. Saya akan bekerja keras semaksimal mungkin, asal pekerjaan saya sepadan dengan gaji yang akan saya dapatkan.”

“Maaf, Mbak. Di mana-mana yang menerima setiap pegawai adalah bos, bukan kami. Jadi silakan Mbak menghadap langsung ke bos kami.”

“Tolong kamu saja yang melaporkan ke bosmu. Bukannya kalau pakai dorongan orang dalam mendapat pekerjaan semakin mudah? Tolong sayaaa.”

“Mbak, kasihan mbak kasirnya. Dia cuma pegawai di sini, kalau Mbak mau ngelamar pekerjaan, ya datang ke bosnya,” komen ibu-ibu yang sedang mengantre.

“Tau, nih! Mbaknya mengganggu banget!”

Hmm hmm, kasihan sekali. Kalau didengar dari suara … sepertinya aku tahu siapa pemilik suara itu. Sambil mencari mi yang Ibu maksud di iklan TV, aku terus berucap syukur memiliki semua yang kupunya. Alhamdulillah tubuhku masih lengkap, pancaindraku pun lengkap dan berfungsi semua, alhamdulillah.

 

Fathia Rizkiah, sapa saja Fathia. Tinggal di Tangerang. Kesibukanku di umur 20 tahun ini menjadi pendidik manusia-manusia kecil di TK Islam Al-Muhajirin. Bila senggang, boleh mampir ke akun wattpad-ku: @fath_vhat. Aku mem-posting cerita yang membosankan di sana, lho. Memberi krisar? Oh, boleh sangat! Jangan lupa di-follow, yaaa! Hihihi.

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply