Death (Part 2)

Death (Part 2)

Death (Part 2)
Oleh : Sinta Dewi S.

Beberapa bulan berlalu. Hari demi hari, sepeninggal Reyhan dari kehidupan Anita, Anita pun tampak sedikit berubah. Dia mulai bisa menerima Fahmi sebagai suaminya. Tersenyum, bahkan tertawa bersama Fahmi. Mencurahkan semua waktunya, sampai pada suatu ketika Anita memberikan sebuah kabar bahagia, bahwa dirinya hamil. Fahmi sangat menantikan hal itu, dia seolah tak percaya jika Anita akan segera memberikan penerus untuknya. Anita pun begitu bahagia, karena dia akan menjadi seorang ibu. Dia berkeinginan untuk segera memberitahukan kabar bahagia ini kepada ayah mertunya.

Juragan Tarso yang tak lain adalah ayah mertua Anita juga ikut bahagia setelah diberi tahu hal itu oleh Anita dan Fahmi. Dia tertawa lebar, gurat bahagia juga merusuk di dalam hatinya. Juragan Tarso tampak tak percaya jika akhirnya dia akan menimang seorang cucu.

Anita dan Fahmi tak kalah bahagia ketika melihat Juragan Tarso tertawa mendengar kabar kehamilan Anita. Anita juga sudah tidak sabar untuk memberi tahu Pak Salim tentang kabar kehamilannya.

“Mas, aku akan pergi ke rumah Ayah untuk memberitahukan kabar ini!ucap Anita semangat. Dia pun berlari meninggalkan Fahmi dan bergegas pergi ke rumah Pak Salim.

“Baiklah, hatihati, An!” teriak Fahmi, tersenyum melihat istrinya begitu bahagia.

***

Sesampainya di rumah Pak Salim, Anita mengetuk pintu dan memanggil-manggil ayahnya. Namun tak ada jawaban.

“Ayah ,” panggil Anita sekali lagi.

Mulai terasa aneh, Anita pun mengintip dari jendela. Sedikit samar, namun Anita yakin dia tidak menemukan sosok ayahnya dari balik jendela. Pintu rumah terkunci. Anita mulai bingung dan resah. Dia pun mencoba membuka pintu dengan cara mendorongnya sekuat tenaga.

Berulang kali mencoba mendobrak, menghantamkan bahunya ke arah pintu reyot rumahnya. Dan, braaak! pintu itu terbuka. Keringatnya bercucuran, membasahi seluruh wajah dan tubuhnya. Matanya memutar cepat, mencari sosok ayahnya.

“Ayah ,panggilnya sekali lagi. “Ayah di mana?”

Anita lalu membuka pintu kamar ayahnya. Dia kaget saat menemukan ayahnya terkapar di lantai kamar. Seketika, tubuh Anita menjadi lemas. Dia terguncang dengan pemandangan yang mengenaskan.

“Ayah , panggilnya lirih. Anita berjalan pelan menghampiri tubuh renta yang terkapar tak berdaya itu. Dia mencoba membangunkan ayahnya. Namun tak ada respons dari Pak Salim. Tangan Pak Salim membiru, begitu juga dengan kuku jarinya. Anita takut, dia tidak siap jika harus menerima kenyataan terburuk terhadap kondisi ayahnya.

“Tolooong!!” seru Anita. Dia tidak berani mengecek sendiri kondisi ayahnya, sehingga berlari keluar rumah untuk meminta bantuan warga.

Warga yang mendengar teriakan Anita segera berdatangan dan mencari tahu.

“Ada apa, Mbak?” tanya Rahmat, salah satu tetangga.

“Kenapa kamu teriak?” sahut Pak Sarto.

“Ayah ,” ucap Anita sambil menunjuk ke dalam rumah. Tangannya terus gemetar. Dia tidak bisa menyembunyikan tangisnya. Segera, warga masuk dan mengecek kondisi Pak Salim.

Di dalam kamar, suasana sedikit tegang. Semua warga saling memandang cemas. Begitu pun dengan Anita, dia ketakutan.

Pak Sarto berusaha memberanikan diri memeriksa denyut nadi Pak Salim. Dia memeriksa nadi tangan, nadi leher, dan napas Pak Salim. Pak Sarto tidak menemukan detak nadi. Memandang Anita, Pak Sarto lalu menggelengkan kepala. Dengan menyesal Pak Sarto memberitahukan kalau Pak Salim telah meninggal.

“Pak Salim sudah tidak ada. Beliau sudah meninggal,ucap Pak Sarto.

Anita pun semakin menjadi, menangis mengetahui bahwa ayahnya meninggal.

“Nggak mungkin! Ayah nggak mungkin meninggal! Ayah, bangun .” Anita berusaha mengguncangguncangkan tubuh Pak Salim yang sudah memucat. Mata itu tak mau terbuka. Sekuat apa pun Anita memanggil, Pak Salim tidak akan pernah kembali. “Ayah … bangun. Anita mau ngasih tahu Ayah jika Anita hamil. Ayah akan segera menjadi kakek. Jadi, ayo bangun, Ayah.” Anita masih berusaha. Air matanya tak terbendung. Tubuhnya bergetar, panik dan gelisah mengetahui ayahnya tak menjawab paggilannya.

“Sudahlah, Anita. Percuma. Pak Salim sudah tidak ada,” ucap Bu Mastur.

“Iya, An, lebih baik kamu sabar dan ikhlaskan saja kepergian Pak Salim,” tambah Bu Pardi.

Di samping Pak Salim terdapat tumpahan air yang sudah agak mengering, sementara gelas yang tergeletak di sampingnya masih sedikit menyisakan air. Obat sesak napas yang biasa di minum Pak Salim juga berserakan di lantai. Kemungkinan Pak Salim yang memiliki riwayat sakit sesak napas sedang kambuh sesaknya sehingga dia berusaha meminum obat, namun karena kondisinya yang lemah, dia terjatuh dan akhirnya meninggal.

Sungguh keadaan yang sangat mengguncang untuk Anita. Dia harus kehilangan ayahnya di saat dia akan memberikan sebuah kabar bahagia. Fahmi sang suami pun tak berhenti mendampingi Anita di masa masa sulitnya. Dukungan demi dukungan terus dia berikan untuk Anita, terutama di masa masa kehamilan Anita yang baru berusia tiga minggu.

Tak ada lagi sosok ayah yang ingin Anita bahagiakan. Perjuangannya selama ini, sampai terpaksa menikah dengan Fahmi dan meninggalkan Reyhan, hingga akhirnya dia hamil adalah siasia belaka. Karena pada akhirnya Pak Salim tidak bisa melihat itu semua. Dia menyesal dengan semuanya, karena merasa Tuhan telah mempermainkan hidupnya. Berusaha membahagiakan ayahnya dan rela mengorbankan kebahagiaannya. Namun nihil, Tuhan telah mengambil sumber kebahagiaanya, dan kehamilan itu menjadi tidak berarti setelah kepergian Pak Salim.

Fahmi memang bukan suami pilihan Anita, namun dia sungguhsungguh berusaha untuk membuat Anita bangkit. Tidak ada sama sekali perasaan lelah dalam menghibur Anita. Memang sulit, namun dia tahu jika kini Anita adalah tanggung jawabnya. Calon bayi yang belum dilahirkan Anita juga butuh perhatian. Untuk itu Fahmi berusaha membuat Anita tetap bahagia di masa sulitnya.

***

Sembilan bulan kemudian, Anita pun melahirkan putra pertamanya. Fahmirzah Ahtar. Nama bayi lakilaki mungil itu. Wajahnya yang lucu dan menggemaskan menjadi pelipur lara bagi Anita. Sehat serta sempurna.

Harihari Anita begitu dirasa bahagia. Semenjak kepergian ayahnya, baru kali ini dia merasa hidup kembali. Kehadiran Ahtar menjadi penyemangat baru untuknya. Malaikat kecil yang lahir dari rahimnya. Dia dan Fahmi pun memutuskan untuk pindah rumah, membeli rumah sederhana di kota.

***

2018

18 tahun berlalu. Ahtar tumbuh menjadi sosok pemuda yang rupawan. Hidungnya yang mancung serta mata yang lebar menjadikannya sosok pemuda yang disukai banyak kaum hawa. Namun Ahtar tak pernah melirik satu wanita di luar sana, terkecuali Hany. Teman sekolahnya ketika SMP. Gadis itu memang manis, sopan, dan tidak nekoneko. Namun setelah lulus SMP beberapa tahun yang lalu, Hany tak pernah tampak lagi, dia pindah ke kota lain, dan Ahtar tidak tahu pasti di mana kini Hany tinggal. Karena itu, Ahtar memutuskan untuk tidak pernah tertarik dengan wanita lain, berharap masih bisa menemukan Hany.

Sosok Anita pun kini telah berubah setelah 18 tahun berlalu. Dia lebih sabar dan bisa menjaga penampilan. Kini dia mengelola sebuah bisnis butik. Kehidupan 18 tahun yang lalu membuatnya berubah menjadi wanita karier. Tidak ada yang menyangka jika Anita yang dulunya hanya seorang anak yang miskin, kini bisa memiliki butik. Ini semua berkat dukungan Fahmi serta keluarga besarnya juga yang membuat Anita bisa seperti sekarang.

“An,” panggil Fahmi.

“Iya, Mas,sahut Anita, lalu duduk di samping Fahmi yang bersantai di taman depan rumah.

“Minggu depan aku harus pindah ke Surabaya. Bos menyuruhku untuk menghandle anak perusahaan di sana. Menurutmu gimana?”

Sejenak, Anita terdiam mendengar pertanyaan Fahmi. Mencerna dan memikirkan sebuah jawaban.

“Apa nggak ada orang lain yang bisa menghandle perusahaan di sana selain kamu, Mas?” tanya Anita ragu.

Fahmi pun menghela napas, dia menyadari ada gurat kecewa di wajah istrinya. Namun Fahmi segera meyakinkan Anita.

“Memang tidak ada, An. Pak Bos lebih memercayaiku dibandingkan yang lain. Beliau menyerahkan semua padaku.” Fahmi menggenggam erat tangan Anita, “Percayalah, An, aku tidak akan mengkhianatimu,lantas mengumbar senyum nakal di depan istrinya.

“Baiklah. Tapi kapan kamu akan pulang ke Bandung?”

“Jika ada waktu libur, aku akan pulang menemuimu dan Ahtar,” jawab Fahmi.

Jawaban itu hanya dibalas senyum setengah hati oleh Anita. Dia masih berat jika harus berpisah dengan Fahmi. Karena selama 18 tahun bersama, ini kali pertama dirinya harus berpisah dengan suaminya.

Jam tangan di pergelangan tangan Fahmi sudah menunjukkan pukul 15.30. Fahmi kembali menyeruput kopi hangat di meja. Dan dari kejauhan, Fahmi melihat Ahtar baru pulang sekolah. Mengenakan seragam putih abuabu. Mengendarai motor sport ala anak muda zaman sekarang.

Deruman motor sport semakin mendekat dan akhirnya berhenti di depan Fahmi dan Anita yang sedang duduk di teras.

“Ayah, Ibu,” ucap pemuda ganteng itu seraya tersenyum. Lalu dia menyalami kedua orangtuanya.

“Baru pulang, Tar?” tanya Anita.

“Iya, Bu, ada les untuk persiapan ujian,” jawab Ahtar sambil meletakkan tasnya di kursi. Wajahnya tampak lelah. Dihempaskannya tubuhnya di sandaran kursi, merebahkan badan yang sedari tadi belum istirahat.

“Tar, minggu depan Ayah akan pergi ke Surabaya. Kamu jaga Ibu baik-baik, ya,” kata Fahmi memulai pembicaraan kepada putranya.

Ahtar pun terkejut, dia kembali menegakkan tubuhnya setelah sempat bersandar di kursi. Wajahnya berubah menjadi lebih serius.

“Memangnya ada perlu apa Ayah sampai harus ke Surabaya?” tanya Ahtar.

“Ayah dipindahtugaskan ke Surabaya,” jawab Fahmi datar dan melirik ke arah Anita. “Ayah mau kamu jaga Ibu sampai Ayah kembali,lanjutnya.

“Berapa lama Ayah di sana?”

“Belum tahu. Bisa sebentar, tapi bisa juga lama.

“Setelah lulus sekolah, Ahtar berencana untuk melanjutkan kuliah di Surabaya, Yah!” ucap Ahtar. Dia melihat ke arah Anita sebelum selesai bicara. “Boleh kan, Bu?”

“Kenapa kalian berdua samasama akan ke Surabaya?” Tanya Anita heran. Dia tidak habis pikir jika anak dan suaminya harus meninggalkannya sendiri di Bandung.

“Kan ada Eyang Tarso sama Uty Darmi,” jawab Ahtar. “Kalau Ibu kesepian, Ibu bisa pergi ke rumah mereka,” lanjut Ahtar.

“Terserah, lah,” tukas Anita, lalu masuk ke dalam rumah.

Fahmi dan Ahtar hanya bisa saling memandang. Seolah mengerti bahwa Anita kecewa, mereka membiarkan Anita sendiri dulu.

***

Satu minggu kemudian, tiba waktunya untuk Fahmi berangkat ke Surabaya. Anita dan Ahtar mengantarkannya hingga ke depan rumah. Empat koper besar yang berisi baju serta dokumendokumen pekerjaan Fahmi sudah masuk ke dalam bagasi mobil. Fahmi diantar oleh salah satu sopir kantor, yaitu Pak Ruslan.

“Sudah siap semua, Pak!” lapor Pak Ruslan.

“Oke, Pak, tunggu sebentar,” jawab Fahmi sembari menunggu Anita dan Ahtar keluar.

Juragan Tarso dan Bu Darmi juga hadir untuk mengantar Fahmi sebelum pergi ke Surabaya.

Wajah sedih dan murung tak mau lepas dari pandangan mereka masing masing.

“Pak, Buk, Fahmi berangkat, ya. Doain Fahmi sukses,ucap Fahmi dan tersenyum tipis.

“Iya, Le. Bapak sama Ibu selalu doain kamu,jawab Bu Darmi sambil memeluk Fahmi.

“Kalau butuh apaapa, telepon saja Bapak,tambah Juragan Tarso.

Fahmi mengangguk mantap lalu menyalami Juragan Tarso. Kemudian dia mengalihkan pandangannya kepada Anita. Istrinya yang tampak murung, tak ada sedikit senyum pun menghias bibir Anita. Mulutnya menutup rapat. Matanya berkaca-kaca. Entah mengapa hari itu dirasa berat untuknya.

“An,” sapa Fahmi. Langkah Fahmi begitu berat dan lesu. Sebenarnya dia juga tidak mau meninggalkan keluarganya. Hanya saja tuntutan pekerjaan yang mengharuskannya pergi.

Fahmi memeluk erat istrinya. Dekapan itu hangat. Sampai tidak sadar, Anita meneteskan air mata. Tak kuasa menahan perasaan, betapa pun dia berusaha menutupinya.

 “Jangan sedih. Mana Anitaku yang selalu tertawa?” goda Fahmi sambil mencubit lembut pipi Anita.

Anita memukul dada Fahmi, membuat Fahmi meringis kesakitan.

“Aww sakit, An!!”

“Aah … maaf,” balas Anita, meringis seolah merasakan sakit yang dirasakan Fahmi.

Fahmi tertawa. Dia hanya menggoda Anita, mencoba mencairkan suasana tegang yang tercipta. “Baiklah, aku pergi, An. Jaga dirimu baikbaik,” pesan Fahmi sambil mengelus pipi Anita, lalu mencium pipi serta kening istrinya itu.

“Iya. Hatihati. Jaga kesehatanmu, Mas,” balas Anita.

“Heem.” Fahmi tersenyum. Kembali dia memeluk Anita untuk kesekian kalinya.

“Ahtar, jaga ibumu baikbaik,” pesan Fahmi pada Ahtar.

“Siap, Ayah!” sahutnya mantap dan memeluk ayahnya.

Fahmi pun bergegas masuk ke dalam mobil berwarna hitam. Perlahan mobil itu melaju, Fahmi melambaikan tangan sampai akhirnya wajah Anita lenyap saat mobil melewati persimpangan.

 

Bersambung ….

Episode Sebelumnya (Part 1)

Episode selanjutnya (Part 3)

 

Sinta Dewi, seorang ibu rumah tangga yang sejak kecil memimpikan menjadi seorang penulis. Lahir di sebuah kota kecil di Jawa Timur, tepatnya di Probolinggo. Penyuka warna pink dan dance ini sejak kelas 5 SD sudah menyukai dunia menulis, meski bukan hobi. Namun separuh waktunya dimanfaatkan untuk mengasah kejeliannya memainkan kata-kata.

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply