Pria yang Datang Bersama Embusan Angin
Oleh : Evamuzy
“Berat dan tinggi badannya jauh di bawah normal, Dok. Dia juga terkena dehidrasi akut. Baru saya berikan suntikan vitamin supaya tidak terlalu lemas.” Karina menjelaskan, sementara saya membaca data pasien yang baru saja datang ini. Gadis kecil yang terlelap di atas ranjang.
Adelia Haspati. 18 bulan dengan berat badan 6,5 kilogram. Diagnosis awal: Peradangan saluran pencernaan. Sudah satu minggu sulit makan, muntah-muntah, juga diare dengan intensitas jarang. Begitu yang tertulis di laporan observasi dini dari Karina.
Gadis kecil yang malang. Tubuhnya sangat kurus. Berambut keriting yang tumbuh tidak begitu lebat. Lingkar matanya cekung, kulit pucat, dan bibir kering. Refleks, saya ulurkan tangan untuk membelai pipinya sebentar.
“Anda ibunya? Bisa ikut saya?” Perhatian saya beralih kepada perempuan muda yang sedari tadi setia di sampingnya. Dia langsung menggeleng.
“Saya pengasuhnya. Ibu dan Bapak pergi ke luar kota tiga hari lalu. Sudah saya hubungi, katanya sedang dalam perjalanan pulang,” terangnya. Oh, pantas saja wajah keduanya sama sekali tak mirip, dan entah kenapa, garis wajah Adelia familier di ingatan.
“Kalau begitu sampaikan kepada mereka untuk segera menemui saya nanti.” Kami butuh mempelajari berkas Adelia. Diikuti Karina, saya kembali ke ruang dokter.
Dalam panduan pertumbuhan ideal berat dan tinggi badan anak–yang ditetapkan dinas kesehatan–bayi seusia Adelia harusnya memiliki berat badan 11,30 atau minimal 9 kilogram. Sementara tinggi badan sekitar 81,50 atau minimal 65,20 sentimeter. Keadaan Adelia jauh di bawah itu.
“Saya ingin mendengar pendapat Suster Karina tentang kondisi Adelia.” Suster Karina adalah salah satu suster terbaik di sini. Beruntung saya mendapatkan suster pendamping sepertinya. Diagnosis kami sering kali sama, dan jarang keliru.
“Ada hal lain selain peradangan saluran pencernaan. Tapi saya belum yakin sebelum Dokter Serin sendiri yang memastikan itu,” jawab suster muda yang duduk di depan meja kerja saya.
“Betul. Saya khawatir ini kasus malnutrisi atau lebih buruknya lagi gangguan pertumbuhan.” Rumah sakit ini adalah salah satu yang ternama, maka jarang sekali ditemukan kasus demikian. Kekurangan gizi, atau bahkan gizi buruk. “Tolong hubungi bagian ahli gizi, minta mereka memberi asupan protein lebih untuk Adelia. Dan pastikan keadaannya stabil atau minimal tidak semakin buruk,” sambung saya lagi.
Tiga lembar data tentang Adelia masih di tangan. Saya kembali mengamatinya baik-baik, dan saat di kolom berisi nama ayah dan ibunya, seketika napas berhenti sekian detik. Nirina Prameswari dan pria itu, Iko Anandatta. Astaghfirullah … drama apa lagi ini?
***
Tiga tahun yang lalu.
Masih ingat betul, saat itu tahun pertama saya mengabdi sebagai dokter spesialis anak di rumah sakit daerah. Dua pekan di masa itu, saya merasa tubuh mudah sekali lelah, mengantuk, juga nafsu makan yang meningkat. Untuk memastikannya, saya datangi seorang rekan dokter spesialis penyakit dalam.
“Yang penting selalu tenangkan pikiran, istirahat cukup dan atur pola makan. Insyaallah diabetes melitus tidak akan begitu mengganggu aktivitas Doker Serin. Apalagi Dokter masih muda, peluang pulih sangat besar meski untuk sembuh total butuh usaha lebih. Jangan putus harapan, ya.”
Ibu … engkau rupanya mewariskan sakitmu kepada saya. Benar, saya harus selalu berpikir tenang. Terlebih, dua bulan lagi adalah hari pernikahan saya.
“Aku ingin ketemu, Mas. Ada yang ingin aku sampaikan.” Iya, dia harus tahu keadaan calon istrinya. Saya tak begitu khawatir saat itu. Toh, dia pernah bilang, bagaimanapun keadaan saya, akan diterimanya.
Kami bertemu di jam makan siang. Dia hanya diam seusai saya menyampaikan semuanya. Ah, saya ingat, saya harus berpikir baik, maka semua juga akan baik-baik saja. Mungkin, diamnya adalah upaya menenangkan hati sejenak, kemudian dia akan tetap mencintai saya. Tak akan ada yang berubah, tak akan. Kurang lebih begitu pikir saya saat itu. Namun, rupanya itu hanya harapan kosong belaka. Sebab sepekan setelahnya, dia hilang tanpa kabar.
Saya pergi ke rumahnya, dia tak ada. Lalu, perkataan ibunya cukup menjadi jawaban. “Iko akan menikah dengan perempuan lain. Sebaiknya kamu sadar keadaanmu, saya ingin anak semata wayang saya menikah dengan perempuan sehat. Tidak sepertimu. Lagi pula aneh sekali, dokter, kok, penyakitan.”
Aku mencari istri untuk mengurusku, bukan malah aku yang harus repot mengurusnya nanti.
Ini pesan terakhirnya, sebelum datang kabar pernikahannya dengan seorang model yang juga teman semasa SMA-nya dulu. Bahkan, saya mengenal perempuan itu. Nirina Prameswari.
“Halo …. Ibu Dokter sedang melamun apa?”
Lamunan saya berakhir, bersama datangnya seseorang yang kini mengisi hati, menggantikan nama pria itu. Dia tersenyum manis, lalu duduk di depan saya. Pria yang juga berseragam dokter seperti saya.
“Mau makan siang bareng?” tanyanya lagi. Saya mengangguk, membalas senyumannya.
***
“Apa maksudmu? Anakku gizi buruk, begitu? Jangan melawak, Serin. Oh, atau ini upaya balas dendammu? Mengarang cerita untuk merendahkanku.”
“Jangan bawa-bawa hal lain. Saya hanya ingin fokus pada kesehatan anakmu. Tenanglah, dan mari kita bicarakan ini baik-baik.” Laki-laki di depan saya terlihat mengatur napas. Berusaha menurunkan emosi, sepertinya. Kami berbicara di ruangan saya.
“Baik. Apa yang ingin kamu bicarakan?”
“Di mana ibunya?”
“Bukan urusanmu.”
“Saya bukan ingin mengusik privasi, tapi ini tentang wali dan kepentingan pasien saya. Di mana ibunya?”
“Nirina ada pemotretan di Singapura selama seminggu. Empat hari lagi baru selesai.”
“Apa dia tidak bisa pulang sebentar demi anaknya?” Jujur saya geram, tetapi sebisa mungkin menahan diri demi menjaga etika profesi. “Sekarang saya tanya, apa Adelia mendapatkan ASI eksklusifnya?”
“Nirina tidak pernah menyusui bayinya sejak lahir. Alasannya demi penampilan. Ada banyak kontrak pemotretan seusai dia melahirkan. Adelia hanya diberi susu formula, itu pun kalau dia mau.”
Apa-apaan ini?
“Selama ini bagaimana asupan nutrisinya?”
“Aku tidak tahu pasti. Sejak dia lahir, ada banyak proyek besar di luar kota yang harus kuurus. Dia bersama pengasuh. Sejauh ini sepertinya sudah gonta-ganti sekitar tiga atau empat kali, aku lupa. Aku cuma tahu, sejak usia setahun dia sering sekali minta makan mi instan.”
“Lalu kalian beri?”
“Daripada dia tantrum.”
Ayah yang payah! Lagi-lagi, saya hanya bisa menahan amarah.
***
“Kalau ini berat untukmu, biar saya minta Dokter Wulan yang pegang pasien bernama Adelia itu. Saya tak sengaja sempat melihat pertemuanmu dengan ayah pasien. Apakah dia orangnya?” ucap pria yang setahun ini berjuang mendapatkan hati saya.
Dia pria yang selalu bersikap sopan, lembut, dan sudah mendengar kisah masa lalu saya. Selepas pindah tugas ke rumah sakit ini, saya berkonsultasi dengan dokter ahli penyakit dalam di tempat saya mengabdi. Dialah orangnya. Tak hanya memperlakukan saya selayaknya pasien pada umumnya, dokter berusia 29 tahun itu juga memberikan perhatian-perhatian lebih. Suka mengirimkan makanan, mengingatkan untuk tak lupa minum obat, ajakan makan siang bersama, sampai tawaran mengantar pulang. Saya tahu, ada perasaan lain yang dia miliki. Tak hanya sekali dia menyampaikan perasaannya, hingga akhirnya tujuh bulan lalu saya menerimanya, lalu kami bertunangan.
“Tidak perlu, Mas. Justru saya sedang ingin melihat seberapa kuat saya menghadapi masa lalu. Toh, mereka sudah lama tidak ada lagi di pikiran saya. Saya yakin, saya pasti bisa. Saya akan lakukan demi profesi dan tanggung jawab.”
Dia mengangguk pelan, meraih jemari saya, kemudian menggenggamnya. “Iya, saya percaya. Hadapilah, dan saat kamu merasa membutuhkan seseorang, ingat … ada saya.”
***
Empat hari penanganan, kondisi Adelia sedikit membaik. Setidaknya wajah dan bibirnya tak sepucat saat pertama kali datang. Setiap hari saya menemuinya untuk mengecek, menghibur, atau membujuknya makan dengan membawa hadiah-hadiah kecil. Seperti hari ini, setelah boneka beruang cokelat muda ber-pindah ke pelukannya, barulah dia mau makan satu-dua sendok bubur yang saya suapkan. Bubur beras bertekstur halus dengan campuran ikan tuna, serutan wortel, dan seledri.
“Enak?”
Gadis kecil cantik ini mengangguk sambil tersenyum. Senyuman yang mirip sekali dengan pria masa lalu itu.
“Adelia sayang, Bunda pulang. Coba lihat, Bunda bawa apa? Boneka beruang kesukaanmu.” Seorang perempuan datang dari arah pintu. Dia datang. Iya, dia datang. “Bagaimana rasanya bertemu dengan anak dari mantan calon suami, Ibu Dokter?” katanya kemudian. Saya tahu perempuan itu pasti akan datang, tetapi bukan dengan kalimat macam ini.
Dia berjalan mendekat.
“Selamat sore, Ibu Nirina. Kedatangan Anda sangat ditunggu.”
Perempuan itu meletakkan boneka beruang berukuran besar di samping anaknya yang duduk di atas ranjang, berbalik menghadap saya, lalu berkata, “Oh, ya? Bukannya kamu senang aku tak cepat-cepat datang. Jadi bisa sering-sering bertemu dengan suamiku tanpa ada gangguan. Dan sepertinya kamu sangat menyayangi anakku, ya. Oh, atau jangan-jangan kamu berharap bisa menjadi ibu tirinya?”
Cukup! Tidak sepantasnya hinaan ini saya dapatkan. Mangkuk berisi bubur yang masih separuh saya letakkan di atas nakas. Lalu bergegas melangkah keluar meninggalkan sepasang ibu dan anak itu.
Masih sempat terdengar perempuan itu berbicara sebelum saya sepenuhnya pergi.
“Jangan pernah bermimpi kebaikanmu pada Adelia dapat menarik perhatian suamiku. Selamanya, hidup-nya hanya tentang kami. Kedatanganmu sama sekali tidak berarti.” Saya tak punya keinginan untuk menjawabnya. Yang ingin saya lakukan saat ini hanyalah berlari. Pergi membawa sesak di hati.
Sampai di atas gedung rumah sakit, saya tak sanggup lagi menahan sesak dan tangis. Duduk di kursi besi, menangis sepuasnya sampai tak tahu lagi sudah berapa banyak air mata yang keluar.
“Sudah setengah jam nangisnya. Kalau berubah jadi mutiara, sih, saya juga senang. Lumayan bisa ditukar buat sewa gedung atau bayar katering. Tapi kalau nonanya malah jadi sakit, jadinya ada orang yang sedihnya lebih-lebih. Nih,” ucap seseorang. “Jadi, nangisnya udahan, ya.”
Dari suara, langkah kaki, dan bau parfumnya, saya tahu siapa yang datang. Tentunya dia, pria sederhana yang selalu berhasil menciptakan senyuman-senyuman kecil. Pak Dokter yang selalu berhasil menenangkan hati. Saya mendongak, menghadapnya sambil mengusap mata dan pipi dengan punggung tangan.
“Cokelat hangat yang tak begitu manis untuk Nona yang sangat manis, tapi sayangnya sore ini malah nangis,” katanya sambil mengulurkan cangkir warna cokelat, menarik satu kursi besi lainnya, lalu ikut duduk di samping saya. Dengan secangkir cokelat hangat di tangan, perlahan saya sandarkan kepala di bahunya. Merasakan kehadiran sosoknya yang hangat bersama embusan angin lembut, perlahan menghapus tangis di wajah, mata, juga di hati.
Saya baik-baik saja, kondisi saya pun bertambah tahun semakin membaik, dan saya beruntung. Terima kasih, Tuhan, Engkau kirimkan dirinya, pria terbaik yang datang bersama embusan angin. [*]
Evamuzy. Gadis kelahiran kota Brebes. Penyuka warna cokelat muda dan radio.
*merupakan naskah favorit dalam event romance Candrawama dan termaktub dalam buku Sepenggal Cerita tentang Kita dan Cinta
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata