Sebuah Arti

Sebuah Arti

Sebuah Arti
Oleh : Putri Ayu Kartini

Lelah, itulah yang saat ini kurasakan. Lelah akan atas segala luka yang seakan menjadikanku target utama. Merasa tidak berguna. Entahlah, semua serasa hampa semenjak Mama dan Papa memutuskan untuk berpisah. Kalian tahu rasanya saat disuruh memilih antara dua pilihan yang masih sangat ingin kalian genggam? Ya, hancur!

“Sudahlah, Zil. Nggak baik sedih terus,” lirih Mely padaku. “Senyum, dong,” ucapnya sambil menarik kedua pipiku agar membentuk sebuah senyuman di bibir ini. Ah, andai saja semudah itu.

Aku meninggalkan ruang kelas, berteman dengan sepi lebih baik menurutku. Di sana aku tidak harus berpura-pura kuat. Jujur, ini sakit, terlepas dari masalah keluarga. Rasa takut terus menghantuiku. Entahlah, aku lelah dengan mereka yang datang seolah peduli, seolah paham dengan apa yang kurasa.

“Zil, nggak masuk kelas?” Suara Izzah mengagetkanku.

Ah, pelajaran Seni Budaya.

***

Bila kau butuh telinga ‘tuk mendengar

Bahu ‘tuk bersandar

Raga ‘tuk berlindung

Pasti kau temukan aku di garis terdepan ….

Aku terhanyut mendengar suara Akbar menyanyikan lagu Fiersa BesariGaris Terdepan. Mungkin ini lucu, tapi aku selalu berharap ada seseorang yang bisa melakukan hal itu. Menanyakan padaku apakah aku baik-baik saja, mengusap air mataku, menggenggam jemariku sambil mengatakan semuanya baik-baik saja. Haha. Ada yang sepertiku? Entah kenapa, aku selalu merasa aman dan tenang ketika mendengar suara Akbar. Mungkin ini terdengar alay, tapi itu yang aku rasakan. Aku yakin di luar sana kalian memiliki sosok yang   bahkan hanya dengan melihatnya, kamu merasa nyaman.

“Alya Jazilah!”

Aku tersentak kaget. “Ya, saya, Bu,” jawabku pelan. Ah, ini yang tidak aku suka. Saat harus menjadi objek sasaran dari semua pandangan.

“Silakan ke depan! Coba nyanyikan sebuah lagu.”

Aku harus bagaimana? Jantungku berdetak tak karuan, peluh mulai menetes di dahiku. Berbagai perspektif muncul memenuhi ruang kepalaku. Tidak! Aku tidak bisa. Aku terlalu takut berdiri di hadapan mereka semua.

“Lama amat, sih!”

Kulayangkan pandangan kepada si pemilik suara. Itu suara Akbar. Perasaanku makin tak  karuan. Dan akhirnya aku menangis.

“Zilah?” Itu suara Ibu Yuni.

“Maaf, Bu, yang lain aja,” ucapku dengan suara tertahan. Kulihat Bu Yuni menghela napas. Perasaanku makin tak karuan. Aku bahkan tidak berani menatap wajah siapa pun dalam ruangan ini. Aku sebenarnya bisa bernyanyi, tapi tidak punya keberanian berdiri di hadapan mereka semua.

“Baiklah, untuk tugas minggu depan, kalian akan Ibu bagi menjadi beberapa kelompok. Masing-masing kelompok harus menampilkan dua buah lagu. Dan ini Ibu akan anggap sebagai nilai ulangan harian kalian. Paham!”

Aku kehabisan ekspresi untuk hanya sekadar tercengang. Aku harus bagaimana? Aarggg ….

***

“Zil, kita sekelompok.”

Aku yang baru saja akan meninggalkan kelas berbalik ke sumber suara. Itu Akbar. Aku gelagapan, tidak berani menatapnya.

“Nih,” ucapnya seraya menyodorkan benda pipih yang menampilkan pembagian kelompok untuk mata pelajaran Bu Yuni. Aku hanya ber-oh ria menanggapinya.

***

Kulempar begitu saja ranselku di lantai saat aku tiba di kamar. Selalu saja seperti ini. Aku kembali menangis mengingat perkataan Akbar sepulang sekolah tadi. Gadis lemah, kamu itu terlalu pasrah sama kehidupan! Perkataan itu terus terngiang di kepalaku. Aku hanya ingin bertanya sama mereka. Apa mereka paham apa yang aku rasakan saat ini? Saat semua yang kalian lakukan terasa salah, saat  kehadiran kalian di dunia ini seolah-olah adalah sebuah kesalahan, ke mana aku harus mengadu luka, saat tempat yang kuanggap sebagai obat malah menjadi tempat yang memberi luka? Tidak ada yang bisa kupercaya. Cinta, kasih sayang, seakan hal yang fatamorgana. Kuseka air mataku, lalu mengambil benda pipih yang berdering dalam tasku.

Jangan lupa, besok latihan.

Itu pesan dari Akbar. Apa yang harus aku lakukan? Itu seperti hal yang mustahil untuk kulakukan. Tapi jika tidak, nilai Akbar pasti akan ikut jelek.

Zil, kemarin kamu, hari ini kamu, dan besok pun itu masih tetap kamu. Yakinlah pada diri sendiri ….

Aku terhenyak membaca pesan Akbar yang baru saja masuk. Aku hanya membacanya tanpa berniat untuk membalasnya. Apa benar ini dari Akbar yang terkenal badboy?

Kamu tahu, hidup adalah pelajaran. Segala yang terjadi dalam hidup merupakan sebuah pelajaran yang akan mendewasakan kita. Aku memang tak begitu paham tentang luka yang kamu rasakan. Tapi satu hal yang harus kamu tahu, kamu tidak sendiri di dunia yang luas ini. Ingat! Sebaik apa pun kita, pasti tetap ada yang akan membenci, begitu pun sebaliknya, seburuk apa pun kita, pasti masih ada yang mencintai. Setiap motivasi tidak akan jadi inspirasi jika tidak kamu mulai dari diri sendiri. Ikhlas atas apa yang telah terjadi. Maaf jika terlihat seolah menggurui, tapi aku benci kelemahan. Ingat, kita sekelompok. Dan aku tidak mau jika nilaiku kurang memuaskan hanya karena ketidakpercayaan diri kamu.

Aku meneteskan air mata. Tiap katanya begitu menusuk relung hatiku. Sisi lain dari hatiku menghangat, meskipun kalimat terakhir agak gimana. Kubalas pesan itu dengan dua kata.

Terima kasih.

***

Aku masuk sekolah dengan mata yang lumayan bengkak. Ya, semalam aku habis nangis pastinya. Aku merenungi segalanya. Sepertinya semua memang sederhana, aku sendirilah yang membuatnya rumit.

Sejak hari itu, kucoba memulai hal yang baru. Lebih banyak senyum ke orang lain. Memberanikan diri mengacungkan tangan saat pelajaran berlangsung, berbincang dengan teman. Hal sederhana menurut pandangan orang, tapi itu adalah hal besar bagiku. Memberanikan diri untuk bernyanyi di depan Akbar saat latihan bersama, terlebih lagi tampil di hadapan teman sekelas. Aku tidak menyangka, respons semuanya di luar dari yang selama ini aku kira. Memang benar kalimat “kamu tidak akan tahu sebelum kamu mencobanya”. Kini aku sadar, setiap kisah yang mampir dalam hidup kita adalah sebuah pelajaran berarti yang akan memberi kita arti kehidupan. Tentang luka yang tak seharusnya membuat kita binasa, melainkan menjadikan kita pribadi yang luar biasa.

“Akbar!” Dengan setengah berteriak, aku memanggil dirinya yang baru saja akan pergi bermain basket. “Terima kasih,” ucapku dengan tulus.

Tidak ada balasan kata darinya, hanya senyum manis yang … mungkin pipiku sedang merona sekarang. Muhammad Akbar W, akan kuingat selalu.

 

Putri Ayu Kartini. Pengagum senja dan malam. Kawan setia dari keheningan malam. Kebahagiaan sederhananya adalah ketika dia bisa menikmati makanannya meskipun itu lauk sederhana. Gadis berusia 18 tahun yang sangat menyukai dunia literasi, dan saat ini sedang menempuh pendidikan di IAIN PAREPARE.

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply