Surat Pujangga
Oleh: Siti Nuraliah
Lebih dari seratus hari yang lalu
Ketika harapan-harapan masih terbungkus rapi di laci lemari yang kunamai hati
Kau ingin dilepas
Kemudian, kita saling berjarak
Maksudku, kamu … memang siapa aku?
Memasangkan aku dan kamu menjadi kita
Lalu, banyak sakit yang didera; banyak luka yang menganga di mana-mana
Hingga sembuh dengan sendirinya
Barangkali kamu tahu, bila pergi tanpa pamit, ada semacam gelas pecah di ruang pemilik hati yang ditinggalkannya
Kemarin, takdir sakti bertitah
Kita bertemu saat isi kepalaku tak lagi melulu tentangmu
Bertemu di saat aku belajar untuk tidak lagi merindukanmu
Hai, apa kabar kamu?
Sudahkah kenyang menamparku dengan bahasamu yang ambigu?
Ternyata, pertemuan kita kemarin tidak cukup menjawab segala pertanyaanku
tentang keberjarakan yang kamu cipta sendiri
Faktanya kamu masih bisu
Dan, aku
sudah tidak lagi menunggu
Lagi …
kamu kembali berlalu meninggalkan ribuan tanda tanya di kepalaku
Aku hanya ingin berkata: pergilah!
Pergi sejauh yang kamu ingini
Padahal kita masih dekat,
masih bisa saling sapa
Sayangnya,
hati kita sudah terlalu jauh
Saat itu …
Aku dan segala ketidaktahuanku terhadap kamu
Perihal perasaan, persoalan rindu, dan segala kebungkaman tentang aku dan kamu
Kita sama-sama tidak saling bicara, mengunci hati agar tidak jatuh terlalu dalam lagi
Semuanya tidak menghasilkan apa-apa
Kecuali prasangka-prasangka tak berkesudahan,
kecuali hati yang kian lebam ditikam ketidakpastian
Sekarang …
Kita lupa pada jarak yang kita cipta, padahal luka terlanjur menganga
Aku paham perihal rasa yang sulit diterjemankan ke dalam bahasa
Puisiku … masih menyimpan aromamu
di sini
Meski aku tidak tahu, dirimu masihkah menatap bayanganku di desir angin saat kopimu mulai dingin
Atau di kepulan asap sebatang rokokmu yang mulai habis
Aku masih mengingatmu di malam-malam yang ringkih,
di pagi yang beku,
di senja yang terbiasa kita habiskan bersama
Padahal kita sudah sepakat: kamu yang tidak lagi menghubungiku atau aku yang terbiasa dianaktirikan rindu
Pada akhirnya, kita sama-sama pilu
Hanya mengingat-ingat syahdu pada waktu itu,
saling melepas lelah dari kejaran-kejaran rindu pada masa lalu
Lalu, kita mulai terbiasa berjarak
Meski saling mensenyumi yang sudah-sudah, sambil membalut tiap inci luka yang kita rasa
Aku tertawa saja, haha …
Hidup ini jenaka
Sejak dirimu menyuruhku duduk di ruang tunggu, aku berubah menjadi lugu tentang waktu
Tentang ribuan rindu yang mengembun, kemudian menetes menjadi hujan di mataku sendiri
Setelah semuanya jelas tentang aku, kamu, dan waktu yang menjanjikan temu,
kita adalah jarak antara rindu dan harapan
yang abu
Masih bergemuruh di sepiku—riak riuh namamu
Masih ada sesak di debarku—sisa rindu yang lalu
Kata apa yang pantas untuk membahasakan kebungkaman kita?
Aku, atau kamu yang terluka?
Penaku bisu …
Ia masih ragu menerjemahkan bahasamu yang ambigu
Ia bertanya …
Aku yang terlalu perasa atau kamu yang tak peka?
Aku tidak punya ajian pemikat agar dirimu sekali saja bertamu pada hatiku untuk sekedar bertanya tentang rinduku—sejauh ini, hanya ada aku yang terus menunggu
Dan …
kamu tetaplah batu
Membunuh rindu, sama saja menikam setiap detik hatiku
Meski diriku telah menutup pintu, dirimu tetap saja datang bertamu
Rindu …
Untuk hatiku …
Maka berterimakasihlah kepada waktu,
yang mengajarkanmu betapa berharganya waktu para perindu
Mereka setia di ruang tunggu, mesti tahu sakitnya disiksa rindu tanpa dijanjikan temu
Wahai kamu …
Duduk di sini bersamaku
Apa lagi yang kau cari?
Sejauh ini langkah kita terlalu lama berjarak
Berhenti sejenak, beri aku jeda rasa
Tidakkah kau menangkap pesan senja; selepas hujan yang menikamku bertubi-tubi di sini, ia hadirkan pelangi untuk temani sepi.
Aku lupa …
Ternyata kau serupa senja; sekejap jingga, lantas berlalu menjadi gulita
Bedanya, senja menghilang sebagai pengantar malam; kau selalu menghilang tanpa kepastian
Senja pergi dengan tanda; kau pergi tanpa aba-aba
Selalu begitu: menyesakkan dada
Bila saja sabar serupa daun yang gugur, barangkali aku telah menjadi pohon yang meranggas kering oleh banyaknya daun yang jatuh
Segala tentangmu ini adalah puisi bagiku, maka
cukupkan aku dengan segala pekamu
Wahai kamu …
Diksi ini, kutulis sebagai surat tanpa alamat
Sebagai obat untuk aku
dan semua kamu
Banjarsari, 30 Maret 2020
Siti Nuraliah, perempuan sederhana yang punya hobi membaca sastra lama. Suka menulis apa saja yang disebut sebagai puisi.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata