Cinta yang Lupa
Oleh : Dinni Alia
Hujan kembali mengguyur Kota Karawang. Aku mulai mendengarkan melodi menyayat hati yang sangat pas didengarkan ketika dingin menyapa. Aku merasa penyanyinya seakan bercerita sakitnya merasakan cinta atau aku terbawa suasana hujan? Ah, sudahlah. Lebih baik aku menyesap kopi yang terasa lebih nikmat sebab ditemani gemercik hujan.
Hujan sore ini lumayan deras, membuat kafe tampak lebih ramai dari biasanya. Para remaja sekolah maupun pekerja kantoran memilih duduk sejenak di kafe, daripada harus melanjutkan perjalanan.
“Dia datang tidak, ya?” gumamku.
Lelaki berkacamata yang biasanya menduduki kursi kosong di depanku, entah sekarang berada di mana. Shiro, lelaki yang kutahu selalu mengunjungi Kafe Deevic setiap sore. Tak lupa, akhir-akhir ini sering membawa permen kesukaanku. Wajahnya yang manis namun tak melenyapkan ketegasannya, juga pembicaraannya yang cocok denganku. Aku dan dirinya kerap mengobrol ringan dan tak ayal membahas hal sepele seperti memakan bubur lebih baik diaduk, memakai sepatu lebih enak dari kaki kiri, atau tidur yang tak nyaman bila belum mencuci kaki.
Semenjak itu, tanpa sadar hatiku telah dikuasai olehnya. Kafe Deevic merupakan saksi bisu bahwa mataku selalu berbinar ketika melihat lelaki itu datang, bibirku tersenyum lebar saat dirinya memberikan permen, dan juga aku yang selalu menghela napas kala aku dan Shiro masing-masing ingin pulang.
Aku pun tak tahu mengapa bisa begini. Shiro merupakan orang asing yang hanya sering berbincang denganku ketika di kafe. Selain itu, aku tak tahu apa-apa tentang dia. Ia begitu sangat asing, tapi rasa ini terlalu bising.
Bahkan, kini saat Shiro tak hadir di kafe pun, mata lesuku tak dapat berbohong. Aku ingin bertemu Shiro. Kulihat ke jendela, hujan masih deras. Huh, menyebalkan.
Tiba-tiba, bel di pintu kafe berbunyi dan menggoyangkan badannya. Pertanda ada orang masuk. Aku segera meniliknya.
“Shiro ….”
Ia tersenyum. Lalu, seperti biasa lelaki itu duduk di kursi depanku. Tak lupa juga, ia memberikan sebuah permen. Namun, kali ini ada dua permen. Karena aku tahu, Shiro datang bersama perempuan yang entah siapa. Oh Tuhan, mengapa dada ini mendadak terasa sesak? Padahal oksigen sangat banyak.
“Ola, kenalin ini Cherry. Dia yang selalu menemani aku mengobrol di kafe dan sekaligus sudah kuanggap adik sendiri,” jelas Shiro.
Aku tersenyum kecut kala Shiro mengenalkanku pada perempuan yang duduk di sampingnya. Perempuan itu tersenyum manis, sangat cantik. Pantas saja, Shiro mengenalkanku sebagai ‘adik’.
Shiro menatapku senang. “Cher, ini Ola pacarku. Dia juga kalau makan bubur suka diaduk dulu.”
Aku pura-pura tersenyum lebar. “Wah, salam kenal. Cherry.”
Perempuan itu menjabat tanganku. “Ola.”
Setelahnya, aku dan mereka berbincang ringan. Namun, entah mengapa terasa hambar. Hatiku sakit, bahkan seperti runtuh dan terbelah berkeping-keping. Mengapa Shiro harus kembali bersama hubungannya dengan perempuan itu? Ya Tuhan, aku sudah lupa diri.
“Shiro,” aku menghela napas, “bisa bicara … berdua, sebentar?”
Ola tersenyum kecil. “Ya sudah, aku juga mau ke toilet dulu sebentar, Ro, Cher.”
Shiro mengangkat jempolnya ke arah Ola sembari menunjukkan senyum manisnya. Sial, aku cemburu.
“Kenapa, Cher?” tanya Shiro kikuk.
Shiro kikuk denganku? Itu artinya dia sadar? Ah, masa bodoh.
“Setiap kita bicara, kamu sadar sesuatu?” Aku menunduk. “Ah, sudahlah. Aku jelaskan saja.”
Shiro menatapku dalam dan aku menatapnya lebih dalam seakan-akan ini adalah terakhir kali aku menemuinya. Biarkan aku begini, aku ingin merekam wajahnya dalam ingatanku, sebelum semesta tak mengizinkan aku bercengkerama lagi dengannya.
“Sebenarnya, aku … cinta sama kamu. Mungkin ini aneh, tapi memang benar aku cinta. Namun, kamu tenang saja. Aku bakal pura-pura lupa dan kamu tak perlu lagi datang menghampiriku di kafe ini. Aku cuma mau bilang terima kasih untuk semuanya, terutama cinta ini.”
Aku berlari keluar kafe seraya menahan isak tangis yang ingin keluar begitu saja. Jatuh cinta, pasti menyakitkan. Kumohon jangan datang lagi, cinta. Biarkan aku berpura-pura seperti tak pernah merasakan. Aku tak ingin lagi jatuh cinta, sungguh.
Esoknya, aku kembali ke Kafe Deevic untuk menikmati kopi favoritku. Tak sengaja, aku bertemu lelaki yang mempunyai senyum yang manis, namun ada seorang perempuan di sebelahnya.
“Cherry.”
Aku mengernyit heran. Ia siapa? Aku lupa. Entah, benar-benar lupa atau pura-pura lupa. Aku lupa, cinta.
2020
Dinni Dwi Alia Rahma, gadis kecil berusia 14 tahun yang mempunyai mimpi menjadi penulis muda profesional. Ia merupakan pelajar Karawang yang berdomisili di Kabupaten Bekasi. Ia juga memiliki beberapa karya yang telah terbit dalam bentuk antologi hasil lomba yang telah ia ikuti. Gadis penyuka harum novel dan juga Matematika ini bisa disapa via Email: dinnidar@gmail.com atau Instagram: @dinni.alia.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata