Remuk Couple
Oleh: Fath_vhat
Ia Reina, hantu perempuan bermuka hancur yang selalu mengusik setiap langkah yang kutapaki ke mana pun aku pergi. Ia selalu memaksaku untuk menikah dengannya meski aku berkali-kali menolak.
Ia sangat posesif terhadapku, aku sama sekali tidak diperbolehkan memikirkan hal lain selain memikirkan hidup bersama dengannya dan membayangkan wajah hancurnya yang akan menjadi pemandangan pertama saat aku membuka mata dari istirahat malamku.
“Kenapa kau selalu menghantuiku ke mana pun aku pergi? Sudah cukup kau menghantuiku di dunia nyata, tapi kenapa kau ikut andil ke dunia mimpi juga?” Aku meremas ujung seprai kala memaksakan terbangun dari mimpi buruk malam itu.
Ya, Reina diam-diam menyelinap masuk ke dalam mimpi indahku.
Tanpa perlu memanggilnya dengan sesajen atau barang horor lainnya. Ia muncul dan langsung memosisikan diri tepat di sebelahku. Tangannya yang hampir membusuk bergelayut manja di lenganku.
“Kau tak boleh memimpikan gadis mana pun selain aku, Sayang,” rayunya dengan suara yang sengaja dilenggak-lenggokkan.
“Lepaskan tanganku!” Kubanting tangannya agar terlepas dari lenganku.
“Kamu … jahat.” Air matanya mulai menetes dari balik celah bola mata yang nyaris saja menggelinding. Bola matanya sudah berada di ujung pelupuk mata, tapi sangat hebat untuk bertahan, ia sama sekali tidak terjatuh. Mungkin bola mata itu menunggu ada seseorang yang menyenggolnya dengan sengaja, baru setelah itu ia akan lolos berlarian ke mana saja yang ia mau.
“Hei, kau ini hantu. Jangan menangis di tengah malam seperti ini. Keluargaku akan bangun dan berlari takut jika mendengar suara tangismu,” titahku. “Berhentilah menangis. Aku akan membelikanmu balon nanti.”
Kepala penyok bin hancurnya menggeleng, membuat beberapa kulit wajahnya mengelupas hingga berceceran di atas seprai tidurku. Aish, hantu bodoh ini.
Tingkat kekesalanku sudah genap seratus persen, tapi sebisa mungkin kutahan agar tak meluap. Aku hanya takut kalau emosiku tiba-tiba menyemprotnya, ia akan mematahkan kepalaku atau membuka mulutnya lebar-lebar dan memasukkanku ke dalam sana.
Membayangkannya saja bulu kudukku langsung berbaris berdiri, apa lagi kalau hantu ini benar-benar mempraktikkannya?
“Aku tak mau balon,” rengeknya seperti anak kecil.
Aku mendengkus malas. “Lalu maumu apa?”
Bibirnya menyeringai, gigi tajam nan runcing mencuat dari dalam mulut robeknya. Ia sedang tersenyum lebar memamerkan gigi-gigi seram yang tak pernah mau aku lihat. “Aku hanya mau kau mati bersama denganku.”
“Apa? Kau gila! Aku masih mau hidup! Bahkan aku belum menikah.”
“Kau akan menikah denganku, Sayang. Aku akan menjadi pengantin wanitamu yang paling cantik. Kau mau, ‘kan?” Ia membujuk, matanya dikedipkan beberapa kali hingga bulu mata kakunya terlepas.
Cukup, jika aku masih membiarkan hantu gila ini di sini, sepertinya kasurku akan berubah menjadi tempat sampah dari rontokan wajah hancurnya. Dan jika ibuku datang untuk membereskan kasur di pagi hari, ia pasti akan menyangka aku melukai diriku sendiri dengan silet. Padahal aku tak sebodoh itu.
“Reina, aku mau tidur. Kau boleh pergi dari sini,” usirku sambil membanting tubuh dan segera membenamkan diri ke dalam selimut. Tak apa ia kembali hadir ke dalam mimpiku, asal ia pergi dari kamarku sekarang.
“Jadi kau mau menikah denganku?” Mulut robeknya kembali menyeringai lebar.
Aku tak acuh, kupaksa mata ini untuk terpejam agar suara hantu gila ini segera enyah dari indra pendengaranku.
***
Aku terbangun dari tidur malamku. Ah, rasanya enak sekali. Tubuhku terasa ringan dan segar. Aku jadi makin semangat melanjutkan aktivitas sehari-hari. Tapi tunggu, kenapa aku mendengar suara orang membaca surah Yasin beramai-ramai?
Segera aku ke luar kamar dan mendapati para tetangga sedang membaca surah Yasin di ruang tamu hingga ruang keluarga. Siapa yang meninggal? Papakah? Adikkah? Atau malah … aku sendiri?
Aku melangkah menuju ruang tamu, di mana tempat sang mayat diletakkan di tengah-tengah. Apa itu jasadku?
Kuberanikan diri melangkah melewati ibu-ibu kompleks yang sedang menangis sesenggukan sambil membaca Yasin. Kakiku gemetar, liurku tercekat di tenggorokan, sebisa mungkin aku menelannya tapi tetap saja tak bisa, seakan ada sesuatu penghalang yang melarang liurku turun ke dalam. Apa benar jasad itu adalah aku?
Sret!
Kusibak selimut kain yang menutupi tubuh kaku si mayat hingga seluruh wajahnya terlihat. Aku tercengang, tanganku membekap mulut yang menganga secara otomatis setelah melihat penampakan si mayat.
Astaghfirullah, ja … jadi, aku benar-benar sudah meninggal? Dan wajahku … tanganku bergerak meraba wajah asli yang masih menggantung di atas leher, seketika gerakan tanganku melambat saat kudapati tanganku meraba permukaan yang tak halus, hancur, lanjutku dalam batin.
Aku masih tak bisa memercayai semua yang kulihat. Apa aku benar-benar … sudah meninggal? Tidak, kumohon tidak! Kumohon katakan padaku kalau AKU MASIH HIDUP!
Aku menghampiri Mama yang membenamkan wajahnya dengan sapu tangan kotak-kotak, sapu tangan itu sudah basah keseluruhannya. Kuguncangkan bahu Mama berkali-kali. “Ma, siapa yang meninggal, Ma? Kenapa wajahnya sangat mirip dengan wajahku? Siapa itu, Ma?” bentakku tak berjeda. Air mataku ikut menetes tanpa drama buatan.
Tapi jawaban Mama sungguh di luar dugaan, ia justru membentakku balik. “Tutup selimutnya! Jangan sampai lalat datang mengerubungi wajah tampan anakku.” Mama melanjutkan tangisnya.
Beberapa tetangga dan saudara yang saat itu duduk di sebelah Mama mengusap lengannya, berupaya menenangkan Mama yang masih belum sepenuhnya ikhlas.
Tubuhku lunglai, aku lemas. Sekeras apa pun aku menyalahkan takdir, takdir itu tidak akan bisa berubah sekali pun aku mengamuk dan membanting semuanya.
Maafkan aku, Ya Allah, maafkan aku, Mama, maafkan aku, Papa. Aku tidak bisa mengucapkan selamat tinggal saat di detik-detik napas terakhir. Maaf.
***
“Aku di mana?” Kepalaku celingukan ke sana-kemari menatap tempat asing mana yang kini kupijaki. Aku hanya seorang diri di sini. Duduk di atas bangku empuk persegi sambil menatap cermin.
Tunggu, mengapa aku begitu rapi mengenakan jas hitam dengan kalungan bunga melati di leherku? Aku terlihat seperti seorang pengantin.
Haha. Siapa yang mengenakan jas ini sebelum aku dikubur? Seharusnya aku mengenakan kain kafan putih. Tapi, ke mana kain kafanku? Ah, pasti ini perintah Mama. Ia sengaja mengenakan jas hitam untukku agar aku terlihat tampan meski aku sudah di dalam kuburan.
Kriet.
Pintu ruangan ini dibuka, seorang nenek tua dengan wajah pucat pasi menghampiriku. “Penghulunya sudah datang. Cepat ke ruang utama.”
Apa? Penghulu? Apa aku menikah? Ah, tidak mungkin, pasti ini pernikahan arwah lain dan kebetulan aku diundang menggunakan jas hitam ini. Iya, pasti begitu jalan ceritanya.
Tak mungkin aku menikah saat kematianku masih dalam hitungan jari.
Kuberanikan diri bertanya, “Siapa yang menikah, Nek?” Pertanyaan bodoh itu lolos begitu saja.
“Kau, anak muda, ini pernikahanmu. Kau akan menikah dengan wanita cantik berwajah sama denganmu,” ujarnya.
Keningku mengernyit. “Berwajah sama denganku?”
“Ya, istrimu sama-sama mempunyai wajah hancur sepertimu.”
Wa … wajah hancur? Jadi istriku wajahnya hancur juga? Jangan bilang si wajah hancur itu adalah … Reina. Apa perempuan gila itu yang merencanakan pernikahan gila ini? Mengapa ia keras kepala sekali ingin mengajakku menikah?
Aku dan Nenek sudah sampai di ruangan utama, di sana sudah banyak hantu dengan berbagai macam wajah yang mengerikan.
Tak lupa ada perempuan gila bernama Reina yang sedang tersenyum lebar menyambut kehadiranku.
Oh, tidak, sepertinya hari ini aku benar-benar menikah dengannya. Reina, mungkin hari ini adalah hari terindah bagimu tapi tidak untukku.(*)
Fathia Rizkiah, sapa saja Fathia. Tinggal di kota Tangerang, kesibukanku di umur 20 tahun ini menjadi pendidik manusia-manusia kecil di TK Islam Al-Muhajirin. Sangat hobi mengoleksi buku dan tentu saja membacanya. Aku punya blog lhooo, bila senggang boleh mampir di https://byfathiarizkiah.blogspot.com, terima kasih.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata