Jarak Doa
Oleh : Marissa Saud
Bagiku, Adya adalah orang yang pantas kuperjuangkan. Hanya Adya-lah yang bisa mengubah diriku menjadi lebih baik, semua lelaki yang pernah datang di hidupku hanya meninggalkan jejak pahit dan menguras habis air mataku. Entah apa yang membuat mereka menjadi makhluk laknat seperti itu. Janji, harapan, semuanya hanya pemanis di awal cerita. Aku tidak lagi mengingat kalimat-kalimat mereka terkecuali satu:
“Jangan menyamakan semua lelaki,” kata semua lelaki yang pernah berkunjung padaku.
Aku terkekeh mengingat kembali betapa bodohnya diriku menelan mentah semua perkataan itu. Pada akhirnya cara mereka saja yang berbeda dalam mendekati, tetapi tujuannya tetap sama, meninggalkan. Tidak jarang pula mereka hanya menyuapku dengan materi, berharap cintaku bisa luruh. Namun, Adya berbeda, ia memperlakukanku dengan segala usaha apa adanya, tanpa menyuap materi, juga tidak memberi janji yang belum tentu ia tepati nantinya. Katanya yang bisa ia lakukan saat ini hanya terus berusaha dan berdoa kepada Tuhan, perihal janji hanya bisa ia lakukan saat kami sudah terikat suci. Inilah alasanku menyukai Adya, berjuang dengan apa adanya, dan selalu menasihatiku dengan kebaikan, Adya juga—ah sebentar, Adya meneleponku.
“Halo Adya?”
“Silent aja terus handphone-nya.Udah azan dari tadi, kamu ngapain aja? Salat gih!” katanya dengan nada sedikit kesal, ia langsung mematikan panggilan sepihak.
Aku mengecek ponsel, 20 pesan belum terbaca semuanya dari “Bae” nama kontak yang tertulis di sana. Aku hanya mengaktifkan mode dering dan segera mengambil air wudu.
Selepas salat Maghrib aku membalas semua pesan Adya, hanya butuh waktu semenit kemudian Adya membalas, aku tahu ia tidak akan bisa kesal padaku bahkan sehari saja. Setelahnya kami berbincang di telepon, sejam, dua jam, setiap harinya. Sebuah rutinitas. Namun, pukul sebelas malam ia sudah menyuruhku untuk berhenti, mematikan ponsel, juga sambungan Wi-Fi. Alasannya sederhana, agar tidak ada yang mengangguku.
Padahal ia tahu aku tidak lagi berkomunikasi dengan lelaki lain, tetapi tetap saja ia melakukan hal itu. Aku tahu ini demi kebaikanku, aku pun menarik selimut dan menutup hari ini dengan nyenyak.
Rasanya baru saja tertidur pulas, pukul tiga aku kembali dibangunkan dengan puluhan panggilan Adya yang menyuruhku salat Tahajud. Hanya Adya yang rela bangun melakukan ini, katanya ia pernah mendengar salah satu temannya berkata bahwa ketika berdoa di sepertiga malam, maka doa tersebut bak panah yang tepat sasaran. Lelaki lain? Jangankan salat sunah, wajib pun hanya saat bencana tiba. Aku yang dulunya kikuk dan lugu, seketika berubah total dengan sikap yang serupa, aku beruntung Adya datang membalikkan keadaan.
****
Minggu pagi aku sudah selesai mandi dan bersiap pergi. Ayahku yang sedari tadi fokus dengan koran dan secangkir tehnya sontak melihatku yang berpakaian rapi, Ayah tak berkomentar apa pun. Aku melanjutkan langkahku. Dari ujung dapur Ibu menatapku lamat-lamat, aku sudah paham dengan semua tatapan itu, aku sarapan terlebih dulu sembari menunggu Adya datang.
“Ibu, aku pergi,” ucapku sambil menyodorkan tangan.
Ibu tidak meraih tanganku, bahkan sama sekali tidak menoleh ke arahku, hanya terus memotong sayur. Aku membalikkan badan, lagi-lagi berat melangkah dari rumah. Motor Adya sudah terparkir 300 meter dari depan rumah, itu batas minimal untuk Adya. Ia menatapku iba, sedang aku hanya menunduk, tak banyak bicara. Motor Adya pun melaju menyusuri jalanan kota menuju tempat tujuan.
Di jalan aku tak habis pikir dengan kejadian di rumah yang setiap minggunya kualami, namun tetap saja sesak mengingatnya. Berkali-kali Adya memanggil dan menatapku dari balik spion, memastikan.
“Nadira?” panggil Adya dari balik spion.
“Aku baik-baik saja, perhatikan jalannya,” jawabku setengah terisak.
Sungguh aku sedang tidak baik-baik saja, sampai kapan aku terus merasakan situasi seperti ini? Di depan sana aku harus bersiap lagi menjadi buah bibir bagi siapa saja yang berlalu–lalang.
Motor Adya terparkir rapi, kami sudah sampai di tempat tujuan, aku juga siap dengan segala lontaran yang kudengar nantinya. Adya menggenggam tanganku erat dan mengantarku ke tempat biasa aku menunggunya.
“Aku masuk ya, jangan sedih lagi, gak usah dengar apa kata orang-orang yang lewat, udah biasa, kan? Jangan lupa pakai earphone,” ucap Adya lirih.
“Udaah, aman kok. Masuk gih nanti telat,” balasku sambil mendorong Adya.
Sedetik Adya masuk, aku langsung memakai earphone, tidak mau melihat sekitar, tapi aku bisa merasakan semuanya menoleh ke arahku, memulai topik dengan aku sebagai tokoh utamanya.
Batinku lagi-lagi meronta, hatiku berteriak, selaput bening di mataku mulai memupuk, sedih menghadapi kenyataan yang menamparku juga Adya. Saat ini kami tidak bisa berbuat apa-apa, kami berdua hanya terus berdoa mengharapkan jawaban apa yang akan kami dapatkan dari hubungan ini. Kami berdua ingin memiliki, juga tak ingin kehilangan.
Benar, kami hanya bisa berdoa. Di dalam sana, aku tahu Adya tengah menyilangkan jari jemarinya. Juga dari luar aku menengadah tangan kepada Rabb-ku. (*)
Marissa Saud, 19 tahun. Perempuan yang menyukai menulis dan menggambar, mulai aktif menulis di beberapa proyek antologi cerpen lainnya.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata